EtIndonesia. Nepal resmi mengguncang hubungan diplomatiknya dengan Beijing setelah pada 10 Desember 2025 negara itu mengajukan gugatan besar terhadap 55 pejabat Nepal serta China CAMC Engineering Co., kontraktor utama Bandara Internasional Pokhara—salah satu proyek unggulan Belt and Road Initiative (BRI).
Gugatan ini menjadi tonggak sejarah: untuk pertama kalinya Nepal menyeret perusahaan Tiongkok ke ranah hukum terkait proyek BRI. Langkah ini langsung menarik perhatian internasional, sekaligus memperdalam sorotan global terhadap problem transparansi BRI yang selama ini kerap diperdebatkan.
Isi Tuduhan: Rekayasa Tender, Inflasi Harga, hingga Pemalsuan Dokumen
Menurut laporan The Epoch Times pada 10 Desember 2025, komisi antikorupsi Nepal menuduh pihak-pihak yang terlibat dalam megaproyek bandara tersebut melakukan:
1. Rekayasa mekanisme tender
Tender proyek disebut tidak dilakukan secara terbuka dan kompetitif. Ada indikasi pengaturan pemenang sejak awal.
2. Penggelembungan harga material konstruksi
Material dan peralatan bandara dilaporkan dihargai beberapa kali lipat dari nilai pasar.
Audit internal menyebut kerugian negara mencapai 74,34 juta dolar.
3. Pemalsuan dokumen proyek
Dokumen resmi, termasuk laporan teknis dan keuangan, diduga dipalsukan untuk menyembunyikan aliran dana yang tidak wajar.
Pemerintah Nepal kini menuntut kompensasi langsung sebesar 63 juta dolar dari pejabat dan perusahaan terkait.
Bandara Pokhara: Proyek Bergengsi yang Tak Pernah Terbang Tinggi
Bandara Internasional Pokhara dibangun menggunakan pinjaman besar dari Exim Bank of China, dan sejak awal dipromosikan sebagai “Proyek Nasional Nepal” yang akan mendorong ekonomi pariwisata negara tersebut.
Namun kenyataan berbicara sebaliknya:
- Bandara resmi dibuka pada 1 Januari 2023.
- Sampai akhir 2025, hampir tidak ada penerbangan internasional reguler yang mendarat maupun berangkat dari sana.
- Infrastruktur tambahan belum selesai, sementara maskapai asing tidak menempatkan Pokhara sebagai rute komersial yang menguntungkan.
Situasi ini memicu pertanyaan besar di dalam negeri: Bagaimana Nepal akan melunasi pinjaman raksasa dari Tiongkok jika bandara tidak menghasilkan pendapatan memadai?
Efek Politik: PM Oli Jatuh, Pemilu Nepal 2026 Terancam Bergeser
Skandal Pokhara Airport menjadi badai politik yang mengguncang Kathmandu. Pada September 2025, Perdana Menteri KP Sharma Oli dipaksa mundur setelah tekanan publik mencapai puncak, terutama karena penilaian bahwa pemerintahannya gagal mengawasi proyek dan terlalu bergantung pada Beijing.
Para analis menilai bahwa dinamika ini akan sangat memengaruhi pemilu nasional Nepal pada Maret 2026. Isu kedaulatan ekonomi, tekanan utang, dan skeptisisme terhadap BRI diperkirakan mendominasi kampanye partai-partai besar.
Respons Tiongkok: Bantahan Penuh
Kedutaan Besar Tiongkok di Kathmandu dengan cepat mengeluarkan pernyataan resmi yang menolak seluruh tuduhan tersebut. Beijing menegaskan:
- Proyek telah memenuhi standar kualitas internasional,
- Semua proses dilakukan sesuai perjanjian bilateral,
- Tuduhan korupsi adalah “informasi menyesatkan” yang ditunggangi kepentingan politik domestik Nepal.
Namun bantahan ini tidak meredakan kritik, baik dari masyarakat Nepal maupun dari pengamat internasional yang sejak lama menyoroti pola korupsi, overpricing, dan jebakan utang dalam proyek-proyek BRI.
Dampak Internasional: BRI Kembali Disorot Setelah Serangkaian Skandal Global
Kasus Pokhara tidak terjadi dalam ruang hampa. Proyek BRI di berbagai negara memang sedang berada di bawah lensa kritik, terutama setelah:
- Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung di Indonesia mengalami pembengkakan biaya miliaran dolar,
- Sri Lanka kehilangan kendali atas Pelabuhan Hambantota karena gagal membayar utang,
- Sejumlah negara Afrika melaporkan ketidaktransparanan kontrak dan biaya tersembunyi.
Dengan munculnya gugatan resmi dari Nepal, para pengamat menilai reputasi BRI sebagai mesin diplomasi infrastruktur Beijing akan semakin diuji.
Kesimpulan
Skandal Bandara Internasional Pokhara bukan hanya kasus korupsi lokal—ia menjadi simbol dari pertarungan lebih besar: bagaimana negara-negara kecil menghadapi proyek infrastruktur asing berskala raksasa, tekanan geopolitik, dan risiko jebakan utang.
Gugatan Nepal pada 10 Desember 2025 ini menandai babak baru:
BRI kini tidak lagi hanya dikritik—namun mulai dihadapkan pada konsekuensi hukum internasional.





:strip_icc()/kly-media-production/medias/5441161/original/017121600_1765455514-Richie.jpg)