Bisnis.com, JAKARTA — Selama 40 tahun atau 4 dekade belakangan, lanskap properti Indonesia telah diukir oleh tangan-tangan dingin para begawan yang tidak hanya membangun gedung, tetapi juga menciptakan kota dan peradaban baru.
Sejumlah nama taipan properti bermunculan, salah satunya, mendiang Ir. Ciputra yang merupakan pendirian Ciputra Group. Bahkan, sosoknya turut dijuluki sebagai "Bapak Properti Indonesia" berkat visinya dalam pengembangan kawasan terintegrasi.
Bersamaan dengannya, muncul kekuatan raksasa seperti Keluarga Widjaja dari Sinarmas Land yang memelopori proyek kota mandiri mega-skala, serta Mochtar Riady, konglomerat Lippo Group yang agresif merambah properti komersial dan residensial di berbagai penjuru negeri.
Bergeser sedikit ke wilayah Jawa Timur, muncul nama Alexander Tedja pendiri Pakuwon Group. Sosoknya dikenal sebagai "Raja Mal" dengan menguasai segmen ritel dan gaya hidup. Di mana, proyek pertamanya dalam pengembangan superblok ikonik yakni Tunjungan Plaza yang digarap pada 1986.
Dinamika pasar terus melahirkan pemain kunci baru, mulai dari Trihatma Kusuma Haliman dengan Agung Podomoro Land sukses menguasai pasar apartemen dan superblok di pusat kota, Soetjipto Nagaria (Summarecon), Harjanto Tirtohadiguno (Alam Sutera) hingga Sugianto Kusuma (Agung Sedayu).
Lebih dari sekadar pengembang raksasa, mereka berhasil menjadikan portofolio properti mereka sebagai aset bangsa bernilai triliunan rupiah yang terus membentuk wajah megapolitan Indonesia.
Baca Juga
- 4 Dekade Sektor Transportasi Umum: Perkeretaapian, Tol Laut, hingga Penerbangan
- 4 Dekade Infrastruktur RI: Beda Arah Pembangunan Soeharto, Jokowi hingga Prabowo
- 4 Dekade Bisnis Indonesia: Prajogo dan Cukong-Cukong Orde Baru
Industri properti Indonesia tidak akan pernah sama tanpa sentuhan visioner dari Ir. Ciputra. Lahir dengan nama Tjie Tjin Hoan di Parigi, Sulawesi Tengah pada 24 Agustus 1931, almarhum yang akrab disapa Pak Ci ini bukan sekadar insinyur arsitek lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB), melainkan arsitek peradaban yang mengubah lahan kosong menjadi kota-kota terpadu yang hidup dan berkelanjutan.
Kiprah bisnis properti Ir. Ciputra dimulai sejak bangku kuliah di ITB pada 1957. Bersama dua rekan arsiteknya yakni Budi Brasali dan Ismail Sofyan, ia mendirikan biro konsultan arsitektur yang dikenal sebagai PT Daya Cipta. Namun, jiwa entrepreneur-nya tak puas hanya menunggu proyek.
Dirinya bersama temanya tersebut lantar mendirikan PT Pembangunan Jaya (Jaya Group) pada 1961. Titik ini menjadi langkah besar pertamanya, dimana dirinya bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Pemda DKI).
Seiring perkembangannya, Jaya Group sukses menggarap proyek-proyek monumental yang masih ikonik hingga kini, termasuk Taman Impian Jaya Ancol dan Proyek Senen, menjadikannya tokoh kunci dalam pembangunan ibu kota.
Tahun berganti, pada 1970 Ciputra berkolaborasi dengan tokoh-tokoh bisnis terkemuka lainnya (termasuk Sudono Salim dan Sudwikatmono). Grup ini melahirkan kawasan residensial premium seperti Pondok Indah dan Bumi Serpong Damai (BSD).
Kemudian, barulah Ciputra Group didirikan secara resmi pada tahun 1981 sebagai perusahaan keluarga.
