MAKASSAR, KOMPAS - Hutan lindung seluas lapangan bola diterabas dengan bebas di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Kawasan di daerah pegunungan itu dikhawatirkan bisa berdampak luas khususnya bencana banjir dan longsor seperti yang terjadi di Sumatera. Meski telah dilaporkan, belum ada pihak yang ditetapkan tersangka dari kejadian ini.
Areal hutan seluas lapangan bola terbuka luas di Dusun Ma’lenteng, Desa Erelembang, Tombolo Pao, Gowa. Pohon-pohon di dalam kawasan yang masuk dalam areal hutan lindung tersebut hilang berganti tanah kosong.
Ikbal (35), warga setempat yang mengetahui kejadian tersebut lalu mengecek kondisi di lapangan. Ia memperkirakan, areal hutan dibabat habis sepekan sebelumnya. Bekas alat berat masih terlihat jelas.
“Itu kejadiannya pertengahan November lalu, setelahnya saya melapor ke polisi tapi sampai sekarang belum ada titik terang,” kata Ikbal dihubungi dari Makassar, Kamis (11/12/2025).
Melihat skala yang terjadi, ia melanjutkan, hal ini sulit untuk tidak mencurigai pihak-pihak yang terlibat. Sebab, skala kerusakan terjadi cukup besar dalam waktu yang beberapa lama. Para pelaku juga menggunakan alat berat untuk menebang pohon dan menggali tanah. Hutan itu dalam pengawasan polisi hutan setempat.
Menurut Ikbal, dengan situasi terjadi, ia dan warga lainnya khawatir kondisi ini berdampak besar. Melihat skala bencana di Sumatera yang menelan korban ribuan jiwa, ia tidak ingin hal yang sama terjadi di wilayahnya.
Bencana di Sumatera, ia menuturkan, membuka mata akan pentingnya pohon dan hutan yang terjaga. Saat itu hilang, makan bencana longsor, banjir bandang, bisa terjadi sewaktu-waktu. Belum lagi dengan kesulitan akan air bersih saat musim kemarau tiba.
“Makanya kami juga lapor ke Wakil Bupati Gowa dan disambut baik. Kami dihubugnkan dengan kepolisian, dan dijanjikan segera diungkap dan ditangani,” tambahnya.
Dihubungi terpisah, Kepala Polres Gowa Ajun Komisaris Besar Aldy Kurniawan dan Kasat Reskrim Gowa AKP Bahtiar tidak menjawab pertanyaan yang dikirimkan.
Pembukaan hutan telah berdampak serius di Gowa. Bencana longsor memang berkali-kali terjadi, khususnya di bawah kaki Gunung Bawakaraeng. Pada 2019 lalu, puluhan korban tewas akibat diterjang longsor.
Hasil penelusuran Kompas di sejumlah titik sepanjang daerah aliran Sungai (DAS) Jeneberang di Sulawesi Selatan, awal 2019 lalu mendapati degradasi lingkungan dari bagian hulu hingga hilir.
Sungai sepanjang 75 kilometer yang mengalir dari Gunung Bawakaraeng hingga Selat Makassar serta melintasi Kabupaten Gowa, Kabupaten Takalar, dan Kota Makassar tersebut, dalam kondisi kritis sehingga membutuhkan penanganan serius.
Di bagian hulu Jeneberang yakni di kawasan Malino dan Kanreapia, Kabupaten Gowa, kawasan hutan telah berganti rupa menjadi area pertanian hortikultura, bangunan vila, dan rumah hunian.
Di bagian tengah sungai di Kecamatan Parang Loe, Kabupaten Gowa, aktivitas tambang pasir marak. Adapun di hilir sungai di Kota Makassar, hunian liar didirikan di atas sedimen dan bangunan komersial memadati delta sungai.
Kerusakan lingkungan yang begitu masif tampak dari luas tutupan hutan di kawasan DAS Jeneberang yang terus menyusut. Berdasarkan data Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan-Jeneberang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, kawasan hutan di DAS Jeneberang pada 2011 sebesar 47,2 persen dari 78.480 hektar atau seluas 37.042 hektar.
Adapun pada 2015, luas tutupan hutan di Jeneberang hanya tersisa seluas 11.686 hektar. Hanya dalam waktu empat tahun atau rentang waktu 2011-2015, terjadi penyusutan kawasan hutan di DAS Jeneberang seluas 25.361 hektar. Hutan yang menyusut tersebut setara 1,5 kali lipat luas Kota Bandung.





/https%3A%2F%2Fcdn-dam.kompas.id%2Fphoto%2Fori%2F2025%2F12%2F11%2F5eb181c7-d8a8-3dea-ab91-ce9f2033e259.jpg)