Penanganan dampak bencana di Sumatera tak kunjung berjalan optimal meski dua pekan telah berlalu. Jaringan listrik dan komunikasi di sejumlah wilayah terdampak bencana belum normal sehingga menghambat beragam aktivitas, termasuk pendidikan. Lautan lumpur masih menggenangi sekolah dan banyak akses jalan menuju sekolah yang terputus.
Kondisi itu membuat aktivitas pendidikan di lokasi bencana Sumatera berada pada situasi darurat. Apalagi, penanganan pascabencana dinilai lambat karena pemerintah pusat terkesan setengah hati. Dukungan yang diberikan bagaikan siput berjalan sehingga menimbulkan kekhawatiran publik akan bencana baru dunia pendidikan.
Bencana di Sumatera berdampak luas pada dunia pendidikan, mulai dari banyaknya guru dan siswa yang tewas, sekolah rusak dan tersapu banjir, hingga akses menuju sekolah terputus. Pada tingkat pendidikan dasar dan menengah pertama, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah mencatat ada sekitar 70 guru yang meninggal dunia diterjang bencana.
Selanjutnya, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sebanyak 581 fasilitas pendidikan rusak di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Selain itu, 498 jembatan yang menghubungkan antar wilayah, termasuk untuk menuju sekolah, juga rusak dan putus.
Pada sebagian besar wilayah terdampak, pembelajaran tidak dapat berjalan. Pemerintah daerah meliburkan sementara aktivitas pembelajaran hingga waktu yang belum ditentukan.
Di Aceh, sebanyak 285 satuan pendidikan rusak dan digenangi lumpur sehingga tidak memungkinkan untuk berlangsungnya pembelajaran maupun ujian. Bencana di Aceh juga berdampak pada 56.430 siswa dan 7.683 guru, sebagaimana data dari Posko Tanggap Darurat Dinas Pendidikan Aceh. Adapun di Sumbar, sebanyak 423 sekolah terdampak banjir, menurut data Kemendikdasmen.
Juru Bicara Pos Komando Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi Aceh Murthalamuddin mengatakan, sekolah-sekolah yang rusak itu tersebar di 18 kabupaten/kota yang terdampak dari total 23 kabupaten/kota di Aceh.
Murthalamuddin yang juga Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan Aceh tidak ingin memasang target khusus kapan sekolah terdampak harus memulai kembali aktivitas belajar-mengajar. Dia memberikan ruang kepada sekolah untuk menentukan sendiri kapan mereka siap memulai kembali aktivitasnya.
Pemerintah Aceh juga telah melapor kepada Kemendikdasmen agar memberikan bantuan tenda untuk dijadikan sekolah darurat. Murthalamuddin pun meminta agar diberikan izin bagi siswa dan guru untuk sementara pindah ke sekolah lain yang masih aman.
”Masalahnya, kapan siswa dan guru itu bisa memulai kembali aktivitas belajar mengajar? Sebab, hingga saat ini, banyak dari mereka yang masih mengungsi serta sudah tidak memiliki perlengkapan apapun untuk belajar atau mengajar. Jadi, kesiapan itu kami serahkan sepenuhnya kepada mereka," ujarnya.
Sementara itu, di Kabupaten Agam, Sumbar, Wakil Bupati Agam Muhammad Iqbal menyebut, kegiatan belajar mengajar untuk jenjang SD dan SMP masih diliburkan karena hampir seluruh kecamatan terdampak banjir. Evaluasi kondisi lapangan akan dilakukan sebelum menentukan langkah lanjutan, termasuk mekanisme pembelajaran bagi siswa yang akan mengikuti tes dan ujian.
Murthalamuddin menambahkan, Pemerintah Aceh terus mengupayakan percepatan pemulihan sekolah terdampak. Salah satu caranya dengan mengajukan akselerasi dan perubahan pemanfaatan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sebelumnya, akses pemanfaatan dana BOS sangat terbatas.
Dengan kondisi darurat saat ini, Murthalamuddin berharap, akses pemanfaatan dana BOS lebih fleksibel. Dana itu diharapkan bisa digunakan untuk menyediakan tempat belajar mengajar darurat dan membeli pengganti perlengkapan sekolah yang rusak.
