JAKARTA, KOMPAS.com - Hari belum benar-benar pagi ketika ribuan orang di Jabodetabek memulai rutinitas yang sama tiap harinya, berburu waktu, mengejar kereta.
Di pinggiran kota, di wilayah penyangga Jakarta seperti Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang, alarm sering kali berbunyi sebelum ayam berkokok.
Bukan karena mereka ingin bangun lebih cepat, tetapi karena ritme hidup mereka menyesuaikan jadwal kereta rel listrik (KRL) yang bisa menentukan nasib hari itu.
Di Stasiun Bojonggede, pukul 06.15 WIB, udara masih dingin dan lampu-lampu putih peron memantul di lantai yang sedikit berembun.
Baca juga: Perjuangan Anak Kereta Naik KRL dari Stasiun Manggarai, Berlarian Bak Zombie
Namun, antrean sudah panjang. Pegawai kantoran, anak sekolah, buruh, hingga tenaga medis berdiri rapat, sebagian dengan wajah masih separuh tertidur.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=KRL, indepth, kehidupan krl, cerita pengguna krl&post-url=aHR0cHM6Ly9tZWdhcG9saXRhbi5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8xMS8xNDAwNDgwMS9wb3RyZXQtcGVqdWFuZy1rcmwta2VoaWR1cGFuLWJlcmRldGFrLXNlc3VhaS1qYWR3YWwta2VyZXRh&q=Potret Pejuang KRL: Kehidupan Berdetak Sesuai Jadwal Kereta§ion=Megapolitan' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Ada yang membawa tumbler kopi, ada yang sambil mengancingkan seragam, ada pula yang masih menguap sambil menggenggam earphone.
“Kereta tujuan Jakarta Kota segera memasuki jalur dua".
Mendengar pengumuman itu, kepala-kepala mereka langsung terangkat. Detik itu, pergerakan berubah lebih cepat.
Mereka bersiap, memajukan langkah, mengencangkan tas, dan berdiri tegak, rutinitas yang sudah mendarah daging.
Karena dalam hitungan beberapa menit, hidup mereka akan kembali dimulai.
Menjalani hari sebagai pengguna KRL bukan hanya soal berpindah dari satu stasiun ke stasiun lain.
Ada banyak peristiwa yang terjadi di sepanjang perjalanan, mulai dari kejadian lucu hingga situasi yang menguji kesabaran.
Bagi para komuter yang setiap hari bergantung pada KRL untuk bekerja, sekolah, atau menjalankan rutinitas, rangkaian pengalaman seperti ini hampir pasti pernah dialami.
Baca juga: Anak Kereta Berburu Kuliner di Stasiun
Pejuang KRL dari Depok BaruSetiap pagi, ketika sebagian orang masih sibuk memilih baju atau menuntaskan sarapan, Esya (21) sudah berdiri di depan pintu rumahnya.
Jam di ponselnya biasanya menunjukkan pukul 06.30–06.45, rentang waktu yang menentukan apakah ia bisa naik kereta pukul 07.04, atau justru terjebak menunggu kereta berikutnya yang belum tentu kondisinya seramah yang ia harapkan.
Ritual berangkat pagi ini telah menyatu dengan kesehariannya. Transportasi ini bukan sekadar alat pindah tempat, melainkan sistem yang mengatur ritme hidupnya.
Dari waktu bangun, cara berjalan, sampai bagaimana ia menata ransel, semuanya disesuaikan dengan satu tujuan mengejar KRL yang tepat waktu namun penuh kejutan.
Dengan rute Depok Baru – Gondangdia, total waktu perjalanan Esya mencapai 1 jam 30 menit setiap hari. Pulang-pergi, waktu yang ia habiskan di perjalanan mencapai 3 jam.
Jika dihitung dalam sebulan, Esya menghabiskan sekitar 90 jam hanya untuk berpindah dari rumah ke kantor dan kembali.
Baca juga: Cerita Anker Ketiduran di KRL Saking Kelelahan hingga Melewati Stasiun Tujuan
Gelombang manusia di stasiunEsya menggambarkan suasana pagi di Stasiun Depok Baru dengan satu kata yang sangat familiar bagi para pengguna KRL, ramai.
Begitu ramai hingga membuat penumpang harus ekstra sadar terhadap ruang gerak sendiri.
Deretan orang menunggu di peron seperti gelombang tak berkesudahan. Dari anak sekolah, pekerja kantoran, pedagang kecil, hingga orang-orang yang hanya menumpang satu atau dua stasiun.
Semua menyatu dalam hiruk-pikuk yang khas, suara mesin KRL mendekat, pengumuman petugas, bisik-bisik penumpang yang menahan kantuk, hingga langkah kaki yang terdengar berirama tapi terburu-buru.
“Sangat ramai apalagi di stasiun Depok Baru dan Pondok Cina, banyak yang naik dari dua stasiun tersebut,” kata Esya, Rabu (10/12/2025).
Keramaian inilah yang membuatnya selalu bersiap sejak jauh sebelum pintu kereta terbuka.
Tas ia letakkan di depan tubuh, posisi kaki ia rapikan untuk mempermudah langkah cepat, dan pandangannya fokus ke gerbong yang akan berhenti.
Baca juga: KRL 24 Jam Nonstop? Hati-hati Malah Bikin Keselamatan Penumpang Terancam
Seni masuk KRL di jam padatTidak semua orang mampu bertahan menghadapi dorongan kerumunan. Namun, Esya sudah lama terbiasa. Baginya, ada seni tersendiri untuk bisa masuk ke kereta pada jam sibuk.
Menit-menit ketika kereta berhenti adalah momen paling menegangkan. Semua penumpang menahan bersiaga, menunggu suara pintu terbuka.
Begitu pintu bergerak, seluruh tubuh otomatis bekerja, kaki melangkah cepat, tangan menjaga tas, dan mata mengamati celah di antara badan-badan penumpang lain.
“Siap-siap tas sudah berada di posisi depan, terus pas pintu sudah terbuka, langsung satset naik ke kereta. Karena kalau engga satset bisa kedorong-dorong (penumpang lain),” ujar Esya.
Meski terlihat seperti kompetisi kecil, bagi para pengguna KRL hal itu adalah kenyataan sehari-hari.
Terlambat beberapa detik saja, bisa membuat seseorang terjebak menunggu kereta berikutnya—yang belum tentu lebih sepi.
Jika bagi orang lain naik KRL adalah sekadar pilihan transportasi, bagi Esya dan penumpang lain, ini adalah rutinitas penuh strategi.


