JAKARTA — Kesepakatan dagang Indonesia-AS yang dicapai pada Juli 2025 dilaporkan berisiko batal akibat ketegangan terkait implementasi komitmen. Namun, pemerintah memastikan proses negosiasi masih berlanjut kendati sejumlah pihak menilai kesepakatan yang telah terjalin antara Indonesia-AS tidak seimbang dan banyak merugikan Indonesia.
Financial Times dan Reuters pada Rabu (10/12/2025) melaporkan, kesepakatan dagang RI–AS yang dicapai pada Juli 2025 berisiko batal. Washington disebut frustrasi karena menilai Jakarta memperlambat dan mengingkari komitmen penurunan bea masuk ekspor Indonesia ke AS.
Salah satu sumber yang dikutip Financial Times menyatakan, Indonesia meminta renegosiasi atas komitmen awal yang telah disepakati.
Menurut laporan tersebut, Amerika Serikat menilai Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto telah memberi persetujuan atas komitmen Juli 2025, tetapi kemudian mempertimbangkan ulang setelah muncul penolakan di dalam negeri.
Peneliti Senior Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, Deni Friawan, memandang kesepakatan yang sudah terjalin antara AS dan Indonesia pada dasarnya mengandung ketidakseimbangan yang merugikan Indonesia.
"Kesepakatan ini terburu-buru dan asimetris. Indonesia banyak memberikan komitmen, namun yang didapat jauh lebih sedikit. Kita tidak benar-benar bebas tarif, hanya 19 persen, sementara AS dibebaskan sepenuhnya," ujar Deni saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (10/12/2025).
Pada Juli 2025, Indonesia dan AS telah menyepakati kerangka kerja untuk perjanjian perdagangan resiprokal yang mencakup sektor perdagangan barang, investasi, ketenagakerjaan, ekonomi digital, dan keamanan ekonomi.
Dalam perundingan ini terdapat perbedaan paradigma antara Pihak Indonesia dan AS.
Dalam perjanjian tersebut, AS setuju menurunkan tarif bea masuk untuk ekspor Indonesia ke AS, sementara Indonesia sepakat menghapuskan tarif untuk 99 persen produk AS yang masuk ke Indonesia. Namun, kesepakatan ini tetap memicu protes di dalam negeri. Sejumlah pihak menilai perjanjian tersebut dapat merugikan kedaulatan Indonesia di berbagai sektor.
Kendati pemerintah Indonesia menganggap terjalinnya kesepakatan sebagai kemenangan politik, terdapat implikasi jangka panjang yang merugikan, terutama sektor domestik bisa terpengaruh oleh kebijakan yang menguntungkan AS.
Deni mengungkapkan, meskipun pemerintah Indonesia, terutama Presiden Prabowo Subianto, mungkin melihat kesepakatan ini sebagai langkah politik yang penting, kenyataannya Indonesia harus memenuhi sejumlah komitmen yang dapat mengubah kebijakan domestik.
"Indonesia membuka pasar dan membeli barang dari AS, sementara AS mendapatkan pembebasan tarif. Itu jelas merugikan kita," tambahnya.
Deni juga menjelaskan, dalam perundingan ini terdapat perbedaan paradigma antara kedua pihak. Saat pemerintah Indonesia melihat kesepakatan ini sebagai komitmen politik yang masih dapat dinegosiasikan, pemerintah AS memandangnya komitmen sebagai janji yang harus ditepati.
"Jika Indonesia tidak segera memenuhi komitmen yang telah disepakati, AS bisa menganggap perjanjian ini batal," ujarnya.
Juru Bicara Kementerian Koordinator Perekonomian Haryo Limanseto menegaskan, proses perundingan tarif dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat masih berlangsung dan tidak menghadapi hambatan. Pernyataan ini disampaikan menanggapi laporan sejumlah media internasional yang menyoroti potensi mandeknya negosiasi kesepakatan dagang kedua negara.
Haryo mengatakan, dinamika dalam proses perundingan merupakan hal wajar. Perundingan dagang Indonesia dan Amerika Serikat masih berproses, tidak ada permasalahan spesifik dalam perundingan yang dilakukan.
”Pemerintah Indonesia berharap kesepakatan dapat segera selesai dan menguntungkan kedua belah pihak,” ujarnya dalam pesan tertulis yang disampaikan kepada awak media, Rabu
Dalam laporean Reuters, utusan Dagang AS, Jamieson Greer, disebut berupaya kembali membuka komunikasi dengan Airlangga untuk menyelamatkan kesepakatan. Perundingan dijadwalkan berlangsung pekan ini.
Adapun pekan lalu, Menteri Keuangan AS Scott Bessent sempat menyebut Indonesia sebagai ”anak bandel” terkait implementasi kesepakatan dagang, tanpa menjelaskan lebih jauh maksud pernyataannya. Di sisi lain, Malaysia dipandang lebih kooperatif karena bersedia menghapus sejumlah bea masuk impor komoditas dari AS.
Sejumlah pihak di AS memperkirakan Indonesia berpotensi dikenai tarif lebih tinggi dibandingkan Malaysia, Thailand, atau Kamboja. Pada April lalu, Presiden AS Donald Trump mengumumkan Indonesia dikenai bea masuk impor sebesar 32 persen. Setelah perundingan Juli 2025, tarif tersebut turun menjadi 19 persen.



/https%3A%2F%2Fcdn-dam.kompas.id%2Fimages%2F2025%2F12%2F11%2Fe27611e204dc1dd60d6c01c31274a67c-cropped_image.jpg)

