Pelajaran dari Sepatu Tua dan Sekolah Bocor

kumparan.com
1 hari lalu
Cover Berita

Makna pengorbanan sering kali hadir dalam bentuk-bentuk sederhana, tersembunyi di balik pekerjaan kecil yang dilakukan seseorang demi kesejahteraan orang lain. W. O. Saunders (1884-1940) memiliki kenangan masa kecil tentang ayahnya.

Ayah Saunders bekerja keras dengan memperbaiki sepatunya sendiri, mencabut paku-paku berkarat dari papan tua selama berjam-jam, hanya agar dapat mengumpulkan paku yang cukup untuk menambal gudang atau pagar kebun.

Semua itu dilakukan bukan demi kenyamanan dirinya, melainkan demi memastikan bahwa anaknya dapat memiliki sesuatu lebih baik dan waktu senggang yang tidak pernah menjadi miliknya. Inilah bentuk kasih yang tidak mencari balasan: pengorbanan yang tidak memamerkan luka, tetapi menyembunyikannya demi kegembiraan orang yang dicintai.

Kisah ayah Saunders menggambarkan universalitas cinta orang tua, terutama dalam konteks keluarga-keluarga yang hidup dengan keterbatasan. Banyak ayah dan ibu yang bekerja keras tanpa henti—bahkan mengorbankan kenyamanan, kesehatan, dan impian pribadi—demi memastikan masa depan anak-anak mereka lebih cerah daripada masa depan yang mereka jalani.

Pengorbanan semacam ini bukan sekadar kewajiban moral, melainkan ekspresi terdalam dari cinta yang memilih menderita agar kehidupan orang lain lebih ringan. Yang menarik adalah bahwa penderitaan itu—dalam perspektif mereka—bukan beban, melainkan sumber sukacita yang lahir dari melihat anak mereka tumbuh, belajar, dan berkembang.

Kisah sang ayah juga membuka mata kita terhadap sifat cinta yang tidak dramatis, tidak spektakuler, tetapi hadir dalam tindakan sehari-hari yang sering kali tidak terlihat. Tangan lelah, pakaian lusuh, sepatu yang "haus"—semuanya adalah jejak pengorbanan yang tidak pernah diiklankan.

Justru dalam kesunyian inilah cinta menemukan bentuknya yang paling murni. Cinta sejati tidak mencari pengakuan karena nilai sesungguhnya terletak pada siapa yang diuntungkan, bukan pada siapa yang berkorban.

Makna penderitaan yang menyertai cinta tidak hanya ditemukan dalam lingkup keluarga, tetapi juga dalam semangat pelayanan bagi sesama. Dalam sejarah, banyak martir dan tokoh suci yang rela menderita demi memperjuangkan kebenaran, kemanusiaan, atau iman mereka.

Mereka menerima penderitaan dengan kesadaran penuh; bukan karena mencintai rasa sakit, melainkan karena menempatkan kesejahteraan orang lain sebagai tujuan lebih tinggi. Penderitaan ini menjadi bahasa cinta paling radikal—cinta yang menolak menyerah meski menghadapi ancaman; ancaman yang bukan hanya fisik, melainkan juga moral maupun spiritual.

Di masa kini, semangat pengorbanan itu tetap hidup dalam figur-figur sederhana yang jarang mendapatkan sorotan publik. Salah satunya adalah tokoh imajiner yaitu Bu Sari Puspita, seorang guru di pedalaman yang mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan anak-anak kurang mampu.

Kisahnya menjadi cerminan dari ribuan pendidik yang bekerja dalam kondisi serba terbatas, tapi tetap berjalan karena dorongan hati untuk membuat perubahan.

Bu Sari tidak memiliki sumber daya besar, bahkan kesehariannya dipenuhi kesulitan yang seharusnya membuatnya menyerah. Namun, ia tetap bertahan karena ia tahu bahwa masa depan anak-anak di sana bergantung pada setiap langkahnya.

Setiap hari, Bu Sari harus menempuh perjalanan panjang, melintasi jalan berbatu, sungai kecil, atau bahkan cuaca yang ekstrem hanya untuk tiba di sekolah. Pengorbanan fisik ini menguras tenaga, tetapi tidak mengurangi semangatnya.

Ia sadar bahwa setiap menit yang dihabiskannya di kelas adalah investasi bagi masa depan generasi yang mungkin tidak akan pernah dilihat hasilnya. Namun, ia tetap melakukannya karena cinta tidak selalu menuntut untuk melihat buahnya—cinta percaya bahwa benih yang ditanam akan tumbuh pada waktunya.

Lebih jauh, Bu Sari juga sering menggunakan dana pribadi untuk membeli buku, kapur tulis, dan bahkan untuk memperbaiki atap sekolah yang bocor. Ketika fasilitas rusak, ia tidak menunggu bantuan datang karena ia tahu bahwa waktu yang terbuang adalah kesempatan belajar yang hilang.

