Ketika Alam Berbicara: Membaca Ulang Sejarah Bencana di Sumatera Barat

kumparan.com
18 jam lalu
Cover Berita

Sumatera Barat adalah tanah yang penuh anugerah, dari gunung yang hijau, sungai dan danau yang indah hingga tradisi yang hidup dalam pepatah-pepatah lama. Sejak masa kolonial Belanda, Ranah Minang telah menjadi salah satu destinasi penting di Sumatera karena keindahan alam dan kekayaan budayanya. Namun, di balik panorama yang memesona itu, Sumatera Barat menyimpan sisi lain sebagai salah satu daerah rawan bencana di Indonesia.

Posisinya yang bersisian langsung dengan zona subduksi Lempeng Indo-Australia dan Eurasia, keberadaan Sesar Sumatera (Sesar Semangko), serta deretan gunung api aktif seperti Marapi, Singgalang, dan Talang menjadikan Sumbar salah satu wilayah dengan sejarah bencana paling panjang di nusantara. Dari gempa besar abad ke-18, letusan gunung api, hingga banjir bandang yang terus berulang, semuanya meninggalkan jejak dalam memori masyarakat Minangkabau.

Jejak Bencana dalam Catatan Sejarah

Secara garis besar, sejarah bencana di Sumbar dapat dikelompokkan dalam tiga jenis: gempa bumi, letusan gunung api, dan banjir bandang/longsor. Rekam jejak bencana dapat dilihat dalam arsip asing, naskah lokal maupun dalam cerita rakyat. Salah satu contoh paling awal datang dari penjelajah Prancis, Du Puy, yang melaporkan gempa dan tsunami di Padang pada 10 Februari 1797.

Laporan lokal tentang peristiwa ini nyaris tak ada. Ada anggapan bahwa masyarakat Minangkabau memiliki kecenderungan melupakan memori buruk, termasuk bencana yang sering dianggap sebagai takdir belaka. (Pramono, dkk, 2019).

Memasuki abad ke-19, gempa besar kembali mengguncang wilayah Padangsche Bovenlanden pada tahun 1822 dan 1886, merusak permukiman dan infrastruktur yang saat itu masih terbatas. Namun peristiwa paling dahsyat dalam ingatan kolektif adalah gempa Padang Panjang tahun 1926, dikenal sebagai gampo tujuh hari.

Guncangan sekitar 7,6 SR menewaskan lebih dari 350 orang dan meruntuhkan ribuan rumah. Laporan-laporan kolonial menyebutnya sebagai salah satu bencana terbesar yang pernah melanda Sumatera pada masa itu. (Sufyan, 2021).

Memasuki abad ke-20 akhir dan awal abad ke-21, dokumentasi tentang bencana semakin lengkap. Trauma besar mulai terbentuk ketika gempa dan tsunami Aceh 2004 mengguncang psikologi masyarakat Sumbar. Meski tidak terdampak langsung, kepanikan luas terjadi akibat isu tsunami yang menyebar pada malam pergantian tahun. Namun memori terkelam muncul pada gempa 30 September 2009.

Gempa dangkal 7,8 SR ini menghancurkan Kota Padang dan wilayah pesisir lainnya. Lebih dari 1.100 orang meninggal, ribuan terluka, dan ratusan ribu bangunan rusak. Banyak warga terjebak di bawah reruntuhan bangunan bertingkat. Hingga kini, tragedi 2009 menjadi salah satu titik balik cara orang Minang memandang ancaman bencana.

Tak lama berselang, tsunami Mentawai 25 Oktober 2010 menewaskan lebih dari 400 orang. Peristiwa ini membuka mata publik akan betapa rentannya pulau-pulau terluar yang jauh dari pusat koordinasi dan minim infrastruktur evakuasi. Pada 2022, gempa kembali mengguncang Pasaman dan Pasaman Barat.

Kerusakan parah terjadi di Kajai, Talu, dan Simpang Timbo Abu. Namun seperti bencana-bencana sebelumnya, solidaritas nagari kembali muncul, dari dapur umum, sumbangan pangan, hingga dukungan adat yang menguatkan hati masyarakat.

Di sisi lain, aktivitas gunung api yang terus berlangsung hingga 2023–2024, terutama letusan Gunung Marapi, menambah daftar panjang ancaman alam di Sumbar. Hujan abu, gangguan penerbangan, dan evakuasi ribuan warga menjadi pengingat bahwa lingkungan geologis Minangkabau selalu aktif dan dinamis.

