WALHI mencatat 1,4 juta hektare hutan di Aceh, Sumatera Utara atau Sumut, dan Sumatera Barat alias Sumbar telah terdeforestasi selama 2016 – 2025. Hal ini yang dinilai menjadi penyebab banjir dan longsor di ketiga provinsi.
Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Ahmad Solihin menyebut jutaan hektare hutan terdeforestasi itu disebabkan oleh aktivitas 631 perusahaan pemegang izin tambang, Hak Guna Usaha (HGU) sawit, Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), geotermal, izin Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM).
Seluasa 1,4 juta hektare hutan yang terdeforestasi membuat kerentanan ekologis terus meningkat.
“Bencana kali ini bukan hanya fenomena alamiah, melainkan bencana ekologis yang diproduksi oleh kebijakan pemerintah yang abai, permisif, dan memfasilitasi penghancuran ruang hidup masyarakat melalui investasi ekstraktif yang rakus ruang,” kata Ahmad Solihin dalam pernyataan resmi, Selasa (2/12).
WALHI mencatat, bencana di tiga provinsi itu bersumber dari wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) besar yang hulunya berada di bentang hutan Bukit Barisan. Di Sumatera Utara, bencana paling parah melanda wilayah-wilayah yang berada di Ekosistem Harangan Tapanuli (Ekosistem Batang Toru), yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Kota Sibolga.
Ekosistem Batang Toru yang berada di bentang Bukit Barisan, yang telah mengalami deforestasi 72.938 hektare selama 2016 - 2024 akibat operasi 18 perusahaan.
Di Aceh, ada 954 DAS. Sebanyak 60% dalam Kawasan Hutan, dan 20 DAS kritis. DAS Krueng Trumon yang memiliki luas 53.824 hektare, mengalami kehilangan tutupan hutan 43% selama 2016 – 2022. Maka, tersisa tersisa 30.568 hektare.
DAS Singkil yang ditetapkan pemerintah berdasarkan SK 580 seluas 1.241.775 hektare, pada 2022 hanya 421.531 hektar. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, DAS Singkil mengalami degradasi tutupan hutan seluas 820,243 hektare atau 66%.
DAS Jambo Aye yang memiliki luas awal 479.451 hektare, mengalami kerusakan 44,71 %. DAS Peusangan yang luasnya 245.323 mengalami kerusakan 75,04 %.
Lalu, kerusakan di DAS Krueng Tripa 42,42 % dari total luas 313.799. DAS Tamiang mengalami kerusakan 36.45 % dari luas 494.988.
Di Sumatera Barat, DAS Aia Dingin yang merupakan salah satu DAS administratif penting di Kota Padang, dengan luas 12.802 hektare.
Secara topografis, kawasan hulu DAS memiliki kelerengan datar hingga terjal, dengan bagian hulu berada di wilayah Kawasan Hutan Konservasi Bukit Barisan yang seharusnya berfungsi sebagai benteng ekologis utama. Namun, kawasan terdegradasi cukup parah akibat tekanan aktivitas manusia.
Selama 2001 hingga 2024, DAS Aia Dingin kehilangan 780 hektare tutupan pohon. Mayoritas deforestasi terjadi di wilayah hulu, yang memiliki peran vital dalam meredam aliran permukaan dan mencegah banjir bandang.
“Banjir berulang ini sebagai hasil akumulasi dari deforestasi, ekspansi sawit, hingga Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang dibiarkan merajalela. Pemerintah gagal menghentikan kerusakan di hulu dan terjadi pembiaran, justru terpaku pada solusi tambal sulam di hilir seperti pembuatan tebing sungai dan normalisasi sungai,” katanya.
Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Utara Riandra menyampaikan wilayah yang paling kritis yakni Tapanuli Tengah, Sibolga dan Tapanuli Selatan, yang hulunya ada di ekosistem batang toru.
Dalam delapan tahun terakhir, WALHI Sumut mengkritisi model pengelolaan Batang Toru, misalnya PLTA Batang Toru. Selain akan memutus habitat orang hutan dan harimau, proyek ini merusak badan-badan sungai dan aliran sungai yang menjadi daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Belum lagi, pertambangan emas yang berada tepat di sungai Batang Toru.
“Desa-desa lain di kecamatan Sipirok juga ada aktivitas kemitraan kebun kayu dengan PT Toba Pulp Lestari yang akhirnya mengalihfungsikan hutan. Semua aktivitas eksploitasi dilegalisasi oleh pemerintah melalui proses pelepasan kawasan hutan untuk izin melalui revisi tata ruang,” kata dia.
Selanjutnya, Andre Bustamar dari WALHI Sumbar menyatakan bahwa penyebab bencana di Sumatera Barat diakibatkan oleh akumulasi krisis lingkungan karena gagalnya pemerintah dalam melakukan pengelolaan SDA.
“Deforestasi, pertambangan emas ilegal, lemahnya penegakan hukum menjadi penyebab kenapa Sumbar terus didera bencana ekologis,” kata dia.
Fenomena tunggul-tunggul kayu yang hanyut terbawa arus sungai menunjukkan adanya aktivitas penebangan di kawasan hulu DAS. Hal ini memperkuat dugaan bahwa praktik eksploitasi hutan masih berlangsung dan menjadi penyebab langsung meningkatnya risiko bencana ekologis.
“Bencana ekologis yang terjadi di Sumbar menempatkan Negara dalam hal ini Pemerintah Daerah Provinsi Sumbar sebagai aktor yang paling bertanggung jawab melindungi masyarakatnya dari resiko bencana,” kata Andre Bustamar dari WALHI Sumbar.
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5440962/original/095544500_1765448208-PSIM_Yogyakarta.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/4598529/original/084952100_1696414311-20231004-Aset-Negara-Hotel-Sultan-Faizal-8.jpg)


