Ada dua hal yang Fitrah Nusantara yakini mutlak: Vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan), dan kabel laptop adalah konspirator (pihak yang bersekongkol) paling jahat dalam hidupnya. Yang pertama memberinya karier cemerlang, yang kedua memberinya tiket VIP kembali ke UGD, tempat drama hidup dan mati bertemu dengan bau karbol yang melegenda.
Kali ini, takdir membawa Fitrah kembali ke UGD bukan karena liputan, tapi karena kecerobohan konyol yang melanggar pasal 'hati-hati dalam bekerja'. Saat sedang asyik mengetik berita kuliner (yang spek-nya santai abis) di kantor, Fitrah tersandung kabel laptopnya sendiri, yang mengakibatkan kopi panas tumpah tepat di pergelangan tangannya. Hasilnya: perih luar biasa, kulit memerah, dan status 'pasien' yang tak bisa dinegosiasikan. Bos Top, setengah menahan tawa (dan sepertinya melanggar pasal 'simpati pada rekan kerja'), menyuruhnya segera ke UGD.
Di UGD yang ramai dan penuh hiruk pikuk, Fitrah menggerutu sambil menunggu giliran, merasa down grade (turun kasta) dari pahlawan nasional jadi korban keteledoran. Staf medis tampak sigap, berlarian kesana kemari, mirip barang bukti (benda bukti) yang sedang diamankan. Di tengah kekacauan itu, pandangannya tertuju pada seorang perawat yang sedang sibuk, gerakannya cekatan namun penuh perhatian saat menangani pasien. Wajahnya teduh dan menenangkan, kontras dengan suasana UGD yang panik, mirip oase di padang pasir chaos.
"Pasien luka bakar ringan, silakan masuk ke ruang tindakan," panggil seorang suster, suaranya toa banget, seolah-olah mengumumkan vonis ringan.
Fitrah masuk dan duduk di kursi periksa. Tak lama kemudian, perawat yang dia perhatikan di ruang UGD tadi masuk.
"Halo, saya Perawat Arine," sapanya ramah, suaranya lembut, mirip restorative justice bagi telinga Fitrah yang lelah dengan ancaman. "Mari kita lihat tangannya."
Fitrah menunjukkan pergelangan tangannya yang melepuh terkena tumpahan kopi panas. "Gara-gara kabel laptop, Sus. Apes banget. Ini mungkin bisa masuk delik 'percobaan pembunuhan' oleh kabel."
Arine tersenyum simpul. "Kecelakaan kerja yang unik, Pak. Untung cuma ringan, nggak perlu visum et repertum (laporan medis) forensik." Sambil membersihkan dan mengoleskan salep, Arine bertanya, "Sepertinya saya pernah melihat Bapak? Bapak wartawan Kabar Kilat yang dulu liputan kasus soal ceker ayam dan bansos itu, ya? Bapak yang suka bawa recorder jadul?"
Fitrah sedikit terkejut. Damage control-nya gagal total, ketahuan juga di UGD. "Iya, benar. Anda ingat? Jangan-jangan Sus Arine ini intelejen juga?"
"Tentu saja. Waktu itu saya sedang tugas jaga di sini. Salut dengan keberanian Bapak membongkar kebusukan itu," kata Arine tulus, matanya bersinar, bukan karena efek AC UGD yang dingin.
Obrolan mengalir lancar selama Arine membalut tangan Fitrah. Mereka berbicara tentang etika, dilema pilihan hidup, dan keinginan mereka untuk membawa perubahan, meskipun di bidang yang berbeda. Fitrah merasa ada koneksi instan yang kuat, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan di dunia politik yang penuh kepalsuan dan eufemisme.
Beberapa hari kemudian, Fitrah kembali ke rumah sakit untuk kontrol, dengan alasan perban agak gatal (padahal kangen). Dia berharap bertemu Arine lagi, dan harapannya terkabul. Pertemuan kedua itu semakin memperdalam ketertarikan mereka. Kali ini, Fitrah tidak hanya membawa tangan yang terbalut perban, tapi juga kartu nama dengan nomor pribadinya.
"Mungkin kita bisa ngopi di luar jam kerja, Sus? Biar saya bisa balas budi sudah diobati. Saya traktir kopi mahal di kedai langganan Jaksa Bahar, asal jangan bahas pasal-pasal," tawar Fitrah, jurus ‘wartawan lugunya’ berganti jadi jurus ‘pejuang cinta’ yang sedikit kaku, mirip pengacara judes yang lagi salah kostum.
Arine tertawa kecil, menerima kartu nama itu dengan senyum manis yang bisa meluluhkan pasal pidana. "Boleh, Fitrah. Kebetulan saya juga penasaran sama cerita lengkap di balik berita itu. Curhat dikit, siapa tahu bisa kasih nasehat medis."
Sejak saat itu, UGD bukan lagi tempat yang penuh kenangan pahit bagi Fitrah. UGD menjadi awal kisah baru, babak baru dalam hidupnya yang jauh dari intrik politik, tapi penuh dengan kehangatan dan... cinta sejati dari seorang perawat berhati lembut. Status jomblonya kini terancam dicabut permanen.
Bos Top, saat mendengar kabar itu (mungkin dari staf keuangan partai yang kini jadi mata-mata part-time Fitrah), hanya bisa tersenyum dan berkata, "Tuh kan, Fit. Integritas itu mata uang paling berharga. Bisa menyelamatkan negara, bisa juga menyelamatkan jomblo abadi kayak kamu. Skakmat!"
Fitrah Nusantara, kini siap untuk tantangan baru; menaklukkan hati Perawat Arine, kali ini tanpa perlu merekam tersembunyi atau lari di tengah malam, hanya dengan ketulusan seorang jurnalis sejati. Dan yang terpenting, dia belajar untuk lebih berhati-hati dengan kabel laptopnya. (Bersambung - Ikrar Setia di Tenda Pengungsian)





