Rekomendasi Konferensi APHTN-HAN, Perlu Aturan Standar Partisipasi Bermakna dalam Legislasi

kompas.id
1 hari lalu
Cover Berita

JAKARTA, KOMPAS – Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara menyoroti perlunya penguatan partisipasi publik dalam pembuatan undang-undang, khususnya bagi kelompok rentan atau marginal. Regulasi mengenai partisipasi bermakna ini masih tersebar, sehingga ada urgensi untuk membuat pedoman yang lebih jelas mengenai pelaksanaan partisipasi bermakna dalam pembentukan undang-undang.

Pentingnya pengaturan lebih lanjut mengenai partisipasi bermakna dalam proses legislasi atau meaningfull participation tersebut menjadi salah satu poin rekomendasi yang dihasilkan dalam Konferensi Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) ke-IV di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, selama tiga hari, pada 5-8 Desember 2025.

Konferensi diikuti oleh kurang lebih 200 pengajar hukum tata negara dan hukum administrasi negara dari berbagai universitas di Indonesia.  

“Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sudah mengatur tentang partisipasi yang bermakna dalam pembuatan undang-undang. Namun, di tataran pelaksanaannya ini kan modelnya beragam. Oleh karena itu, pada tingkatan peraturan pelaksanaan, perlu dibuat model standar yang dimaksud partisipasi bermakna itu seperti apa yang nantinya menjadi  pedoman. Tentu dengan memerhatikan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi,” kata Oce Madril, tim perumus rekomendasi sekaligus Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia APHTN-HAN, Rabu (10/12/2025).

Konferensi Nasional APHTN-HAN ke-IV mengangkat tema “Tata Kelola Penyelenggaraan Negara: Konstitusionalisme Digital (Digital Constitutionalism), Penataan Pemilu, hingga Pengelolaan Investasi Negara (Sovereign Wealth Fund)”.

Tema tersebut dipilih dengan pertimbangan perkembangan ketatanegaraan kontemporer, termasuk isu-isu HTN dan HAN aktual. Dalam kaitannya dengan kegiatan ini, APHTN-HAN menerima 350 naskah kompetitif dari para pengajar, peminat, dan pemikir HTN-HAN se-Indonesia, termasuk dari kalangan hakim. Gagasan-gagasan itu didiskusikan, sehingga pada akhirnya menghasilkan sejumlah rekomendasi. 

Tema besar tersebut kemudian dibahas secara lebih detail ke dalam lima panel, terdiri atas: konstitusionalisme digital, penataan pemilu dan pilkada, penataan kewenangan dan kelembagaan penegak hukum, pengelolaan investasi negara, dan panel internasional dengan tema meaningfull (public) participation in legislation making.  

Partisipasi bermakna dalam pembuatan regulasi dibahas secara khusus mengingat perluasan sistem representasi di negara demokrasi modern kini menuju ke arah yang kian deliberatif partisipatif. “Pelibatan masyarakat menjadi elemen kunci yang terwujud melalui partisipasi bermakna (meaningfull participation), meliputi: right to be heard, right to be considerd, dan right to be explained,” kata Oce.  

Baca JugaDari Privasi hingga AI, Masa Depan Sengketa Digital di Mahkamah Konstitusi

MK sudah mengamanatkan pentingnya partisipasi publik yang bermakna dalam setiap proses pembuatan undang-undang dalam putusannya nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait pengujian Undang-Undang Cipta Kerja. Namun, publik menilai amanat MK itu belum dilaksanakan dengan semestinya mengingat begitu banyaknya undang-undang yang diajukan uji formil ke MK, setelah putusan 91/2020. Di antaranya, UU TNI (16 kali) UU Badan Usaha Milik Negara (delapan kali), UU Cipta Kerja, dan lainnya.

