Bisnis.com, YOGYAKARTA - Indeks harga konsumen atau inflasi China naik ke level tertinggi dalam lebih dari setahun pada November, tetapi tekanan deflasi masih membayangi perekonomian seiring terus merosotnya harga di tingkat produsen.
Menurut data Biro Statistik Nasional China atau NBS yang dilansir dari Bloomberg pada Rabu (10/12/2025), indeks harga konsumen atau consumer price index (CPI) tercatat naik 0,7% secara year-on-year (YoY) pada November 2025. Capaian tersebut menandai bulan kedua berturut-turut CPI berada di zona positif dan sejalan dengan median proyeksi ekonom yang disurvei Bloomberg.
Di sisi lain, deflasi tingkat produsen justru memburuk. Indeks harga produsen atau producer price index (PPI) turun 2,2% YoY, sekaligus memperpanjang tren penurunan menjadi 38 bulan berturut-turut.
Sementara itu, inflasi inti—yang mengecualikan komponen harga pangan dan energi—terhenti setelah enam bulan menguat, dan stagnan di level 1,2%.
Data yang campuran tersebut menegaskan tekanan deflasi masih kuat, terus menggerus laba perusahaan dan pendapatan pekerja. Lemahnya permintaan domestik juga menghambat upaya pemerintah menekan perang harga dan persaingan tidak sehat di kalangan pelaku usaha.
“Kontraksi PPI yang lebih besar dari perkiraan menunjukkan deflasi di China belum mereda. Ini seharusnya menjadi prioritas kebijakan pada 2026,” ujar Kepala Ekonom Greater China ANZ Bank Raymond Yeung.
China menghadapi fase deflasi sejak berakhirnya pandemi Covid-19, seiring perlambatan panjang sektor properti dan lemahnya konsumsi masyarakat. Di sejumlah industri, kapasitas produksi berlebih memicu kelebihan pasokan, memaksa perusahaan menurunkan harga demi bertahan.
Deflator produk domestik bruto (PDB) China—ukuran terluas pergerakan harga—diproyeksikan kembali mencatat penurunan pada akhir 2025. Jika terwujud, ini akan menjadi penurunan tahunan ketiga berturut-turut dan tren terpanjang sejak China beralih menuju ekonomi pasar pada akhir 1970-an.
Pasar bereaksi negatif terhadap data PPI. Imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun dan 30 tahun China sempat berbalik turun setelah sebelumnya menguat. Indeks saham di pasar domestik maupun luar negeri juga tetap berada di zona pelemahan.
“Penguatan CPI masih terlalu kecil untuk benar-benar mengubah prospek pertumbuhan atau laba perusahaan,” kata Kepala Strategi Investasi Saxo Markets Singapura Charu Chanana.
Menurutnya, pasar membutuhkan rangkaian data harga yang lebih solid dan dukungan kebijakan fiskal yang lebih kuat sebelum kembali menaikkan penilaian terhadap China.
Tekanan deflasi di sektor konsumen dinilai belum sepenuhnya tecermin dalam data CPI utama, khususnya di tengah lonjakan harga emas. Harga perhiasan emas melonjak 58,4% YoY, melampaui kenaikan Oktober yang sebesar 50,3%, menurut pernyataan terpisah dari ahli statistik NBS Dong Lijuan. Lonjakan ini turut mendongkrak inflasi umum dan inflasi inti.
Pada kelompok CPI barang dan jasa lainnya yang mencakup perhiasan, inflasi melonjak 14,2% YoY, tertinggi sejak data tersebut mulai dicatat pada 2016.
Sementara itu, harga pangan naik secara tahunan untuk pertama kalinya sejak Januari, dipicu kenaikan harga sayuran segar sebesar 15% dan perlambatan penurunan harga daging. Capital Economics menilai kondisi cuaca yang lebih dingin serta basis perbandingan yang rendah tahun lalu menjadi faktor pendorong.
Sebaliknya, inflasi non-pangan melambat ke level 0,8% YoYsetelah sebelumnya menguat sepanjang tahun, tertekan oleh penurunan biaya transportasi dan komunikasi. Harga jasa tumbuh lebih lambat dibanding Oktober, sementara kenaikan biaya perumahan melemah hingga mendekati nol.
Pemerintah China sebelumnya berjanji menertibkan persaingan harga yang dinilai tidak teratur, tetapi kemajuan dinilai terbatas karena kekhawatiran akan risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pelemahan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan PDB China sendiri melambat pada kuartal sebelumnya ke level terendah dalam satu tahun.
Para analis memperkirakan perlambatan berlanjut pada kuartal berjalan, dengan proyeksi pertumbuhan terlemah sejak kuartal IV/2022, saat China masih berada di fase akhir kebijakan nol Covid. Kendati demikian, ekonomi China diyakini masih berada di jalur untuk mencapai target pertumbuhan resmi sekitar 5% pada tahun ini.
Data inflasi terbaru dinilai tidak akan menghambat kebijakan pelonggaran moneter bank sentral China tahun depan, terutama jika kenaikan CPI lebih banyak dipicu pemulihan harga pangan.
Ekonom ING Lynn Song memperkirakan People’s Bank of China (PBoC) akan memangkas suku bunga hingga 20 basis poin pada 2026, dua kali lipat dari total pemangkasan sepanjang tahun ini.
“Perhatian saat ini tertuju pada upaya memastikan 2026, tahun pertama periode Rencana Lima Tahun berikutnya, dimulai dengan baik. Hal ini kemungkinan membutuhkan gelombang stimulus kebijakan tambahan pada awal tahun depan,” ujar Song.