Chairman Ciputra Group, Ciputra menyampaikan paparan saat menerima kunjungan Tim Bisnis Indonesia, di kediamannya di Jakarta, Senin (14/8). Dalam kesempatan itu Ciputra menyampaikan paparan mengenai filosofi Ciputra Way./JIBI-Dwi Prasetya
Meski demikian, perjalanan bisnis Ciputra tidak selalu mulus. Ujian terberat datang menghantam pada Krisis Moneter (Krismon) 1997/1998. Kala itu, nilai tukar Rupiah terjun bebas, sementara sebagian besar utang proyek properti besar, termasuk yang berada di bawah Jaya Group dan Metropolitan Group, terdenominasi dalam dolar AS.
Utang yang membengkak hingga nyaris mencapai US$100 juta saat itu, membuat banyak unit usaha, termasuk Bank Ciputra, terpaksa ditutup. Pada saat yang bersamaan, Ciputra turut melepas portofolio saham di BSD.
Ir. Ciputra wafat pada 27 November 2019, di usia 88 tahun di Singapura. Saat ini, Grup Ciputra dikelola oleh generasi kedua, di mana putra bungsu Ir. Ciputra yakni Candra Ciputra kini menjabat sebagai Direktur Utama PT Ciputra Development Tbk. (CTRA). Hingga, hingga Kuartal III/2025 CTRA memiliki total asset mencapai Rp46,19 triliun.
Eka Tjipta Widjaja adalah tokoh di balik lahirnya Sinar Mas Group. Dia dikenal sebagai salah satu pendiri konglomerasi terbesar di Indonesia yang memiliki portofolio sangat terdiversifikasi, mulai dari pulp and paper (APP), agribisnis dan makanan (Sinar Mas Agribusiness), jasa keuangan (Sinar Mas Financial Services), telekomunikasi, hingga properti di bawah bendera Sinar Mas Land.
Eka Tjipta Widjaja sendiri lahir di Quanzhou, Tiongkok pada 3 Oktober 1921. Eka Tjipa wafat di Jakarta pada 26 Januari 2019 atau pada usia 98 tahun.
Kisah Eka Tjipta Widjaja merupakan salah satu cerita sukses imigran yang inspiratif. Dia datang ke Indonesia yang saat itu masih dikenal sebagai Hindia Belanda, pada usia sembilan tahun.
Karier bisnisnya dimulai dari nol, sempat menjadi pedagang keliling di Makassar, menjual biskuit dan makanan kecil. Kegigihan dan semangat wirausahanya memungkinkannya mengumpulkan modal untuk kemudian merambah ke komoditas dan industri yang lebih besar.
Fondasi utama Sinar Mas dibangun melalui komoditas. Pada 1968, dia mengakuisisi perkebunan kelapa sawit dan pabrik minyak kelapa di Sulawesi.
Setelah itu, Eka berekspansi pesat ke sektor pulp and paper yang menjadi pilar pendapatan utama lainnya, yakni Asia Pulp and Paper (APP). Keberhasilan di sektor komoditas dan industri inilah yang memberikan modal besar untuk merambah sektor properti.
Berbeda dengan banyak pengembang lain, Sinar Mas Land dikenal dengan fokusnya pada pengembangan kawasan kota mandiri (township development) berskala sangat besar (mega-skala) dan terintegrasi.
Salah satu proyeknya ikonik besutan Sinar Mas Land yakni pengembangan Bumi Serpong Damai (BSD) City. Dimulai sejak 1989, proyek ini mengubah lahan luas di Tangerang Selatan menjadi sebuah kota mandiri yang lengkap dengan fasilitas residensial, komersial, pendidikan, dan teknologi.
Usai wafat pada 2019, Sinar Mas Group dikelola oleh anak-anak dan cucunya dalam struktur yang terpisah namun terkoordinasi di bawah nama besar Sinar Mas.
Sinar Mas Land sendiri melalui PT Bumi Serpong Damai Tbk. (BSDE) terus menjadi salah satu pengembang properti terbesar, fokus pada pengembangan lanjutan BSD City, ekspansi ke kawasan baru, dan proyek properti high-end di Jakarta.
Eka Tjipta Widjaja - Dokumentasi Sinar Mas
3. Mochtar Riady (Lippo Group)Mochtar Riady merupakan salah satu arsitek utama di balik industri perbankan dan properti modern Indonesia yang dikenal luas sebagai pendiri Lippo Group.
