TINDAK pidana korupsi di negeri ini tidak pernah benar-benar surut, dan seakan tidak pernah kehabisan amunisi. Korupsi telah menjelma menjadi sebuah epidemi yang semakin masif, menyebar, dan menginfeksi segala lini, dari pusat kekuasaan hingga ke sudut-sudut gelap birokrasi di tingkat desa.
Semua lini penganggaran negara tidak ada yang luput dari aksi rasuah, mulai sektor infrastruktur vital hingga alokasi dana sosial. Dari hasil analisis Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap kasus korupsi sepanjang tahun lalu, ada 3.605 putusan kasus korupsi yang dipublikasikan Mahkamah Agung dengan kerugian keuangan negara mencapai Rp330,9 triliun.
Angka itu jelas menunjukkan bahwa perang melawan korupsi di negeri ini masih jauh dari tuntas, bahkan cenderung terperangkap dalam stagnasi. Aksi-aksi penindakan tipikor oleh penegak hukum, baik itu Komisi Pemberantasan Korupsi, Polri, maupun Kejaksaan Agung seakan menggarami lautan, tak terasa asinnya.
Korupsi di Indonesia telah melampaui batas definisi sebagai sekadar kasus perorangan atau persoalan oknum nakal, tetapi telah berevolusi menjadi penyakit sistemik yang menggerogoti setiap sendi kehidupan berbangsa. Baca juga: 9 Desember Diperingati Hari Antikorupsi Sedunia, Ini Sejarah dan Temanya
Aktornya pun telah mencakup beragam profesi. ICW mencatat pekerjaan terdakwa kasus korupsi paling banyak berasal dari sektor swasta (603), disusul pegawai pemerintah daerah (462), dan kepala desa (204). Sementara itu, terdakwa dari jabatan strategis seperti legislatif, kepala daerah, dan pejabat BUMN masih relatif rendah (110).
Banyaknya level pegawai dan minimnya pejabat yang ditindak menunjukkan bahwa usaha untuk memberantas korupsi belum mampu menjerat pelaku-pelaku kelas atas, yang mungkin karena intervensi kekuasaan ataupun kebijakan-kebijakan yang tidak pro terhadap pemberantasan korupsi.
Melemahnya taring lembaga-lembaga yang selama ini jadi ujung tombak pemberantasan korupsi jelas menjadi penyebab utama. Sejumlah kasus korupsi yang menyentuh aktor-aktor kekuasaan terkadang prosesnya sering jalan di tempat.
Logo Harkodia 2025. Foto: KPK.
Oleh karena itu, Hari Antikorupsi Sedunia tidak boleh menjadi sekadar ritual seremonial tahunan yang diisi dengan pidato-pidato berapi-api yang mudah dilupakan. Sudah saatnya bangsa ini bergerak melampaui retorika klise dengan mengembalikan taring pemberantasan korupsi.
Memang, skor Survei Penilaian Integritas (SPI) 2025 mencapai 72,32 poin, atau meningkat jika dibandingkan dengan SPI 2024 yang tercatat 71,53 poin. Namun, skor ini masih dalam kategori rentan, sekaligus menunjukkan bahwa praktik koruptif masih terjadi.
Begitu pula dari indikator skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Skor IPK 2024 Indonesia masih di angka 37 dan menempati peringkat 99 dari 180 negara. Bahkan, untuk level Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat kelima, kalah dari Singapura, Malaysia, Timor Leste, dan Vietnam.
Situasi tersebut jelas membutuhkan komitmen dan kerja nyata dari pemerintahan di bawah Presiden Prabowo Subianto. Tunjukkan keberanian politik untuk bersikap tegas dalam upaya pemberantasan korupsi. Jangan biarkan penindakan korupsi berjalan di tempat seolah menghadapi tembok tebal yang tak terlihat.
Penerapan efek jera terhadap pelaku korupsi harus serius, tidak lagi toleran terhadap vonis yang ringan atau hukuman diskon. Perihal ini jelas butuh komitmen nyata. Pasalnya, rata-rata hukuman penjara bagi terdakwa korupsi hanya 3 tahun 3 bulan, dengan denda rata-rata hanya Rp180 juta.
Di situlah mestinya menjadi momentum bagi Presiden Prabowo Subianto untuk mengubah keprihatinan dan kemarahan rakyat menjadi kebijakan konstruktif. Segera dorong pembentukan undang-undang perampasan aset yang sudah bertahun-tahun mandek. Pemiskinan merupakan sanksi yang paling menjerakan bagi koruptor.
Rakyat tentu tidak mau terus-menerus hanya menonton kemarahan Presiden di berbagai kesempatan karena korupsi tak kunjung bisa diberantas. Mari kita tunggu kebijakan konkret, demi menepati janji mengejar koruptor ke mana pun dan di mana pun mereka berada serta berlindung.




