JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap lima orang, termasuk Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya, dalam operasi tangkap tangan atau OTT dugaan suap proyek. KPK juga menyita sejumlah uang dan logam mulia emas.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo saat diwawancarai, Kamis (11/12/2025), menuturkan, kelima orang dari pihak penyelenggara negara dan swasta itu, telah dibawa ke Gedung Merah Putih, KPK. KPK juga telah melakukan gelar perkara (ekspose) sekaligus menetapkan tersangka.
"Namun berapa jumlah yang ditetapkan sebagai tersangka dan siapa saja, nanti secara lengkap kami akan sampaikan dalam konferensi pers hari ini. Rencana sore, termasuk nanti kami akan menjelaskan kronologi dan konstruksi perkaranya," jelas Budi.
Selain menangkap kelima orang itu, KPK juga menyita barang bukti uang dan logam mulia dalam bentuk emas.
Budi juga menjelaskan bahwa OTT tersebut terkait dengan proyek-proyek pengadaan di wilayah Lampung Tengah. Namun, proyek apa yang dimaksud, ia meminta agar semua pihak bersabar karena sekaligus akan dijelaskan dalam jumpa pers, sore nanti.
Informasi OTT Ardito bersama sejumlah pihak lain pertama kali disampaikan Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto saat dikonfirmasi wartawan, Rabu (12/10/2025).
Ardito Wijaya menjadi kepala daerah keempat hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 yang terjaring OTT KPK dalam beberapa bulan terakhir. Setelah ditangkap tim KPK, Ardito tiba di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada Rabu pukul 20.10 WIB.
Sebelum menjabat Bupati, Ardito terlebih dulu menjabat sebagai Wakil Bupati Lampung Tengah 2021-2025. Meski Ardito merupakan kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), pada Pilkada Lampung Tengah 2024, Ardito bersama pasangannya, I Komang Koheri, diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Beberapa bulan lalu, Ardito meninggalkan PKB dan pindah ke Partai Golkar.
Ditangkapnya Ardito menambah panjang jumlah kepala daerah hasil Pilkada 2024. Sebelumnya, KPK menangkap tiga kepala daerah hasil Pilkada 2024, yakni Bupati Kolaka Timur Abdul Azis, Gubernur Riau Abdul Wahid, dan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko.
Abdul Azis terjaring OTT KPK pada 7 Agustus 2025 atau kurang dari enam bulan setelah menjabat. Abdul Azis disangkakan menerima suap terkait proyek pembangunan rumah sakit tipe C dengan total anggaran Rp 126,3 miliar. Melalui bawahannya, ia diduga meminta commitment fee sebesar 8 persen atau sekitar Rp 9 miliar dari rekanan proyek.
Sementara itu, Gubernur Riau Abdul Wahid ditetapkan sebagai tersangka pemerasan terhadap dinas pekerjaan umum, penataan ruang, perumahan, dan kawasan permukiman dan pertanahan (PUPR PKPP) pada 5 November 2025.
Ia diduga meminta imbalan dari penambahan anggaran tahun 2025 yang naik dari Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar, dengan fee 5 persen atau sekitar Rp 7 miliar dari para kepala UPT wilayah jalan dan jembatan.
Selanjutnya, pada 7 November 2025, Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko terjaring dalam operasi tangkap tangan KPK. Uang Rp 500 juta turut disita dalam OTT tersebut. Ia tidak hanya disangka menerima suap terkait mutasi dan promosi jabatan, tetapi juga proyek pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah Dr Harjono Ponorogo.
Dalam suap mutasi dan promosi jabatan itu, Sugiri disebut mendapatkan uang senilai Rp 900 juta, sedangkan dalam proyek pembangunan RSUD, Sugiri mendapatkan fee sebesar 10 persen dari nilai proyek atau sekitar Rp 1,4 miliar.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Supratman menilai, masih adanya pimpinan daerah yang ditangkap karena korupsi menunjukkan bahwa problem biaya politik tinggi saat pilkada belum terjawab. Bahkan, di Pilkada 2024, biaya politik itu bisa jadi lebih tinggi sehingga tren pimpinan daerah yang korupsi setelah terpilih di pilkada dan menjabat terus berlanjut.
Mengutip riset Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), lanjut Herman, dalam sekali pencalonan kepala daerah, dibutuhkan biaya yang dipersiapkan sebesar Rp 25 miliar-Rp 30 miliar. Selama ini, akibat tingginya biaya politik itu, kepala daerah coba memulihkannya dengan korupsi di periode awal menjabat.
”Kalau kita lihat gaji dasarnya itu misal Rp 2 juta-Rp 3 juta, biaya operasional kepala daerahnya itu per bulan bisa mulai Rp 150 juta. Akan tetapi, kan, itu belum bisa menutupi biaya politik yang sudah dikeluarkan,” ungkap Herman.
Ia menjelaskan, korupsi pengadaan barang dan jasa, jual beli jabatan dan perizinan, kolusi, serta nepotisme marak terjadi di daerah. Apalagi, kepala daerah memiliki kekuasaan yang sangat besar, termasuk dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Faktor-faktor itu yang menjadi celah melakukan tindak pidana korupsi.
Untuk mencegah korupsi berulang, peran pengawasan internal dan eksternal pemerintah daerah mesti diperkuat. Ia juga mendorong agar ada penguatan kolaborasi lembaga-lembaga pengawas dengan publik.
”Misalnya, dengan melibatkan pengawas-pengawas internal dan eksternal itu sejak proses perencanaan pengadaan barang dan jasa. Kita juga berharap agar pengawasan eksternal dari komponen masyarakat sipil yang mesti diperkuat,” tutur Herman.





