Upaya membangun satu generasi yang lebih rasional dan saintifik perlu berorientasi ke anak muda, ”youth-centered society”. Saat ini, dunia masuk ke era masyarakat yang berkiblat kepada generasi muda.
Founder Youthlab Muhammad Faisal mengemukakan, apa yang diserap di masa usia muda, terutama remaja, akan memproyeksikan apa yang disukai, dinikmati, dan karakter di usia muda. ”Era sekarang ini berorientasi dan fokus kepada anak muda,” katanya dalam Forum Terpumpun Kata Sains ”Menuju Masyarakat Ilmu Pengetahuan” di Menara Kompas, Jakarta, Rabu (10/12/2025).
Forum yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) itu dihadiri pula pemikir kebangsaan Yudi Latif, Rektor Universitas Pembangunan Jaya Elisabeth Rukmini, serta Direktur Diseminasi dan Pemanfaatan Sains dan Teknologi Kemendiktisaintek Yudi Darma. Selain itu, hadir pula praktisi kebijakan publik dan inovasi Yanuar Nugroho serta Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Daniel Murdiyarso.
Faisal menambahkan, cara membaca generasi perlu didasarkan pada sejarah sosial, politik, dan ekonomi serta memahami momentum kritis. Masa pandemi Covid-19 telah menyebabkan generasi muda saat ini terpapar ledakan streaming dan kemunculan kecerdasan buatan (AI) yang pada akhirnya menciptakan ketimpangan (gap generation) yang sangat jauh dengan generasi sebelumnya. Setelah pandemi, bermunculan fenomena-fenomena baru dalam reaksi generasi dengan teknologi.
Percepatan teknologi eksponensial terjadi dan cenderung menimbulkan ketakutan, yakni jika tidak memahami teknologi, inovasi, dan tidak bergerak cepat, akan tertinggal. Akibatnya, tidak ada lagi orientasi untuk melihat ke masa lalu. Padahal, berpikir rasional adalah cara berpikir melambat (slow thinking). Sementara itu, konsumsi media sosial dan penggunaan perangkat layar (screen time) di kalangan anak muda di Indonesia sangat tinggi. Hal itu memicu disatensi, distraksi, diskoneksi, dan atensi ekonomi.
Dari hasil kajian, lanjut Faisal, semakin orang berpikir cepat dan instan, akan cenderung mudah cemas, semakin pesimistis terhadap masa depan, dan terdorong berbelanja. Di sisi lain, muncul alternatif ekonomi, seperti gim daring dan jualan foto dengan cosplay tertentu yang menghasilkan pendapatan di atas upah minimum, sehingga dipandang tidak perlu pendidikan tinggi.
Menurut Elisabeth Rukmini, Rektor Universitas Pembangunan Jaya (UPJ), kata kunci perilaku sains pada generasi muda adalah bernalar dan menimbulkan kebermaknaan. Literasi sains dapat dimulai dari literasi digital. Saat ini, masyarakat rentan dengan serbuan kabar bohong atau hoaks, sementara hoaks kerap dihubungkan dengan lemahnya literasi digital.
Dikutip dari hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) 2022, Indonesia memiliki skor tingkat membaca 359 atau di bawah rata-rata kelompok negara maju (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi/OECD) dengan skor 476 dan di bawah Singapura dengan skor 543. Indonesia juga memiliki skor rendah sains, yakni 383, di bawah standar OECD dengan skor 485, serta jauh di bawah Singapura yang meraih 561.
Ia menilai perlu upaya keras dan konsisten untuk menggeser masyarakat agar memiliki pola pikir baru, yakni berimajinasi dan mengantisipasi, sehingga bernalar. Sains dasar yang inklusif merupakan masa depan. Perguruan tinggi berperan menjadi jembatan penghubung untuk bernalar lewat kurikulum, praktik sains yang imajinatif, ataupun ekosistem yang menarik minat masyarakat.
”Banyak hal yang bisa menuntun masyarakat untuk belajar sains dan seni. Jadi, salah satu pintu masuknya kita manfaatkan itu. Tujuannya, lulusan bukan sekadar jadi teknisi, melainkan warga yang bernalar sehat,” ujarnya.
Dicontohkan, di dalam komunitas-komunitas belajar masyarakat umum, upaya literasi sains dikemas dengan seni dan desain. Di arsitektur, pihaknya menerapkan aspek puitis untuk belajar konstruksi, seperti menggunakan judul ”Composing the Language of Bricks”.
Cara membangkitkan sains dan imajinasi bagi masyarakat adalah menggali dengan alat-alat yang imajinatif dan berangkat dari hal-hal sederhana. Anak-anak dilibatkan untuk belajar sains lewat kesukaan dan hal-hal yang sederhana, misalnya membuat es.