Visi dan ambisinya yang besar telah membentuk gurita bisnis Lippo yang kini merambah sektor properti, keuangan, ritel, kesehatan, hingga pendidikan.
Pria kelahiran kelahiran Malang, 12 Mei 1929 ini memulai karir bisnisnya sebagai penjaga toko kecil di Jember dan penjual batik di masa muda. Mimpinya yang memang menjadi serang bankir sejak kecil membawanya mendapat julukan “The Magic Man of Bank Marketing”.
Mengutip laman resmi Lippo Group, Mochtar kemudian memulai peruntungannya di Jakarta pada 1954 untuk menjalani mimpi besarnya terjun di dunia perbankan. Tiga Dekade Kemudian di tahun 1980-an dirinya telah mengubah lanskap perbankan dan meletakkan fondasi penting bagi Panin Bank, Lippo Bank, dan BCA yang saat ini menjadi bank swasta terbesar di Indonesia.
Sukses di Dunia perbankan, pada 1990 Mochtar Riady mulai merambah Bisnis realestate lewat pengembangan Lippo Karawaci. Proyek tersebut menjadi bukti visi besarnya dalam menciptakan kota mandiri (township) dengan fasilitas lengkap, termasuk perumahan, pusat bisnis, mal, dan rumah sakit (Siloam Hospitals).
Bisnis Lippo Group menghadapi ujian terberatnya saat Krisis Moneter 1997/1998 melanda Asia. Badai krisis menyebabkan rush besar-besaran terhadap Bank Lippo dan melumpuhkan sektor properti yang memiliki utang dolar besar.
Saat limbung, pemerintah menginjeksi modal kerja sekitar Rp7 triliun untuk menyehatkan Bank Lippo. Sebagai ganti, Mochtar harus melepas kepemilikan saham mayoritas di perusahaan kesayangannya itu. Sebanyak 59% saham Bank Lippo jatuh ke tangan pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Mochtar Riady saat ini tidak lagi mengurus bisnis secara operasional harian. Estafet kepemimpinan telah diserahkan kepada generasi kedua dan ketiga, dengan James Riady (anak) dan John Riady (cucu) sebagai figur utama yang memimpin gurita bisnis Lippo.
Mochtar Riady./JIBI-Endang Muchtar
4. Alexander Tedja (Pakuwon Group)Alexander Tedja dikenal sebagai Raja Mal dari Surabaya, reputasi tersebut disematkan berkat keberhasilannya dalam memelopori dan mengembangkan konsep superblok yang merupakan area kawasan terpadu yang menggabungkan pusat perbelanjaan, hotel, kondominium, dan perkantoran sebagai model bisnis utama perusahaannya, PT Pakuwon Jati Tbk (PWON).
Menariknya, Alexander Tedja tidak memulai kariernya di bisnis properti. Dia mengawali kiprahnya sebagai pengusaha di sektor perfilman dan bioskop sejak tahun 1970-an. Rekam jejak awalnya mencakup pendirian beberapa perusahaan, seperti PT ISAE Film (1972) dan PT Menara Mitra Cinema Corp (1977), sebelum akhirnya beralih fokus bisnis.
Titik balik bisnisnya terjadi pada tahun 1982 ketika dia mulai merambah properti dengan mengakuisisi sebidang tanah di Jalan Basuki Rahmat, Surabaya. Di atas lahan ini, pada 20 September 1982, PT Pakuwon Jati didirikan.
Proyek properti pertamanya, Tunjungan Plaza I, diresmikan pada tahun 1986 dan tercatat sebagai pusat perbelanjaan modern pertama di Surabaya. Keberhasilan ini menjadi fondasi bagi proyek-proyek Tunjungan Plaza selanjutnya.
Langkah Alexander Tedja berikutnya adalah menjadi pelopor konsep superblok di Indonesia. Pengembangan Tunjungan City di Surabaya yang mengintegrasikan Tunjungan Plaza I hingga IV, Sheraton Surabaya Hotel & Tower, Menara Mandiri, dan Kondominium Regensi, menegaskan visi Pakuwon sebagai pengembang properti terpadu.
