Pasuruan (beritajatim.com) – Banjir kembali menjadi persoalan tahunan di Kota Pasuruan meski curah hujan tidak selalu tinggi. Kondisi ini membuat wilayah kecil tersebut semakin rentan karena dilewati tiga aliran sungai besar.
Pemerintah kota menyebut banjir tidak hanya berasal dari kiriman air dari wilayah lain, tetapi juga akibat minimnya kesadaran masyarakat menjaga kebersihan lingkungan. Sistem pengendalian banjir yang dibangun tidak bisa bekerja maksimal jika perilaku masyarakat tidak berubah.
Wali Kota Pasuruan, Adi Wibowo, menegaskan bahwa sedimentasi sungai semakin parah dan normalisasi saja tidak cukup jika masyarakat masih membuang sampah sembarangan. “Banyak selokan tersumbat karena sampah, bahkan masih ada warga yang membuang pampers ke sungai,” ungkapnya.
Ia menilai salah satu penyebab sulitnya masalah sampah selesai adalah adanya kepercayaan mitos yang masih diyakini sebagian warga. “Ada yang percaya kalau pampers tidak dibuang ke sungai nanti suluten (tidak bisa buang air besar, Red), padahal itu tidak ada kaitannya sama sekali,” tegas Adi.
Walaupun pemerintah terus mengajukan program normalisasi sungai ke pemerintah provinsi, hal tersebut dianggap tidak akan efektif tanpa kesadaran publik. Pengerukan dan pelebaran sungai berjalan bertahap, namun penyumbatan oleh sampah terus terjadi.
Kampanye kebersihan juga sudah dilakukan melalui gerakan resik-resik, namun pesan pentingnya sering kalah persepsi dari kegiatan senam itu sendiri. Pemerintah menilai warga belum memahami bahwa inti kegiatan tersebut adalah edukasi kebersihan, bukan hanya olahraga.
Adi mengingatkan bahwa Kota Pasuruan dikenal sebagai Kota Santri sehingga pola hidup bersih seharusnya menjadi contoh bagi daerah lain. Ia mengatakan pemerintah hanya bisa menyediakan fasilitas dan menginisiasi program, sementara keberhasilan bergantung pada perubahan perilaku masyarakat. (ada/kun)


:strip_icc()/kly-media-production/medias/5441193/original/007702100_1765456996-1000704896.jpg)