Sama seperti ayah Saunders yang mencabut paku berkarat demi menambal gudang, Bu Sari menambal kekurangan pendidikan demi memastikan anak-anak tetap memiliki ruang untuk belajar. Tindakan ini bukan sekadar pekerjaan tambahan, melainkan wujud nyata dari cinta yang memilih untuk bertindak meski harus menanggung kerugian pribadi.

Ia tidak hanya menderita kekurangan materi, tetapi juga mengorbankan kenyamanan hidup. Banyak orang akan memilih tinggal di kota dengan akses lebih baik terhadap kesehatan, hiburan, dan fasilitas umum.

Namun, Bu Sari memilih tinggal di pedalaman, jauh dari keramaian, demi memastikan anak-anak di sana memiliki kesempatan yang sama untuk bermimpi besar. Ia tahu bahwa ketidakadilan pendidikan hanya dapat diubah melalui tindakan berkelanjutan, bukan hanya melalui wacana.

Pengorbanan ini menunjukkan bahwa penderitaan yang ia tanggung bukanlah penderitaan yang sia-sia. Ia menderita dengan sukacita, bukan karena menikmati kesulitan, melainkan karena percaya bahwa cinta harus diwujudkan dalam tindakan konkret yang memberi harapan.

Cinta yang berorientasi pada kepentingan pribadi akan cepat pudar saat menghadapi rintangan. Namun, cinta yang tertuju pada kesejahteraan orang lain akan menemukan kekuatannya justru dalam penderitaan yang harus dilalui.

Kisah-kisah ini—baik dari ayah Saunders maupun figur seperti Bu Sari—menyadarkan kita bahwa cinta selalu berkaitan dengan pengorbanan. Tanpa kesiapan untuk menderita, cinta mudah berubah menjadi perasaan kosong yang hanya mencari kenyamanan. Sebaliknya, cinta yang sejati menuntut kehadiran, komitmen, dan keberanian untuk tetap bertahan ketika pilihan itu membawa kesulitan.

Dalam konteks pendidikan, pelayanan sosial, atau keluarga, cinta selalu memerlukan tindakan yang mungkin membuat kita lelah—tetapi kelelahan itu sendiri adalah bukti bahwa kita sedang mengusahakan kebaikan.

Dari kisah ini, kita diajak untuk bertanya pada diri sendiri: Seberapa besar kesiapan kita untuk menanggung penderitaan demi membantu orang lain? Pengorbanan tidak selalu harus berupa tindakan heroik. Mungkin itu berupa pemberian waktu untuk mendengarkan seorang teman, memberikan perhatian kepada anggota keluarga, atau menyisihkan sebagian kecil rezeki bagi mereka yang membutuhkan.

Apa pun bentuknya, pengorbanan selalu mengandung unsur kehilangan—kehilangan waktu, tenaga, uang, atau kenyamanan—tetapi inilah kehilangan yang justru memperkaya jiwa kita.

Pada akhirnya, refleksi tentang pengorbanan membawa kita pada satu kebenaran mendalam, yakni cinta mengandung unsur penderitaan. "Love entails suffering" bukanlah ungkapan yang pesimis, melainkan pengakuan jujur bahwa kasih yang otentik tidak pernah steril dari tantangan. Justru penderitaan itulah yang memberi struktur dan kedalaman bagi cinta, menjadikannya lebih dari sekadar emosi sesaat.

Namun, penderitaan dalam cinta bukanlah penderitaan yang menghancurkan, melainkan penderitaan yang melahirkan harapan. Dari ayah Saunders, kita belajar bahwa pengorbanan kecil dapat menghasilkan masa depan yang lebih baik.

Dari Bu Sari, kita melihat bagaimana tekad untuk melayani dapat membuka jalan bagi transformasi generasi muda. Cinta yang menderita merupakan kasih yang bekerja dan kasih yang bekerja menjadi cinta yang memberi makna bagi hidup.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Malam Mencekam di TMP Kalibata Buntut Seorang Mata Elang Tewas Dikeroyok, Aksi Pemabakaran Hingga Padamnya Listrik
• 2 jam lalutvonenews.com
thumb
[FULL] Ito Sumardi soal Penetapan Status Tersangka Bos Terra Drone, Pasca Kebakaran Gedung
• 6 jam lalukompas.tv
thumb
Interaksi Disorot, Ini 7 Momen Pertemuan Azizah Salsha dan Pratama Arhan Usai Cerai
• 23 jam laluinsertlive.com
thumb
Anggota Baleg Usulkan BPKH Bertanggung Jawab Langsung ke Presiden
• 12 jam lalusuarasurabaya.net
thumb
Delegasi OECD ke Indonesia, Perdagangan dan Ekonomi Digital Jadi Sorotan
• 14 jam lalukumparan.com
Berhasil disimpan.