Bisnis.com, BALIKPAPAN — Kalimantan Timur (Kaltim) bakal menghadapi tahun 2026 dengan stabilitas inflasi yang terjaga, namun di sisi lain dibayangi ancaman perlambatan ekonomi global dan lesunya permintaan batu bara.
"Tahun 2026 akan menjadi ujian nyata bagi ketahanan ekonomi Kaltim," ujar Kepala Perwakilan Bank Indonesia Kalimantan Timur, Budi Widihartanto dalam keterangan resmi, Rabu (10/12/2025).
Dia menambahkan, proyeksi tersebut merefleksikan kompleksitas tantangan yang harus dihadapi provinsi dengan kontribusi 46% terhadap ekonomi regional Kalimantan ini. Dalam hal pengendalian harga, Kaltim mencatatkan prestasi positif.
Inflasi Kaltim hingga November 2025 tercatat 1,96% secara tahunan (year-on-year/yoy) atau lebih rendah dari tingkat nasional yang mencapai 2,27% dan masih berada dalam koridor target pemerintah 2,5%±1%.
Kendati demikian, sejumlah komoditas tetap menjadi biang kerok tekanan inflasi. Emas perhiasan, beras, dan sigaret kretek mesin berkontribusi signifikan akibat volatilitas harga emas dunia, hambatan dalam rantai distribusi, serta kenaikan tarif cukai tembakau.
Budi mengungkapkan ketiga komoditas ini menjadi alarm peringatan dini bagi otoritas ekonomi daerah.
Baca Juga
- Eni Temukan Sumber Gas Jumbo Baru di Kaltim, Potensi 1 Tcf
- QRIS Jadi Senjata Ampuh Genjot PAD 3 Kabupaten/Kota di Kaltim
- BI Kaltim Dukung BPD Jadi Local Champion hingga Pelosok
Dia menambahkan, proyeksi inflasi 2026 diperkirakan tetap berada dalam rentang sasaran, dengan catatan penting.
"Berlanjutnya upaya pengendalian inflasi oleh Tim Pengendalian Inflasi Daerah di seluruh wilayah Kaltim menjadi kunci untuk menjaga stabilitas harga tahun depan," katanya.
Namun, dia memaparkan risiko inflasi imported tetap mengintai. Pelemahan nilai tukar rupiah akibat kebijakan pengetatan moneter Federal Reserve Amerika Serikat berpotensi mendongkrak biaya impor.
Ditambah lagi, tren kenaikan harga emas global di tengah ketidakpastian geopolitik dapat memicu tekanan inflasi tambahan yang sulit diprediksi.
Secara umum, lanskap ekonomi internasional menampilkan gambaran yang kurang menggembirakan.
Pertumbuhan ekonomi dunia diprakirakan stagnan di level 3,1% pada 2025, yang terhambat oleh kebijakan moneter Amerika Serikat yang masih penuh ketidakpastian serta konflik geopolitik yang tak kunjung mereda.
Bagi Kaltim, tantangan paling mendesak datang dari sektor pertambangan yang masih mendominasi struktur ekonomi dengan kontribusi 34,22%.
Permintaan batu bara dari China sebagai pasar terbesar komoditas ini diperkirakan menyusut 1,49%.
Tak pelak, penurunan ini bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan pergeseran fundamental dalam kebijakan energi global.
Transisi ke energi terbarukan di negara-negara mitra dagang semakin memperketat ruang gerak komoditas fosil.
Dalam situasi yang penuh ketidakpastian, kata Budi, sektor pertanian muncul sebagai sumber harapan.
Subsektor perkebunan kelapa sawit mencatat pertumbuhan mengesankan sebesar 7,49% hingga kuartal III/2025, yang didorong oleh pemupukan yang lebih optimal dan peningkatan permintaan industri kayu dari pasar Amerika Serikat.
Program strategis pemerintah seperti pencetakan sawah seluas 1.890 hektare dan implementasi digital farming diharapkan dapat memperkuat ketahanan pangan.
Langkah ini sangat krusial mengingat Kaltim masih mengalami defisit neraca pangan.
Di sisi konsumsi domestik, daya beli masyarakat relatif terjaga dengan pertumbuhan pengeluaran rumah tangga mencapai 4,82%.
Budi menjelaskan kenaikan Upah Minimum Regional di awal 2025 menjadi penyangga utama konsumsi, sementara investasi swasta, baik asing maupun domestik tetap tumbuh positif meskipun dengan laju yang lebih moderat.
Lebih jauh, dia menyebutkan keberhasilan ekonomi Kaltim tahun depan akan sangat bergantung pada kemampuan melakukan diversifikasi ekonomi dan memperkuat sektor non-tambang.
Sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan pelaku usaha dalam melaksanakan proyek-proyek strategis menjadi prasyarat mutlak mencapai target pertumbuhan.
Selain itu, beberapa faktor perlu diantisipasi secara cermat oleh Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID). Lonjakan permintaan akibat program Makan Bergizi Gratis dan perpindahan bertahap pekerja ke Ibu Kota Nusantara (IKN) berisiko menciptakan tekanan inflasi baru.
Sementara itu, peningkatan konektivitas transportasi dan transisi ke bahan bakar B50 diharapkan dapat meredam tekanan harga.





