Fenomena hustle culture sering kali mengaburkan makna waktu luang dan hobi, yang seharusnya menjadi ruang sakral bagi kita. Saat-saat dimana kita bisa healing, merenungi hari tanpa tekanan deadline, dan kita bebas memilih cara menghabiskan momen istirahat itu.
Sekarang coba kita refleksikan kembali, seberapa sering sih momen ini benar-benar terasa ‘bebas’? Di masa ini, setiap aktivitas yang kita lakukan rasanya penting banget untuk kita share ke sosial media agar semua orang bisa lihat.
Begitu kita post hasil masakan atau mungkin hasil buah tangan kita, langsung dihadapkan pada pertanyaan, “Kak dijual gak?” “Kapan Open PO?”. Mungkin juga kita suka nulis, suka ngobrol, suka baca buku, eh tiba-tiba kepikiran “gimana ya cara nge-uangin hobi gue ini?” jadilah semangat baca buku sebanyak-banyaknya biar bisa buat konten 'booktok' atau buat channel youtube niatnya sekaligus jadi kerjaan sampingan.
Seketika, hobi bergeser dari ranah kesenangan murni menuju potensi side hustle. Ini melahirkan sensasi paradoks yang kini banyak dirasakan oleh terutamanya Gen Z: 'rest feels like falling behind'. Seolah terdapat ketakutan mendalam untuk tidak produktif dan ironisnya, seberapa besar yang kamu capai, rasanya still not enough, hanya meninggalkan lelah, baik secara fisik maupun mental. Jika ini yang kamu rasakan, then you're not alone and let's break it down.
Secara kolektif, masyarakat kita menganggap kebosanan (boredom) dan istirahat sebagai suatu hal yang 'buang-buang waktu' padahal keduanya esensial bagi kesehatan mental dan well-being yang baik. Obsesi masyarakat kita ini bukan tanpa akar, melainkan hasil dari konstruksi budaya yang sebenarnya telah lama tertanam.
Akar Hustle Culture dan Obsesi ProduktivitasAkar hustle culture dapat ditelusuri hingga masa Revolusi Industri, yang menempatkan produktivitas dan jam kerja panjang sebagai nilai inti dalam ekonomi. Semangat ini kemudian diperkuat dan dipertahankan oleh tuntutan kapitalis untuk terus tumbuh, didukung penuh oleh ideologi neoliberal yang mengagungkan ambisi individu, deregulasi, dan swakelola.
Jika menelusuri lebih dalam ke akar ideologisnya, kita sampai pada pemikiran sosiologis klasik, khususnya analisis Max Weber tentang etos kerja Protestan. Weber berargumen bahwa doktrin Protestan tertentu menghubungkan kerja keras, disiplin, dan kesuksesan duniawi dengan nilai spiritual dan perkenan ilahi.
Ini menciptakan kerangka moral yang kuat yang mengubah pekerjaan dari sekadar kebutuhan menjadi tanda kebajikan pribadi, meletakkan fondasi psikologis dan budaya yang penting bagi mentalitas "hustle" modern (Bellini & Lomazzi, 2024).
Pada masa kini pun, sebagaimana yang dikatakan Byung-Chul Han dalam The Burnout Society (2015), kita telah bergeser dari disciplinary society ke achievement society. Jika dulu kita dikendalikan oleh aturan eksternal dan larangan “kamu tidak boleh”, kini kita terperangkap dalam logika positivitas “kamu bisa!”.
Kita menjadi terus mendorong diri sendiri untuk berprestasi, berproduksi, dan tampil optimal tanpa perlu paksaan dari luar. Inilah yang Han sebut sebagai keletihan yang soliter, kelelahan yang lahir bukan dari penindasan, melainkan dari eksploitasi diri atas nama kebebasan dan bentuk patologis utama dari kelelahan ini adalah yang kita kenal sebagai “Burnout”.
