BALIKPAPAN, KOMPAS - Sebanyak 115 desa di Kalimantan Utara belum teraliri listrik. Warga berharap potensi pembangkit listrik yang ada di sekitar desa dioptimalkan.
Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltara Yosua Batara Payangan mengatakan, angka tersebut merupakan data terbaru setelah program penyediaan listrik sepanjang 2025.
“Dan sampai saat ini sudah ada sekitar 24 desa yang sudah mendapatkan penyediaan tenaga listrik (baru) melalui PT PLN,” kata Yosua dalam keterangan resmi, Rabu (10/12/2025).
Dengan demikian, saat ini baru 81,95 persen desa di Kaltara yang sudah berlistrik. Angka itu meningkat perlahan dalam lima tahun terakhir. Pada 2020, desa yang teraliri listrik di provinsi ini 68,8 persen.
Sebagian desa yang belum berlistrik adalah area yang sulit dijangkau, yakni jauh dari pusat kota dan tak tersambung jalur darat. Salah satunya Desa Long Peleban, Kecamatan Peso, Kabupaten Bulungan, yang berada di sekitar hulu Sungai Kayan.
Juli (40), warga setempat, mengatakan, listrik hanya menyala delapan jam dalam sehari melalui genset kampung. Akses internet pun sangat lemah. Sebagai pengajar, kondisi itu kerap menyulitkannya saat membuat laporan data pokok pendidikan.
“Kami menginap di pusat kecamatan untuk dapat internet dan buat laporan. Naik perahu pulang pergi Rp 300.000,” katanya.
Ia berharap pemerintah tidak hanya fokus pada jaringan listrik PLN ke daerah-daerah yang sulit dijangkau seperti Long Peleban. Menurutnya, potensi pembangkit listrik di sekitar desa bisa dimanfaatkan.
Hal itu bisa menghemat dana desa yang selama ini digunakan sebagian untuk membeli solar genset. Biaya itu bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain di kampung yang tak terhubung jalur darat ke daerah lain tersebut.
“Misalnya (pemerintah bikin) pembangkit listrik tenaga air untuk satu kampung saja, tidak usah besar-besar. Itu akan memudahkan kami tanpa harus menunggu jaringan kabel listrik dari daerah lain,” katanya.
Pemerintah Kaltara menargetkan seluruh desa di provinsi itu terlayani listrik pada 2030. Hal itu dilakukan dengan bekerja sama dengan pemerintah pusat.
Yosua mengatakan, PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) memungkinkan dibuat di beberapa tempat. Namun, biayanya lebih besar daripada membuat jaringan listrik baru. Di beberapa desa di tepi sungai, kabel akan dibuat lebih efektif dengan membentangkannya melintang di atas sungai.
Wakil Gubernur Kaltara Ingkong Ala mengatakan, pihaknya baru-baru ini menandatangani peralihan kepemilikan aset infrastruktur energi baru terbarukan (EBT) dari Kementerian ESDM. Hibah barang milik negara itu meliputi tiga proyek energi utama yang menyasar daerah-daerah terpencil, terdepan, dan terluar (3T) di Kaltara.
“Total kapasitas 128,8 kWp/kW,” kata Ingkong.
Itu terdiri dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap, PLTMH, dan PLTS komunal. Ia mengatakan, pemenuhan kebutuhan listrik di daerah 3T lain bisa dilakukan dengan pola penyediaan pembangkit listrik komunal yang potensial di daerah tersebut.





