Bisnis.com, JAKARTA — Isu integritas dan korupsi pengelolaan anggaran negara ternyata menjadi variabel paling krusial yang menentukan sikap wajib pajak di Indonesia.
Hal tersebut terungkap dalam laporan bertajuk Public Trust in Tax 2025: Asia and Beyond yang dirilis oleh The Association of Chartered Certified Accountants (ACCA) bersama OECD, IFAC, dan CA ANZ.
Dalam temuan tersebut, sebanyak 81% responden di Indonesia menyatakan bahwa korupsi merupakan faktor utama (major factor) yang memengaruhi sikap mereka terhadap pajak. Angka itu hanya kalah dari Filipina (84%).
"Hentikan korupsi dan orang-orang akan lebih patuh bayar pajak," ujar seorang respons di Asia Tenggara dalam laporan tersebut, dikutip Rabu (10/13/2025).
Sebagai perbandingan, negara-negara maju yang tata kelolanya dianggap lebih matang menganggap faktor korupsi tidak terlalu penting.
Di Selandia Baru misalnya, hanya 33% responden yang menganggap korupsi sebagai faktor utama yang memengaruhi kepatuhan pajak mereka, sementara di Australia angkanya tercatat 34%.
Baca Juga
- Purbaya Beri Keringanan Pajak buat Aksi Korporasi BUMN 3 Tahun ke Depan
- Alasan di Balik Guyuran Insentif Pajak untuk Dunia Usaha saat Tax Ratio RI Tergerus
- Setoran Pajak Seret, Pegawai DJP Dilarang Cuti sampai Akhir Tahun!
Laporan ini juga membedah alasan spesifik yang digunakan wajib pajak untuk membenarkan tindakan mengelak atau curang dalam kewajiban perpajakan.
Mayoritas responden Indonesia (36%) membenarkan tindakan mengelak pajak dengan alasan "uang pajak tidak dibelanjakan dengan baik" (tax is not well spent).
Alasan kualitas belanja negara ini ternyata lebih dominan dibandingkan alasan klasik mengenai beban finansial. Misalnya, 31% responden Indonesia yang menjadikan "tarif pajak terlalu tinggi" sebagai pembenaran untuk tidak patuh dan 27% beralasan karena "sistem pajak tidak adil".
Pola pikir wajib pajak Indonesia ini sejalan dengan tren di Asia Tenggara, namun berbeda dengan kawasan lain. Di Singapura, misalnya, separuh responden (50%) justru menyalahkan tarif pajak yang terlalu tinggi sebagai alasan utama untuk melakukan penghindaran, bukan soal kualitas belanja negaranya.
Sementara itu, responden di Asia Selatan memiliki karakteristik unik lainnya. Di kawasan ini, pembenaran "karena orang lain juga melakukannya" (everyone does it) cukup populer dengan angka mencapai 22%.
Anomali Kepercayaan Media SosialLaporan ini juga menyoroti anomali perilaku wajib pajak Indonesia dalam mencari informasi. Indonesia mencatatkan tingkat kepercayaan bersih (net trust) tertinggi terhadap informasi perpajakan di media sosial, yakni positif 47%.
Kondisi ini berbanding terbalik 180 derajat dengan negara-negara Barat. Prancis misalnya, yang mencatat tingkat ketidakpercayaan (distrust) paling dalam terhadap informasi pajak di media sosial dengan skor minus 44%.
Artinya, jika warga Prancis sangat skeptis terhadap konten pajak di medsos maka warga Indonesia justru menjadikannya rujukan utama.
Rela Bayar Pajak Demi SDGsKendati sensitif terhadap isu korupsi, wajib pajak Indonesia menunjukkan kemurahan hati apabila pajak dikaitkan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
Sebanyak 25% responden Indonesia bersedia membayar pajak tambahan dalam jumlah "signifikan" demi mendukung SDGs. Semangat ini menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara Asia Selatan seperti Bangladesh (47%) dan India (45%) yang sangat antusias berkontribusi lebih.
Sikap ini sangat kontras dengan negara-negara maju di kawasan Pasifik. Di Selandia Baru, sebanyak 62% responden dengan tegas menolak membayar pajak tambahan sepeser pun untuk SDGs. Sikap serupa juga ditunjukkan oleh mayoritas responden di Kanada (56% menolak) dan Australia (55% menolak).
Sebagai informasi, laporan ini didasarkan pada survei daring terhadap 12.467 individu yang tersebar di 29 negara, termasuk Indonesia. Cakupan survei berfokus pada kawasan Asia dengan melibatkan 19 negara yang merepresentasikan 89% populasi dan PDB Asia.
Mengingat metode survei dilakukan secara daring, ACCA memberikan catatan bahwa profil responden cenderung bias ke masyarakat urban dengan tingkat pendapatan dan pendidikan yang lebih tinggi (74,9%).