Pada tahap ini, kerja seolah menjadi satu-satunya yang memberi makna pada kehidupan seseorang. Konsep mengorbankan waktu luang untuk kemajuan karier dapat dilihat sebagai wujud tekad dan dedikasi terhadap pekerjaan, yang mencerminkan keyakinan bahwa komitmen berkelanjutan serta menunjukkan nilai diri di tempat kerja merupakan hal esensial untuk mencapai tujuan yang ambisius.
Oleh karena itu, totalitas dedikasi dan upaya memaksimalkan energi untuk bekerja sambil mengesampingkan waktu istirahat, tidak hanya dianggap sah secara sosial tetapi juga didorong sebagai tanda komitmen yang bernilai dan diidamkan (Bellini & Lomazzi, 2024).
Dalam kerangka pikir ini, rasanya value diri kita sangat erat kaitannya dengan produktivitas. Masyarakat kita sangat terobsesi dengan produktivitas, jika kita tidak menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi, lantas apa gunanya? Tekanan inilah yang kemudian mendikte cara kita menghabiskan setiap waktu.
Hal ini diperparah dengan bagaimana kita memandang waktu. Sebagaimana menurut Bukerman (2021), sejak penemuan jam mekanis, waktu, yang dulunya merupakan ide abstrak, kini telah diubah menjadi komoditas yang terukur dan dapat dikelola. Burkeman (2021) dalam bukunya menjelaskan:
Tekanan untuk memonetisasi hobi ini juga merupakan manifestasi dari alienasi yang dijelaskan Karl Marx. Alienasi adalah sebuah proses di mana pekerja dibuat merasa asing terhadap hasil karyanya sendiri karena mereka kehilangan kontrol atas produksi. Ketika hobi, yang merupakan ekspresi kodrat manusia paling murni, diubah menjadi sekadar sarana untuk bertahan hidup atau lebih parah, sarana untuk flexing maka kita menjadi terasing dari diri sendiri.
Sayangnya, pasar kapitalis kini mendorong kita untuk terus meninjau ulang kegiatan yang kita lakukan di saat senggang dan cara kita mempresentasikan diri kepada orang lain. Praktik "menjual" diri layaknya komoditas ini terkait erat dengan pembentukan identitas.
Morris (2020) menjelaskan bagaimana proses pembentukan identitas menjadi semakin nyata ketika kita mampu menciptakan presentasi fisik identitas kita di ranah daring melalui media sosial. Di sinilah jebakannya, kita memamerkan aktivitas kita di waktu luang di media sosial untuk mendapatkan validasi dan mengurangi perasaan keterasingan. Namun, ini hanyalah ilusi. Kita tidak lagi menikmati kegiatan tersebut, kita sedang performing sebagai individu yang selalu produktif.
Mengapa Hobi Tidak Harus Menjadi Side Hustle?Sudah saatnya kita menyadari bahwa life shouldn't be about maximizing your productivity. Hobi tidak perlu menghasilkan uang untuk memiliki nilai. Hobi yang sedianya adalah ruang untuk eksplorasi dan kegembiraan pribadi (hobby supposed to be fun, right?) kini dikapitalisasi. Semuanya harus menghasilkan cuan, alhasil semua berujung pada burnout.
Hobi itu seharusnya jadi tempat pelarian dari tekanan kerja. Kalau hobi dijadikan kerjaan juga, kita lari ke mana lagi pas stres? There is no sanctuary left. Melakukan hal yang kita sukai, istirahat, merenung dan bahkan ngerasa bosan bukanlah waste of time. Biarkan hobi kita menjadi safe space seutuhnya, bukan sekadar calon bisnis berikutnya.

/https%3A%2F%2Fcdn-dam.kompas.id%2Fimages%2F2025%2F12%2F09%2F1cf2562eb8940c375db36ff508b7ca18-WhatsApp_Image_2025_12_09_at_4.39.38_PM.jpeg)

