Hampir sebulan penyidikan kasus dugaan korupsi pajak 2016-2020 oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) terkuak ke publik. Namun, hingga kini, duduk perkara kasus itu tak kunjung terang. Sederet kejanggalan penyidikan disorot. Tidak transparannya Kejagung memunculkan kecurigaan publik.
Penyidikan kasus itu terkuak setelah pada 17 November 2025, Kejagung mengonfirmasi adanya informasi tentang penggeledahan di sejumlah lokasi. Salah satunya, rumah seorang eks Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Informasi yang beredar menyebutkan, penggeledahan terkait pengurangan kewajiban wajib pajak perusahaan pada 2016-2020. Dengan pengurangan itu, nominal pajak yang dibayarkan lebih kecil dari seharusnya. Pengurangan ditengarai setelah adanya pemberian suap.
Beberapa hari kemudian, beredar informasi bahwa ada lima orang yang diminta untuk dicegah bepergian ke luar negeri berdasarkan surat R-1431/D/DIP-4/1/2025. Pencegahan untuk enam bulan ke depan dan terhitung sejak 14 November 2025.
Kelima orang dimaksud adalah eks Dirjen Pajak Kemenkeu Ken Dwijugiasteadi; Kepala Kantor Pajak Pratama (KPP) Madya Semarang, Jawa Tengah, Bernadette Ning Dijah Prananingrum; pemeriksa pajak pada Ditjen Pajak Kemenkeu, Karl Layman; konsultan pajak, Heru Budijanto Prabowo; dan Direktur Utama PT Djarum Victor Rachmat Hartono. Meski demikian, kelimanya masih berstatus sebagai saksi.
Pihak Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan membenarkan informasi tersebut dan menyatakan bahwa hal itu sesuai permintaan dari penyidik Kejagung. Hal itu pun dibenarkan oleh pihak Kejagung.
Tak sebatas itu, pihak Kejagung membenarkan bahwa setidaknya sudah ada delapan titik lokasi yang digeledah penyidik, termasuk kantor Ditjen Pajak. Penggeledahan dilakukan 23-25 November 2025. Dari informasi yang diterima Kompas, penggeledahan juga dilakukan di Kudus. Penyidik menyita sejumlah dokumen dan tiga kendaraan, yakni sebuah mobil Alphard dan dua unit motor mewah. Namun, Kejagung menolak menyebut lokasi persis kendaraan tersebut disita.
Selain Ken, penyidik Kejagung juga mengonfirmasi memeriksa eks Dirjen Pajak Kemenkeu Suryo Utomo pada Selasa (25/11/2025). Penyidik juga memeriksa seorang lainnya, yakni BNDP, selaku Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya Dua Semarang.
Namun, di tengah geliat penyidikan kejaksaan, persisnya pada Senin (1/12/2025), Kejagung mengonfirmasi informasi bahwa penyidik telah mencabut pencegahan terhadap Victor Rachmat Hartono. Ditanya alasan pencabutan, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Anang Supriatna mengatakan, penyidik memandang bahwa pencegahan atau pencekalan terhadap yang bersangkutan tidak diperlukan.
”Yang jelas, terhadap bersangkutan (Victor Rachmat Hartono) untuk saat ini sudah dilakukan pencabutan pencekalannya dengan alasan yang bersangkutan sudah kooperatif. Sudah memberikan informasi-informasi,” tutur Anang.
Pencabutan status cegah itu disebutnya sebagai subyektivitas penyidik dalam menangani kasus tersebut. Anang menampik pencabutan itu dapat menjadi preseden buruk ke depan dan mengklaim bahwa proses hukum yang berjalan tidak berdasarkan kepentingan pihak tertentu.
Ketika ditanya perihal jumlah perusahaan atau entitas bisnis yang diperiksa dalam penyidikan kasus itu, Anang mengaku belum tahu pasti jumlahnya. Anang beralasan, kasus itu masih penyidikan sehingga masih bersifat tertutup dan tidak bisa dibuka semua.
”Nanti penyidik akan menyampaikan secara lengkap seperti apa. Kita tunggu saja prosesnya berjalan. Biarkan penyidik mendalami pihak-pihak mana saja yang akan diperlukan, juga langkah hukum apa yang akan diambil nanti ke depan,” ujar Anang.
Tindak pidana perpajakan merupakan salah satu tindak pidana yang menyumbang transaksi sangat besar. Berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), transaksi yang diduga terkait tindak pidana itu sepanjang 2024 mencapai Rp 1.459 triliun. Dari jumlah itu, sebanyak Rp 984 triliun diduga terkait tindak pidana korupsi dan diikuti tindak pidana perpajakan sebesar Rp 301 triliun.
Secara terpisah, menurut peneliti dari Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, perkara dugaan korupsi yang kini tengah disidik Kejagung itu memperlihatkan kelindan pejabat di Ditjen Pajak dengan entitas bisnis. Maka, penting perkara itu diungkap tuntas agar kasus dan modus korupsi serupa tak terulang kembali, selain mengupayakan pemulihan kerugian negara yang telah ditimbulkan dari praktik korupsi tersebut.
Hanya saja, ia melihat sederet kejanggalan dalam penanganan kasus itu. Salah satunya, ketika kasus sudah berstatus penyidikan, tetapi belum ada tersangkanya. Tidak kunjung ditetapkannya tersangka meski perkara sudah tahap penyidikan berpotensi membuka ruang tawar-menawar antara aparat dan pihak-pihak yang diduga terlibat.
Padahal, ketika perkara di tahap penyidikan berarti memperlihatkan penyidik sudah menemukan tindak pidananya. ”Kalau aparat penegak hukum profesional dan on the track dengan tugas dan fungsinya, saya kira mereka tidak akan peduli dengan siapa mereka berhadapan,” kata Herdiansyah.
Selain itu, Kejagung dinilai tidak transparan dalam menangani perkara ini. Kejagung tidak secara utuh menjelaskan persoalan dan alasan kasus itu diproses hukum. Ketika penanganan kasus dilakukan secara tertutup, wajar jika publik menduga ada hal atau kejahatan yang hendak disembunyikan.
”Yang dibaca oleh publik dalam perkara ini karena begitu lambat, tidak transparan, tidak terbuka, aparat penegak hukum seolah melempem dalam perkara ini. Jadi, ketika publik menuduh ada main mata dalam perkara ini, ya, tidak bisa disalahkan,” kata Herdiansyah.
Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, menilai, penuntasan kasus tersebut menjadi ajang pembuktian bagi Kejagung terhadap berbagai tudingan yang muncul, khususnya terkait dugaan persekongkolan dalam kasus itu. Pertanyaan besarnya adalah apakah kasus itu akan berhenti di tengah jalan atau sampai pengadilan.
”Kalau bisa diungkap sampai tuntas, maka apa yang menjadi latar belakang kasus ini tidak lagi penting,” kata Zaenur.





