Polisi menangkap tiga pemburu penyu di perairan Sulawesi Selatan. Pelaku ditangkap dengan barang bukti 571 kilogram daging berasal dari sedikitnya 150 individu penyu hijau (Chelonia mydas). Namun, penadah dan komplotan besarnya belum juga ditangkap.
Kepala Polda Sulawesi Selatan Inspektur Jenderal Djuhandhani Rahardjo Puro menuturkan, polisi melalui Direktorat Polair Sulsel telah mengungkap kejahatan terhadap satwa yang dilindungi. Sebanyak tiga orang ditangkap. Barang buktinya ratusan kilogram daging penyu.
“Kronologisnya berawal dari laporan masyarakat akan maraknya penangkapan penyu di perairan Tanakeke, Takalar. Tim lalu berangkat ke lokasi dan benar menemukan pelaku,” kata Djuhandhani dalam rilis kepada media pada Rabu (10/12/2025).
Dalam penangkapan tersebut, ia melanjutkan, petugas menemukan 11 karung daging penyu. Berbagai bagian daging penyu ada dalam karung, baik itu kulit dorsal atau punggung, daging kulit ventral, juga bagian daging ventral kiri dan kanan.
Berat karung tersebut mencapai 571 kg, yang diduga berasal dari 150 ekor penyu. Daging tersebut berasal dari penyu hijau, jenis yang dilindungi karena terancam punah.
Para pelaku, terang Kapolda, beroperasi di wilayah Takalar, Selayar, dan Pangkep. Mereka menangkap dengan jaring khusus. Saat penyu tertangkap, pelaku segera memotongnya.
Bagian-bagian tertentu diambil dan ditaburi garam agar awet. Setelahnya, daging tersebut disimpan dalam karung untuk dibawa ke gudang penyimpanan lalu dijual.
Berdasarkan pengakuan pelaku, mereka menjual daging penyu Rp 280.000 per kg. Namun, ini masih pengakuan sementara dan bisa lebih besar dari jumlah tersebut.
Para pelaku ditengarai menjual daging penyu ke pasar gelap, khususnya ke China. Biasanya, daging penyu digunakan untuk kosmetik dan kebutuhan lainnya.
Saat ini, kepolisian tengah mendalami jejaring para pelaku. Ia memerintahkan jajarannya untuk mengungkap kasus ini, termasuk ke penadahnya.
“Pelaku dijerat Pasal 21 ayat 2 huruf D juncto Pasal 40 Undang-Undang 32 tahun 2024 tentang perubahan Undang-Undang nomor RI nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Mereka diancam pidana paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 juta,” tambahnya.
Kasus penangkapan pemburu penyu bukan kali pertama terungkap. Pada 2022, sejumlah orang juga ditangkap setelah diketahui memiliki dan menangkap daging penyu. Total, sebanyak 94 kg daging penyu disita dari tangan pelaku.
Dihubungi terpisah, peneliti kelautan dari Universitas Hasanuddin Syafyudin Yusuf yang menjadi tenaga ahli dalam kasus ini memastikan, jika barang bukti dalam kasus ini memang adalah penyu hijau. Penyu ini memiliki tingkat kolagen tinggi sehingga dagingnya diburu untuk dimakan atau untuk industri kecantikan.
Berulangnya kasus ini, ucap Syafyudin yang juga saksi ahli dalam kasus ini, terjadi akibat sejumlah hal. Mulai dari permintaan yang terus tumbuh, kebutuhan masyarakat yang tinggi, proses penyadaran yang tidak tepat sasaran, hingga penegakan hukum yang lemah.
Selama ini, ia melanjutkan, upaya yang penyebarluasan informasi hanya bersifat formalitas dan tidak menyentuh sasaran. Berbagai program dilakukan di tingkat hotel, tapi tidak sampai kepada nelayan bawah yang berpotensi menjadi pelaku.
“Di sisi lain, penegakan hukum juga tidak berjalan seimbang. Yang selama ini ditangkap adalah nelayan bawah. Sementara itu, penadah, hingga pelaku utama tidak pernah tersentuh. Harus ada keberanian untuk mengungkap agar ada efek jera. Bukti 571 kg atau setengah ton itu sangat besar,” katanya.
Dalam laman Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulsel, penyu hijau adalah yang termasuk dalam keluarga Cheloniidae. Lemak berwarna hijau yang terletak dibawah cangkang menjadi asal nama “penyu hijau”.
Perburuan untuk diambil karapas dan plastron sebagai hiasan menjadi faktor utama berkurangnya jumlah penyu hijau di alam. Selain itu, anggapan bahwa daging penyu berkhasiat baik bagi kesehatan menjadi penyebab meningkatnya aktivitas penangkapan dan perdagangan penyu sebagai bahan konsumsi.
Menurut IUCN Red List semua jenis penyu berstatus rentan kepunahan, terancam atau sangat terancam punah. Status perdagangan penyu secara internasional masuk dalam Appendiks I CITES yang artinya seluruh jenis perdagangan penyu dalam bentuk apapun dilarang.
Perlindungan penyu sudah diatur dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Permen LHK Nomor P.20/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Permen LHK ini merupakan revisi atas lampiran dari Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa.
Beberapa aturan diatas merupakan dasar regulasi yang menetapkan status perlindungan penyu, dimana setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperjualbelikan penyu.



/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F12%2F15%2Fadb26e9c-0f95-4136-89c8-bc99f1588411_jpg.jpg)