Dalam rekomendasinya, APHTN-HAN menyatakan, penguatan partisipasi publik dalam pembuatan undang-undang dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi. Pelaksanaannya pun diharapkan dapat lebih substantif, tidak hanya sekadar formalitas. Sebab, hal itu sama dengan mengembalikan kedaulatan kepada rakyat dan harus diterapkan untuk regulasi yang berdampak langsung terhadap rakyat.  

Partisipasi bermakna pun tidak boleh hanya dimaknai dengan memperhatikan aspirasi yang berkembang dalam isu-isu yang bersifat domestik atau dalam negeri. Menurut Oce, APHTN-HAN juga merekomendasikan bahwa gagasan yang berkembang di suatu kawasan juga patut untuk dipertimbangkan. Utamanya, dalam pembuatan regulasi terkait dengan isu-isu transisi energi, ketahanan pangan, pembangunan berkelanjutan (sustainable development), pemanasan global (global warming), dan pelestarian lingkungan hidup.

Penataan pemilu dan pilkada  

Tim perumus lainnya yang juga Ketua Departemen Akademik dan Pengajaran APHTN-HAN, Rudy, mengatakan, konferensi nasional kali ini juga merekomendasikan dilakukannya penataan paket UU Pemilu/Pilkada, termasuk UU Partai Politik.

Model kodifikasi dapat menjadi pilihan dalam melakukan perubahan undang-undang di bidang kepemiluan ke depan. Hal itu perlu dilakukan jauh-jauh hari sebelum berlangsungnya proses tahapan pemilu supaya jika ada pengujian ke Mahkamah Konstitusi, tak mengganggu tahapan pemilu.  

“Ini demi kepastian tahapan pemilu/pilkada,” kata Rudy.  

Ada sejumlah aspek yang perlu penataan untuk merespons sejumlah putusan MK, yaitu putusan terkait ambang batas pencalonan presiden/wakil presiden, ambang batas parlemen, kelembagaan pemilu termasuk pemilu serentak nasional dan lokal.

APHTN-HAN mengingatkan, perumusan mengenai hal-hal substansial menindaklanjuti putusan MK perlu melibatkan partisipasi publik.  

Baca JugaPenyusunan Draf Revisi UU Pemilu Dimulai Januari 2026

“Perumusan rekayasa konstitusional, misalnya soal presidential threshold dan parliamentary threshold, perlu melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan partisipasi publik yang bermakna,” tegas Rudy.  

Hal lain yang menjadi perhatian peserta konferensi adalah independensi kelembagaan penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, dan DKPP). Independensi ini bersifat mutlak untuk menjamin pelaksanaan pemilu yang berintegritas, berlangsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Perlu pula dilakukan penataan ulang mengenai penanganan sengketa pemilihan.

“Perlu ada penegasan batas kewenangan antarmekanisme: Bawaslu sebagai quasi-judicial body, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, Mahkamah Agung, dan MK. Penataan batas kewenangan ini sejalan dengan prinsip electoral justice system yang menuntut keadilan, kepastian hukum, dan efektivitas,” demikian salah satu bunyi rekomendasi KNAPHTN-HAN seperti disampaikan Rudy.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Massa Kembali Berdatangan ke Kalibata, Mobil Terbakar Terdengar Ledakan
• 6 jam lalukumparan.com
thumb
Creative Cities Connect 2025, Men-Ekraf Siap Kolaborasi Dengan Ponorogo Kuatkan Potensi Daerah
• 15 jam lalurealita.co
thumb
Jadi Anggota Termuda, Timor Leste Dapat Dukungan Penuh ASEAN
• 8 jam laluidntimes.com
thumb
PB ESI Sudah Siapkan Bonus untuk Peraih Medali Emas SEA Games 2025
• 16 jam laluskor.id
thumb
Warga Pidie Jaya Aceh Bersihkan Sisa-Sisa Padi yang Tertimbun Lumpur Banjir | BERUT
• 5 jam lalukompas.tv
Berhasil disimpan.