Komentari Bencana Banjir di Aceh dan Sumatera, Dokter Tifa: Ini adalah Edema Ekologis

fajar.co.id
1 minggu lalu
Cover Berita

FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pegiat media sosial Tifauzia Tyassuma yang akrab disapa Dokter Tifa bicara soal banjir yang menimpa beberapa wilayah Aceh dan Sumatera.

Lewat cuitan di akun media sosial X pribadinya, Dokter Tifa memberikan pandangannya soal bencana alam ini.

“Renungan dr Tifa BANJIR SUMATERA: KETIKA ALAM MENJADI SAKSI BISU KEJAHATAN 10 TAHUN,” tulisnya dikutip Selasa (2/12/2025).

“Bismillahirrahmanirrahim. Sebagai dokter, aku memandang Sumatera hari ini seperti pasien yang tubuhnya membiru dan membengkak, karena dipaksa menanggung beban bertahun-tahun,” tambahnya.

Menurutnya banjir yang terjadi bukan sesuatu yang datang tanpa sebab. Dokter Tifa menyebut ini sebagai Edema Ekologis.

Edema Ekologi yaitu pembengkakan yang lahir dari kebijakan rezim 10 tahun, yang memukul jantung pulau ini dan merusak ginjalnya tanpa pernah merasa bersalah.

“Ketika air naik, menghasilkan kolam-kolam raksasa yang membenamkan desa demi desa, menenggelamkan sebagian penduduknya, aku melihat sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar genangan. Aku melihat jejak tangan kekuasaan. Karena banjir tidak datang dari langit begitu saja. Ia datang dari tanah yang dilukai dengan sengaja,” jelasnya.

Sumatera disebut sebagai papan operasi yang pasiennya datang tanpa anestesi. Dimana, mereka terus menerus memberikan kerusakan.

“Dalam satu dekade lalu, Sumatera diperlakukan seperti papan operasi dengan pasien tanpa anestesi: hutan dibelah, bukit dibongkar, izin diteken tanpa informed consent. Setiap hektare yang hilang bukan hanya angka statistik; ia adalah hilangnya kemampuan bumi untuk menahan air, menyaring bencana, menjaga nyawa,” jelasnya.

Dia mengatakan ini sebagai seorang dokter.
Jika organ vital dirusak bertahun-tahun, jangan salahkan tubuh ketika akhirnya kolaps. Dan kolaps itulah yang terjadi. Multi organ damage. Kerusakan banyak organ.

Rezim sebelumnya disebut Dokter Tifa sebagai pihak yang punya andil besar mendatangkan para pasien. Rezim dulu bicara tentang investasi, pembangunan, dan “masa depan Indonesia”. Tapi di balik kalimat manis itu, rakyat hari ini berdiri di depan rumah yang tenggelam sambil bertanya.

“Sebelumnya kami punya hutan. Sekarang kami hanya punya banjir. Apa ini yang namanya kemajuan?,” paparnya.

Sumatera menangis bukan karena hujan, tapi karena pengkhianatan. Pengkhianatan yang terjadi ketika: hutan dibuka demi konglomerat,
sungai disempitkan demi proyek cepat jadi,
tambang dibiarkan menggali sampai bumi menganga, perkebunan sawit dihamparkan tanpa memikirkan daya tampung DAS,
dan setiap kritik dibungkam dengan kalimat klasik: ‘ini pembangunan’.

Ia bahkan menyinggung pernyataan yang menyebut banjir ini datang karena faktor cuaca ekstrem.

Dengan tegas Dokter Tifa menyebut ini bukan faktor cuaca melainkan ini ungkapan dari yang sebenarnya terjadi.

“Lalu ketika bencana datang, rezim lalu dengan mudah berkata: ‘Ini alam. Ini cuaca ekstrem.’ Tidak. Ini bukan cuaca ekstrem. Ini adalah keserakahan ekstrem. Ini bukan musibah semesta. Ini adalah kerakusan yang merajalela,” ungkapnya

Menurutnya, banjir hari ini sedang mengungkap apa yang dulu ditutup rapat oleh kekuasaan. Banjir sedang berbicara dengan bahasa yang tidak bisa disensor: bahwa Sumatera telah dicabik-cabik demi ambisi politik, demi kepentingan modal, demi citra penguasa yang dibangun di atas tanah yang perlahan mati.

“Aku tidak pernah melihat banjir semasif ini tanpa melihat sekaligus peta kebijakan rezim sebelumnya. Dan dari peta itu, aku hanya melihat satu hal: Rezim lalu mengizinkan bumi dirusak sampai ia tak mampu lagi menolak. Sekarang harga yang harus dibayar adalah: rumah hilang, ladang hanyut, Penduduk mengungsi, nyawa melayang. Dan semua itu lahir dari tangan pejabat yang dulu begitu mudah memberikan izin, seperti menandatangani kuitansi, tanpa pernah mau melihat bahwa di baliknya ada jutaan manusia yang akan menanggung akibat,” terangnya.

Dikatakan, Banjir Sumatera adalah amputasi terakhir dari tubuh ekologis yang telah disiksa terlalu lama. Dan kita—rakyat—dipaksa menjadi saksi. Saksi yang tahu bahwa banjir ini tidak datang sendiri.

Lahir dari kebijakan yang salah, dari keserakahan yang dilegalkan, dari penguasa yang lebih mencintai pencitraan daripada tanah airnya sendiri.

Bencana alam ini disebutnya sudah tercatat sebagai vonis atau hukuman yang harus didapatkan.

Ia berharap kini ada peran dari Pemerintah khususnya Presiden Prabowo Subianto untuk menghentikan kejahatan-kejahatan seperti ini

“Kali ini sejarah mencatat:
bencana ini bukan sekadar bencana.
Ia adalah vonis alam terhadap rezim yang telah menggali lubang bagi rakyatnya sendiri. Semoga Presiden @Prabowo bisa menghentikan semua kejahatan ini, dan memberikan solusi cepat bagi rakyat Sumatera. Amiin. Hasbunallah wani’mal wakil, nikmal maula wani’man nashiir. La haula wala quwwata ila billah,” pungkasnya.

(Erfyansyah/fajar)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Thariq Halilintar dan Aaliyah Massaid Kompak Ajak Baby Arash Umrah di Usia 6 Bulan
• 13 jam lalugrid.id
thumb
PWI Lamongan Gelar Bulu Tangkis Bareng Diskopum dan Ikatan Notaris Indonesia
• 4 jam lalurealita.co
thumb
Indonesia peringkat kedua Kejuaraan Dunia Arung Jeram 2025
• 21 jam laluantaranews.com
thumb
Situasi Terkini Imbas Kericuhan di Depan TMP Kalibata: Lalin Macet
• 4 jam lalukumparan.com
thumb
Profil Ardito Wijaya, Bupati Lampung Tengah yang Terjaring OTT KPK
• 18 jam lalukatadata.co.id
Berhasil disimpan.