Saat Peringatan Hari Hak Asasi Manusia atau HAM Sedunia ke-77 di Jakarta, Rabu (10/12/2025) malam, Menteri HAM Natalius Pigai mengungkapkan tekad pemerintah untuk menduduki posisi Ketua Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dengan posisi itu, Indonesia diyakini bakal bisa mengubah tatanan dunia dalam hal hak asasi manusia. Sementara itu, di dalam negeri, pelanggaran HAM terus terjadi setahun terakhir. Bahkan, kondisi HAM dinilai mengalami kemunduran yang signifikan.
”Hari ini, Kementerian Hak Asasi Manusia dengan Kementerian Luar Negeri, dengan Wakil Kepala Bappenas, telah mengambil posisi, hari ini, kami akan rebut posisi Presiden Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa," kata Natalius Pigai mengungkapkan tekad pemerintah.
Untuk itu, ia mengaku telah berkeliling ke berbagai negara mengkampanyekan bahwa sudah saatnya Indonesia memimpin dunia melalui posisi Ketua Dewan HAM PBB. Ia pun menyebut Wakil Menteri HAM Mugiyanto baru kembali dari Australia dan sudah mengutarakan keinginan Indonesia untuk menjadi Ketua Dewan HAM PBB ke negara tersebut.
Menurut Pigai, jika posisi Ketua Dewan HAM PBB dipegang putra dari Indonesia, akan banyak konvensi mengenai HAM yang akan dihasilkan. Konvensi yang dia sebut, antara lain konvensi tentang HAM dan korupsi, konvensi tentang HAM dan lingkungan, konvensi tentang HAM dan pemilihan umum, hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan, hingga tentang pemilihan umum yang bebas dan adil.
Sebab, beberapa konvensi yang disebutkan itu masih belum ada di dunia internasional. Dengan Indonesia memegang tampuk kepemimpinan di Dewan HAM PBB, maka Indonesia akan memberikan contoh sekaligus memimpin perubahan tatanan dunia.
"Kalau kepemimpinan Presiden Dewan Hak Asasi Manusia PBB ada di tangan putra bangsa Indonesia, dia akan ketuk dan akan mengubah tatanan dunia. Pasti. Jadi, jangan tunggu 2045 untuk memimpin dunia. Hari ini kita mulai," ujarnya.
Untuk sampai ke sana, saat ini, Indonesia tengah berupaya memperkuat peradaban dan pemikiran tentang HAM. Ia lantas menyebut beberapa tokoh yang pada acara tersebut memeroleh anugerah tokoh HAM, yakni Jimly Asshiddiqie, Makarim Wibisono, Haris Azhar, Hariman Siregar, Yan Christian Warinussy, dan Alm KH Muhammad Imam Azis.
Menurut Pigai, tokoh-tokoh tersebut dengan caranya masing-masing telah membangun peradaban HAM, termasuk menjadi tokoh berkelas dunia. Oleh karena itu, Pigai berharap agar masyarakat mengisi hari-hari ini dengan kegiatan HAM, seperti diskusi tentang HAM dan membangun karakter HAM. "Jangan diisi kegiatan politik. Isilah dengan kegiatan kemanusiaan," tegasnya.
Pada kesempatan itu, Wakil Menteri HAM Mugiyanto mengatakan, peringatan Hari HAM Sedunia turut diwarnai dengan keprihatinan karena bencana yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Namun demikian, lanjut dia, makna dari peringatan Hari HAM tidak berkurang.
Sebab, sambung Mugiyanto, pada kesempatan itu, hadir berbagai elemen bangsa. Secara khusus, hadir para korban pelanggaran HAM berat, antara lain korban peristiwa Tanjung Priok, peristiwa Mei, hingga peristiwa penghilangan paksa. Selain itu, hadir perwakilan dari kementerian/lembaga serta duta besar dari negara sahabat.
Secara terpisah, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Dimas Bagus Arya dalam catatan Hari HAM bertajuk "Katastrofe Hak Asasi Manusia", Rabu, mengungkapkan kekhawatirannya atas kondisi HAM yang terjadi di Indonesia. Beberapa peristiwa yang terjadi sepanjang 2025 bukannya memperlihatkan perbaikan, melainkan kemunduran yang signifikan.
"Satu tahun ini penuh dinamika, penuh dengan lika-liku, terutama sekali bagaimana negara terus absen, terus lalai, dalam menjalankan kewajibannya untuk melindungi, menghormati, serta menegakkan hak asasi manusia," kata Dimas.
Berdasarkan pemantauan Kontras sejak Desember 2024 sampai November 2025, terdapat setidaknya 42 peristiwa pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing) yang menyebabkan 44 korban meninggal dunia.
Dari jumlah tersebut, personel Polri dan TNI menjadi aktor utama dengan masing-masing sebanyak 26 dan 15 peristiwa. Hal itu sekaligus menunjukkan pelanggaran terhadap hak untuk hidup sebagai hak yang dijamin oleh konstitusi dan seharusnya tidak dapat dibatasi dalam kondisi apapun.
