Liputan6.com, Jakarta - Ajakan patungan beli hutan menggema di media sosial. Gerakan ini muncul di tengah bencana banjir dan longsor Sumatera yang diduga akibat pengalihan fungsi lahan hutan.
Tak sedikit warganet resah terhadap maraknya alih fungsi lahan hutan, terutama yang berdampak pada lingkungan, habitat satwa, hingga potensi bencana.
Advertisement
Di beberapa negara seperti Brasil dan Kosta Rika, skema pembelian lahan hutan oleh individu atau komunitas sudah dijalankan. Tapi, bisakah model serupa diterapkan di Indonesia?
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, Raden Rafiq Sepdian Fadel Wibisono menegaskan, praktik jual beli hutan bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Dia merujuk pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat.
Rafiq juga mengutip UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang mempertegas bahwa seluruh kawasan hutan dalam wilayah Indonesia berada di bawah penguasaan negara. Alih fungsi dan kepemilikan hutan tidak bisa dilakukan sembarangan, karena menyangkut kepentingan publik dan kelestarian lingkungan.
"Ini dasar konstitusional yang menjadi pemahaman hutan bukan milik private yang bisa diperjualbelikan," kata Rafiq melalui pesan elektronik kepada Liputan6.com, Rabu (10/12/2025) malam.
Solusi paling realistis saat ini adalah memperkuat pengelolaan berbasis rakyat melalui skema legal yang sudah ada seperti Hutan Adat, Hutan Desa, dan Hutan Rakyat. Rafiq mengatakan, langkah konkret bisa dimulai dari mendukung pengakuan wilayah adat, memperkuat komunitas penjaga hutan, mengurus legalitas lahan, hingga menekan negara menghentikan ekspansi industri ekstraktif.
Namun, jika di tengah upaya tersebut pemerintah masih gagal mengelola hutan agar tetap lestari, maka jual beli menjadi satu-satunya opsi penyelamatan. Rakyat harus mengambil alih hutan.
“Bila negara gagal mengelola hutan, maka kami siap mendukung ajakan ini dalam bentuk apa pun, selama hutannya tidak dikuasai secara private dan dikembalikan pada kelola rakyat,” ujarnya.
Manajer Advokasi Pantau Gambut, Wahyu Perdana menambahkan, kepemilikan terhadap kawasan hutan di Indonesia secara hukum memang tidak dimungkinkan. Sistem yang berlaku saat ini hanya memberikan hak kelola, bukan hak milik atas hutan.
Hal ini merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2021 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja. Aturan itu mengatur tentang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), yang menegaskan bahwa negara tetap menjadi pemilik hutan dan hanya memberi izin kelola kepada pihak tertentu.
Wahyu menyebut hak kelola hutan bisa diperjuangkan rakyat. Salah satu bentuknya adalah izin restorasi ekosistem, yang memungkinkan masyarakat atau lembaga mengelola kawasan hutan dengan tujuan memperbaiki dan menjaga ekosistemnya.