Dalam Rencana Anggaran Biaya (RAB) sekolah selama ini, dana BOS tidak boleh digunakan untuk membeli tenda. Sekarang, dana itu diharapkan bisa digunakan untuk membeli tenda demi menyediakan tempat pembelajaran darurat.
"Kuota anggaran membeli buku yang hanya 10 persen diharapkan pula bisa naik hingga 30 persen demi mengganti buku-buku pelajaran yang rusak tak bersisa," ujar Murthalamuddin.
Kepala Cabang Dinas Pendidikan Aceh Wilayah Kabupaten Bireuen Abdul Hamid menuturkan, menurut jadwal, siswa tingkat SMA di Bireuen maupun seluruh Aceh menjalani ujian semester selama 3-12 Desember 2025 dan dilanjutkan pembagian rapor pada 21 Desember 2025.
Namun, karena terjadi bencana, ujian semester diputuskan ditiadakan. Pembagian rapor pun ditunda hingga semua sekolah terdampak sudah benar-benar pulih.
Sekarang, yang paling mendesak untuk dipulihkan di sini adalah jaringan listrik agar warga bisa segera beraktivitas normal. Selain itu, yang tidak kalah penting, sekolah yang terdampak di sini segera dibersihkan dan diperbaiki.
Apalagi, banyak siswa dan guru di sekolah terdampak yang masih tinggal di pengungsian. Setidaknya, ada sekitar 30 guru yang kehilangan rumah karena dihantam bencana kemarin.
Oleh karena itu, jangankan untuk mengajar, untuk menjalani aktivitas sehari-hari pun para guru tersebut kesulitan. Harta benda mereka habis terbawa banjir, termasuk pakaian dinas, perlengkapan mengajar, hingga dokumen bahan ajar.
Situasi yang tidak jauh beda diyakini Abdul turut terjadi di sekolah tingkat SD dan SMP. Apalagi, jumlah siswa dan bangunan SD maupun SMP jauh lebih banyak dibandingkan SMA. "Sejauh ini, proses belajar-mengajar di SD dan SMP di Bireuen juga belum pulih" katanya.
Di SD Ulee Ceue, Kecamatan Jangka, Bireuen, misalnya, aktivitas belajar mengajar belum bisa dimulai karena sekolah masih ditutupi lumpur setinggi kurang lebih 50 sentimeter. Selain itu, sebagian besar dari puluhan siswa dan guru di sana juga masih mengungsi di Meunasah/Mushalah Gampong/Kampung Ulee Ceue. Mereka mengungsi bersama ratusan jiwa penduduk Ulee Ceue.
Kondisi itu membuat Keuchik/Kepala Desa Ulee Ceue, Azwani (52), merasa resah karena khawatir pendidikan anak-anak Ulee Ceue akan tertinggal. Oleh karena itu, dia berharap pemerintah segera membersihkan lumpur ataupun memperbaiki kerusakan yang dialami sekolah- sekolah yang berada di wilayah Ulee Ceue.
"Sekarang, yang paling mendesak untuk dipulihkan di sini adalah jaringan listrik agar warga bisa segera beraktivitas normal. Selain itu, yang tidak kalah penting, sekolah yang terdampak di sini segera dibersihkan dan diperbaiki. Tujuannya, agar pendidikan anak-anak yang terdampak di sini tidak semakin tertinggal. Kasihan masa depan mereka kalau pendidikannya tertinggal," tuturnya.
Di Gampong Ulee Ceue ataupun Kecamatan Jangka, kata Azwani, bencana menyebabkan banyak rumah warga rusak parah dan sebagian besar masih ditutup lumpur hingga ada yang setinggi 1 meter.
"Situasi itu membuat kami, sebagian besar warga Ulee Ceue, belum bisa kembali ke rumah hingga sekarang. Keadaan itu diperburuk dengan belum pulihnya jaringan listrik di sini yang menyebabkan warga kesulitan memanfaatkan mesin air untuk membersihkan rumah," ujar Azwani.
Pemulihan aktivitas pendidikan di lokasi bencana Sumatera membutuhkan waktu, tenaga dan peralatan, hingga biaya yang besar. Pemerintah daerah takkan sanggup berjalan sendiri dengan segala keterbatasannya.
Oleh karena itu, pemerintah pusat diminta tak setengah hati membantu pemulihan. Jangan sampai kondisi seperti ini terus berlarut sehingga membuat dunia pendidikan di Sumatera kian terpuruk.