Kontras juga mencatat terjadinya 71 peristiwa penyiksaan selama setahun terakhir. Metode penyiksaan yang terjadi masih didominasi dengan cara memukul dengan tangan kosong meski ada satu peristiwa yang menggunakan lebih dari satu metode penyiksaan, seperti menendang, menginjak, menyayat, hingga menyetrum.
Peristiwa penyiksaan tersebut menyebabkan 159 orang menjadi korban, dengan 142 orang yang mengalami luka dan 17 orang lainnya meninggal dunia akibat penyiksaan yang dialami. Sebanyak 53 peristiwa dilakukan oleh personel Polri, 5 peristiwa dilakukan oleh Sipir pada Rumah Tahanan (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), dan 13 peristiwa lainnya dilakukan oleh anggota TNI.
Dalam konteks beragama dan berkeyakinan, kelompok minoritas juga beberapa kali menjadi korban, padahal konstitusi secara tegas menjamin hak untuk beragama dan berkeyakinan. Pada rentang waktu Desember 2024-November 2025, terdapat total 32 peristiwa pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, yakni 14 pelarangan beribadah, 9 tindakan pengrusakan, 6 penolakan pembangunan rumah ibadah, 4 penyegelan rumah ibadah, 4 tindakan intimidasi, serta 4 tindakan persekusi.
Dalam konteks kebebasan sipil, Kontras mencatat telah terjadi 205 peristiwa pelanggaran kebebasan sipil yang mana 178 di antaranya dilakukan oleh personel Polri, 5 peristiwa dilakukan prajurit TNI, dan 14 peristiwa dilakukan aparat pemerintah. Akibat dari peristiwa itu, sebanyak 5.101 orang menjadi korban yang terdiri dari 661 korban luka, 4.291 korban penangkapan sewenang-wenang, serta 134 korban kekerasan lainnya, seperti serangan digital, teror, atau intimidasi.
Pada gelombang demonstrasi 25-31 Agustus 2025, Posko Orang Hilang Kontras menerima 46 pengaduan orang hilang. Hasil verifikasi dan penelusuran yang dilakukan oleh Kontras menemukan bahwa 34 di antaranya telah mengalami penghilangan orang secara paksa dalam jangka pendek. Sementara, ada 8 orang lain hanya mengalami miskomunikasi dengan pelapor dan satu lainnya tidak diketahui apakah mengalami penghilangan orang secara paksa atau mengalami miskomunikasi.
"Dari hampir satu tahun terakhir, kami mencatat ada tiga gelombang aksi besar. Pertama, penolakan terhadap RUU TNI, kedua aksi Mayday yang juga terjadi penangkapan sewenang-wenang. Dan ketiga adalah aksi Agustus Kelabu yang terjadi penangkapan hampir 3.337 orang dan pentersangkaan, ada 957 orang yang ditangkap maupun ditahan," tutur Dimas.
Menurut Dimas, disahkannya revisi Undang-Undang (UU) TNI menjadi UU pada 20 Maret 2025 menjadi preseden buruk yang mengancam supremasi sipil dan demokrasi di Indonesia. Kemunduran HAM di Indonesia juga ditandai dengan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto yang merupakan simbol otoritarian serta praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
"Hal tersebut diperburuk dengan wacana penulisan ulang sejarah nasional Indonesia yang abai dengan berbagai peristiwa pelanggaran berat HAM yang terjadi, serta mengesampingkan penderitaan para korban dan penyintas peristiwa pelanggaran berat HAM," terangnya.
Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat, sepanjang 2024 Komnas HAM menerima total 2.305 laporan terkait HAM di seluruh Indonesia. Pihak yang paling banyak diadukan adalah Polri dengan 663 laporan, pemerintah daerah dan kementerian sebanyak 433 laporan, serta korporasi sebanyak 321 laporan. Jenis pelanggaran HAM yang paling tertinggi yang diadukan adalah hak atas kesejahteraan dengan 813 laporan, hak atas keadilan dengan 758 laporan, dan hak atas rasa aman dengan 212 laporan.
Jumlah laporan terbanyak dari DKI Jakarta dengan 337 laporan, Jawa Barat sebanyak 232 laporan, dan Sumatera Utara 227 laporan. Masalah agraria masih menjadi isu terbanyak dari laporan masyarakat yang masuk ke Komnas HAM.
Terkait kasus pelanggaran HAM berat, total terdapat 17 kasus yang telah diteliti Komnas HAM. Sebanyak 4 kasus sudah diputuskan oleh Pengadilan HAM, yakni Timor-Timur, Tanjung Priok, Abepura, dan Paniai. Sedangkan 13 kasus lainnya telah diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk dilanjutkan proses penyidikannya. Namun, hingga kini belum ada kemajuan dalam penyelesaian secara hukum terhadap kasus-kasus tersebut.



