KONFLIK dualisme PBNU kian meruncing menyusul penetapan Zulfa Mustofa sebagai Pejabat (Pj) Ketua Umum oleh Syuriyah di tengah klaim legalitas kepemimpinan oleh Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf. Pengamat Politik dari Citra Institute, Efriza, menilai konflik ini terjadi karena adanya benturan tafsir antara kedua kubu terkait mekanisme organisasi yang sah.
"Dualisme kepemimpinan telah terjadi. Dualisme terjadi karena benturan tafsir terhadap mekanisme organisasi yang sah, ketimbang membangun NU dengan lebih baik," ujar Efriza, kepada Media Indonesia, Kamis (11/12).
Menurut Efriza, tradisi penyelesaian konflik melalui musyawarah dan jalur struktural yang kuat kini terabaikan. Padahal, jika kedua belah pihak tidak berkonflik, forum resmi bersama bisa dihadirkan untuk mencapai keputusan bersama.
Efriza mengakui bahwa jalan islah atau rekonsiliasi masih terbuka, namun ruangnya semakin sempit. Ia menilai kedua kubu mengunci diri pada klaim legitimasi masing-masing dan tidak berusaha membuka kanal komunikasi yang setara.
"Jalan islah masih bisa terbuka, dinamika organisasi pasti memiliki solusi. Hanya saja, ruangnya makin sempit jika kedua kubu tetap mengunci diri pada legitimasi masing-masing tanpa membuka kanal komunikasi yang setara," jelasnya.
Efriza mengusulkan, solusi kompromi dapat dicari menggunakan mediator luar, seperti dari kalangan ulama sepuh atau tokoh yang dianggap netral, untuk menciptakan ruang dialog yang aman. Namun, melihat perkembangan saat ini, ia menilai jalur komunikasi menjadi pilihan yang sulit.
Efriza memperingatkan bahwa tensi konflik yang meningkat dengan adanya klaim saling berlawanan dan penyangkalan telah membuka potensi penyelesaian melalui ranah hukum. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Gus Yahya yang sempat mengisyaratkan kesiapan menempuh jalur legal.
"Tensi konflik meningkat sehingga ranah hukum memang terbuka lebar menjadi solusi. Gus Yahya diyakini juga telah mempersiapkan menempuh jalur legal, jika diperlukan," kata Efriza.
Menurut Efriza, dualisme kepemimpinan saat ini membuat pijakan prosedural di PBNU tidak lagi tegas dan jelas. Konflik ini berisiko menggerus legitimasi PBNU di mata publik jika elite-elite organisasi tidak segera menempatkan stabilitas dan persatuan di atas kepentingan pragmatisme kelompok. (H-4)





