Dua puluh tahun lalu, Aceh mengajarkan saya: luka bencana tak pernah bisa dihitung. Ia hanya bisa didengar dan dipikul bersama.
Tsunami 2004 ialah momen ketika Indonesia, termasuk media dan para awaknya, belajar dari nol tentang bagaimana meliput kehancuran tanpa kehilangan kepekaan.
Tidak ada preseden, tidak ada panduan; hanya keinginan untuk tetap manusiawi di tengah puing.
November 2025, ketika kembali menyusuri Aceh dan Sumatera Utara yang diterjang banjir besar, ingatan itu kembali.
Wajah bencananya berbeda, tapi cemasnya sama melanda. Yang berubah medan liputannya, lantaran teknologi membuat kabar dan data mengalir deras, publik semakin kritis.
Tugas media lalu kian rumit; menjaga akurasi sekaligus empati, dan memastikan perhatian publik tetap terarah tanpa memperkeruh keadaan.
Pelajaran lain dari 2004 tetap berlaku: yang paling rentan selalu paling terdampak.
Jurnalis di tengah bencana seharusnya bukan hanya penyampai fakta, tetapi penjaga martabat mereka yang sedang bertahan. Di balik angka-angka duka itu ada nama dan cerita yang mesti diperlakukan dengan penuh hormat.
Banjir 2025 menegaskan lagi bahwa masyarakat adalah garda tolong menolong pertama, jauh sebelum bantuan besar tiba.
Dan orang Aceh punya ingatan panjang tentang bertahan. Gelombang menghantam dalam rupa yang berbeda, tetapi daya juang selalu bangkit dengan ketegaran yang sama.
Di titik ini, saya percaya jurnalisme memikul mandat yang sama pentingnya seperti dua puluh tahun lalu.
Menyingkap yang luput agar negara bergerak lebih cepat, tanggung jawab publik tetap menyala dan yang terdampak sungguh terhubung dengan mereka yang bergerak.
Mengawasi bukan untuk memprovokasi, melainkan menjaga ingatan, agar pengalaman warga tak hilang ditelan arus.