Selain gempa dan letusan gunung api, bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang dan longsor kini menjadi masalah tahunan. Kawasan-kawasan seperti Agam, Tanah Datar, Pesisir Selatan, dan Solok semakin sering dilanda bencana. Alih fungsi lahan, degradasi daerah aliran sungai (DAS), serta perubahan iklim memperburuk keadaan. Peristiwa banjir bandang dan longsor besar yang terjadi pada November 2025 kembali memperlihatkan urgensi penataan ruang dan rehabilitasi lingkungan. Ratusan warga menjadi korban, jembatan putus, lahan pertanian rusak, dan banyak permukiman yang tersapu air.

Refleksi Bencana

Dalam menghadapi bencana, kita sering terjebak dalam saling menyalahkan. Pemerintah, masyarakat, termasuk pelaku usaha. Sejarah panjang bencana Sumbar mengajarkan bahwa akar masalah tidak hanya ada pada geologi, tetapi juga sosial, budaya, dan politik. Bencana membentuk lapisan memori kolektif masyarakat membentuk cara orang Minang membaca alam, mengambil keputusan, hingga beradaptasi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, mitigasi modern harus berjalan seiring dengan kearifan lokal.

Penelitian Nopriyasman, dkk (2024) menunjukkan bahwa masyarakat nagari memiliki sistem pengamatan alam yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka membaca tanda-tanda alam melalui perubahan perilaku hewan, angin yang tak lazim, suara dari dalam tanah, hingga warna air sungai. Pengetahuan ini bukan sekadar mitos, tetapi hasil pengalaman panjang menghadapi bencana dari masa kolonial hingga sekarang.

Kearifan lokal ini terbukti mampu menyelamatkan nyawa. Dalam banyak kasus, respons spontan warga nagari justru lebih cepat daripada peringatan institusi formal. Strategi mitigasi bencana tidak boleh mengabaikan potensi ini. Integrasi antara sains kebencanaan modern dan kearifan lokal nagari akan memperkuat sistem peringatan dini, terutama di wilayah terpencil dan kepulauan.

Dalam konteks Minangkabau, tokoh adat dan ulama bukan sekadar pemimpin moral, tetapi juga penjaga pengetahuan lingkungan. Karya ulama pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 banyak memuat ajaran tentang hikmah, etika hidup, dan hubungan manusia dengan alam. Falsafah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” seharusnya tak berhenti sebagai slogan, tetapi diterjemahkan ke dalam tindakan: etos kerja yang bersih, solidaritas sosial yang kuat, dan tanggung jawab kolektif menghadapi bencana. (Pramono, dkk, 2019).

Sejarah bencana mengajarkan bahwa alam selalu meninggalkan jejak peringatannya. Apa yang hari ini kita saksikan banjir bandang dan longsor bukanlah fenomena baru, melainkan bagian dari siklus peristiwa yang telah berulang sejak masa lalu. Meskipun terjadi di tempat dan waktu berbeda, kerugian yang ditanggung masyarakat kerap serupa: hilangnya harta benda, terganggunya kehidupan sosial, bahkan luka kolektif yang sulit diukur.

Di sinilah nilai sejarah menjadi penting. Setiap catatan bencana bukan sekadar narasi masa lampau, melainkan pengetahuan berharga yang dapat diwariskan kepada generasi berikutnya untuk memahami risiko, memperkuat kesiapsiagaan, dan membangun ketangguhan menghadapi ancaman yang selalu berulang. **


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Sukses Permalukan Madrid di Kandang, Begini Respons Pep Guardiola
• 21 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Adly Fairuz dan Angbeen Rishi Resmi Bercerai, Hak Asuh Anak Diserahkan ke Ibunya
• 8 jam lalutabloidbintang.com
thumb
Berinovasi untuk Pelayanan Publik, Pemkab Mimika Raih Innovative Government Award 2025
• 7 jam lalujpnn.com
thumb
Jadi Anggota Termuda, Timor Leste Dapat Dukungan Penuh ASEAN
• 8 jam laluidntimes.com
thumb
Segera Pulihkan Dunia Pendidikan di Wilayah Terdampak Bencana Sumatera
• 14 jam lalukompas.id
Berhasil disimpan.