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Daniel Murdiyarso menegaskan, AIPI bertekad terus mengarusutamakan pemahaman mengenai ilmu pengetahuan, terutama di kalangan generasi muda. Bahkan, salah satu dari lima komisi di AIPI terfokus khusus pada pengenalan ilmu pengetahuan dasar. Saat ini, ilmu pengetahuan dasar cenderung tidak dikenal, tidak diminati, dan bahkan dihindari.
”AIPI terpanggil untuk mengarusutamakan sains dasar. Science is good, science is friendly. Kita sepakat approach-nya ke anak-anak muda. Terlalu berlebihan kalau kita harus bagikan ini ke yang tua-tua. Too late, jadi kita mulai dari yang muda yang nantinya tidak bertanya lagi ketika mereka pada usia mengambil keputusan,” ucap Daniel.
Daniel menambahkan, AIPI bergerak bukan di komunitas ilmiah, melainkan pada komunitas yang lebih luas, yaitu generasi muda. Mereka, antara lain, melakukan demistifikasi sains. ”Sebab, kalau sains tidak disukai, tidak diminati, itu mungkin karena sulit dimengerti. Jadi, mistis mengenai sains itu sulit, sains itu tidak bersahabat, ini harus di-demystifying sehingga generasi muda berminat mendalami sains,” tambahnya.
Menurut Daniel, perlu ada revolusi besar untuk kembali ke basic, bukan sekadar kembali ke pengenalan tentang ilmu sains dasar, melainkan perlu perbaikan secara kolosal pendidikan dasar di Indonesia. Untuk perbaikan pendidikan dasar ini, Daniel menyarankan agar target utama bujet nasional harus difokuskan untuk pendidikan dasar.
”Dan ini perlu keberanian politik dan perlu policy yang kuat untuk membuat itu terjadi. Sebab, kalau anak-anak tidak dididik, kita tidak akan memutus rantai kengerian ini. Jadi, investasi harus diberikan ke generasi paling muda. Bukan ABG, bukan remaja, bukan pemuda, apalagi mahasiswa. Namun, special attention untuk pendidikan dasar,” ujarnya.
Irendra Radjawali, Fellow ASEAN Studies University of Tokyo, menanggapi, untuk menciptakan bangsa dengan perangai ilmiah, pengetahuan yang relevan harus diberikan sejak dini. Ia memaparkan hasil riset dua bulan lalu dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang membaca neuron pada mahasiswanya.
Ada tiga kelompok mahasiswa yang diminta menyelesaikan tugas yang sama dengan persyaratan: kelompok pertama menyelesaikan dengan cara manual dari referensi buku, kelompok kedua dari mesin pencarian, sedangkan kelompok ketiga menggunakan AI. Di kepala mereka dipasang alat untuk mengukur neuron. Neuron merupakan sel dasar yang menerima, memproses, dan mengirimkan informasi pada otak.
”Hasilnya, kelompok yang menggunakan AI mengalami kekurangan neuron hingga 50 persen, padahal manusia itu makhluk berpikir. Bayangkan ini mau diterapkan dalam kurikulum di SD,” katanya.
Menurut Irendra, menyajikan pengetahuan yang relevan perlu mempertimbangkan banyak hal, salah satunya pengetahuan lokal. Ia dan timnya pernah mengenalkan Raspberry Pi atau komputer papan tunggal (single-board computer/SBC) seukuran kartu kredit yang dirancang untuk pendidikan ilmu komputer kepada sekelompok anak di pelosok Kalimantan. Dengan menggunakan komputer sederhana, mereka meneliti tanaman-tanaman yang bisa menghasilkan listrik, anak-anak pun belajar tentang energi dari bahan baku di sekitar mereka.
Penanggap lainnya, Kepala Pusat Pendidikan Kelautan dan Perikanan Alan Koropitan, mengatakan, salah satu kunci membentuk perangai ilmiah bangsa ini ada di universitas. Menurut dia, akademisi dan guru besar harus diperlakukan dan berlaku seperti ilmuwan yang memproduksi pengetahuan baru dengan inovasi-inovasinya.
”Universitas harus bisa menghasilkan pengetahuan baru yang bisa dimanfaatkan lebih luas dalam kehidupan masyarakat. Itu misinya karena teknologi itu berkembang dari pengetahuan baru yang dihasilkan para peneliti atau ilmuwan ini,” kata Alan.
Alan menambahkan, sayangnya negara memperlakukan ilmuwan atau dosen, bahkan guru besar, sebagai pegawai. Apalagi, tak jarang mereka melakukan penelitian dengan mencari sendiri pendanaan dari luar. ”Padahal, mereka (dosen atau akademisi) ini investasi untuk kehidupan di masa depan,” ujarnya.