Dalam rangka mendorong ekspansi bisnis perusahaan, Pakuwon Jati mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 9 Oktober 1989. Keputusan tersebut menjadikan PWON salah satu perusahaan properti pertama yang melantai di bursa.
Seperti konglomerasi properti lainnya, Pakuwon Jati turut dihantam oleh Krisis Moneter 1997/1998 yang menyebabkan utang luar negeri perusahaan membengkak dan menyebabkan kerugian pada 1998 hingga 2001.
Akan tetapi, melalui restrukturisasi dan kepercayaan yang kuat, perusahaan berhasil melewati periode sulit tersebut dengan membalikkan kondisi bottom line kembali parkir di zona hijau pada 2002.
Pada 2007, Tedja melebarkan sayapnya ke ibu kota Jakarta. Langkah awal yang agresif adalah mengakuisisi mayoritas saham pengembang superblok Gandaria City. Ekspansi ini kemudian diikuti dengan pengembangan proyek-proyek ikonik yang mendominasi pasar properti Jakarta, seperti Kota Kasablanka di kawasan Central Business District (CBD) Kuningan.
Adapun, hingga Kuartal III/2025 Pakuwon Jati tercatat memiliki total aset mencapai Rp36 triliun. Posisinya meningkat 2% secara tahunan (year-on-year/yoy) dari posisinya sebelumnya Rp35,37 triliun.
5. Anton Haliman (Agung Podomoro Land)Anton Haliman mrupakan figur fundamental yang mendirikan PT Agung Podomoro pada tahun 1969. Dirinya memiliki visi untuk menyediakan hunian dan kawasan bisnis di Jakarta.
Berbeda dengan fokus superblok yang dikembangkan saat ini, Agung Podomoro di bawah kepemimpinan Anton Haliman pada masa awal banyak menggarap proyek perumahan di kawasan-kawasan infill di Jakarta, bertujuan membantu penyediaan tempat tinggal bagi warga ibu kota yang terus bertambah.
Fokus utamanya adalah pada proyek perumahan dan ruko (rumah toko) yang terjangkau, menciptakan kantong-kantong pemukiman baru yang terorganisir di pinggiran Jakarta. Reputasi ini menjadi modal sosial yang penting bagi perusahaan di tahun-tahun berikutnya.
Tak jauh berbeda, di masa Orde Baru bisnis properti seringkali menghadapi tantangan regulasi dan birokrasi yang kompleks. Meskipun tidak ada catatan spesifik tentang krisis finansial besar yang menjatuhkan perusahaan pada era Anton Haliman, pertumbuhan bisnis properti selalu diwarnai oleh tantangan permodalan dan fluktuasi ekonomi mikro.
Tongkat kepemimpinan secara bertahap diserahkan kepada putranya, Trihatma Kusuma Haliman pada tahun 1980-an. Serah terima ini terjadi pada periode yang krusial, ketika Jakarta sedang mengalami ledakan pembangunan dan permintaan akan properti vertikal mulai meningkat.
Keputusan Anton Haliman untuk mempercayakan bisnis kepada Trihatma menandai dimulainya era baru, di mana Agung Podomoro beralih dari pengembang perumahan menjadi master developer yang fokus pada superblok dan mixed-use. Di bawah Kepemimpinan Trihatma Paula Agung Podomoro Land resmi melantai di bursa pada 2010.
Hingga Kuartal III/2025, Agung Podomoro Land (APLN) tercatat memiliki total aset mencapai Rp25,69 triliun.
The Ning King merupakan salah satu tokoh properti yang dikenal sukses dalam mengembangkan kawasna Alam Sutera di Tangerang.
Ning King lahir di Bandung, pada 1931. Konglomerat properti pemilik Alam Sutera ini wafat di Singapura, pada 2 November 2025 pada usia 94 tahun.
Latar belakang pendidikannya tak pernah dibuka ke muka publik, tapi satu hal yang pasti, The Ning King berhasil menjadi pebisnis yang sukses.
Dia memulai bisnisnya di usia yang sangat muda. Pada umur 18 tahun pada 1949 The Ning King memulai kiprah bisnisnya membagun Argo Manunggal Group untuk berdagang tekstil. Dia melanjutkan bisnis tekstil milik orang tuanya, PT Daya Manunggal Textile Mfg (Damatex).
Perjalanan membesarkan bisnisnya pun tidak terjadi dalam waktu singkat. Setelah berdagang tekstil, pada 1961, dia baru bisa memulai bisnis membuat pakaian, yang diresmikan sebagai badan usaha pada 1977 sebagai PT Argo Pantes Tbk. (ARGO), pabrik tekstil pertamanya di Salatiga, Jawa Tengah. Mulai 1961 juga, The Ning King memulai usaha peternakan unggas pertamanya, PT Peternakan Ayam Manggis Group di Sukabumi, Jawa Barat.
Di bawah kepemimpinan beliau dan keluarga, kelompok usaha ini berkembang dan berdiversifikasi ke bidang-bidang usaha baru di bidang pertanian seperti induk ternak, induk ternak akhir, ayam petelur komersial dan broiler, serta perkebunan.
Bisnis Ning King semakin berkembang dengan masuk ke industri metal, seperti besi dan baja galvanis dengan mendirikan PT Fumira pada 1970. Empat tahun berikutnya, anak perusahaan pabrik baja didirikan. Perusahaan ini beroperasi di industri peleburan dan penggilingan baja dan memiliki kapasitas produksi yang diperluas dengan beberapa merek ternama.
Pada 1977, PT Argo Pantes (PT AP) mulai meluas dan didirikan pertama kalinya di Jakarta. PT AP merupakan perusahaan tekstil yang mengoperasikan industri tekstil terpadu, meliputi pemintalan, pewarnaan benang, penenunan, penyempurnaan, dan pencetakan. Produk-produknya juga telah diekspor ke lebih dari 40 negara.
Pada 1989, gurita bisnis The Ning King melebar ke industri properti, dan mendirikan PT Bekasi Fajar Industrial Estate Tbk. (BeFa) sebagai pengembang dan operator kawasan industri kelas dunia terkemuka di Indonesia. Perusahaan ini didirikan pada 24 Agustus 1989, sebagai salah satu pengembang dan pengelola kawasan industri pertama di Indonesia.
Di tahun yang sama, 1989, sang konglomerat mendirikan PT Jakarta Cakratunggal Steel Mills, sebagai perusahaan milik dalam negeri yang didirikan pada tahun 1989.
Pada 1991, The Ning King mengantar perusahaan pertamanya, Argo Pantes mencatatkan sahamnya sebagai perusahaan terbuka dan melantai di Bursa Efek Jakarta.
Pengusaha Argo Manunggal,The Ning King (batik), dan pengusaha Johannes Archiadi (paling kiri) - Istimewa
Kiprahnya di dunia properti melejit setelah pada 1994, perseroan berhasil mendapatkan izin pembangunan besar di daerah Serpong, dan dimulailah pembangunan PT Alam Sutera.
Dalam waktu 13 tahun, pada 2007, Alam Sutera Reality telah berkembang menjadi kota baru, yang kemudian membawanya menjadi perusahaan terbuka dan melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Di bawah Alam Sutera, pada 2012 The Ning King juga memperluas portofolionya dengan PT Alam Sutera Tbk. (ASRI) mengakuisisi 90,3% saham PT Garuda Adhimatra Indonesia yang memegang hak atas tanah di Taman Garuda Wisnu Kencana di Bali.
Di tahun yang sama, BeFa memasuki bursa saham dan go public. Sahamnya kini diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia dengan kode saham BEST.
Kekayaan The Ning King Dilansir Forbes, The Ning King sempat masuk dalam 50 Orang Terkaya di RI pada tahun 2017 dengan kekayaan mencapai US$450 juta atau setara dengan Rp6 triliun (kurs Rp14.000). Salah satu penyumbang terbesar kekayaannya adalah bisnis propertinya.



:strip_icc()/kly-media-production/medias/4598529/original/084952100_1696414311-20231004-Aset-Negara-Hotel-Sultan-Faizal-8.jpg)

