Menempuh Satu Jalan Sampai Akhir

erabaru.net
16 jam lalu
Cover Berita

EtIndonesia. Aku pernah bekerja sebagai penjaga toko tas, pernah menjadi pengasuh anak, pernah berdagang pakaian olahraga grosir, pernah mencuci piring di restoran… semua itu sudah pernah kulakukan.

Aku pernah dipukul, dihukum, kelaparan, kedinginan, terusir jauh dari kampung halaman, pernah lumpuh separuh badan, pernah disalahpahami, dihina, difitnah… semua itu juga sudah kualami.

Lalu aku bangkit lagi—pelan, tetapi pasti—dari titik paling bawah. Tanpa membawa bayang-bayang masa lalu. Bahkan lumpur yang menempel di kakiku pun terasa seperti kekuatan yang mendorongku maju.

Sejak negara mengirimku ke Amerika Serikat pada usia sembilan belas tahun untuk belajar tari modern, aku menetapkan satu prinsip hidup: hidupku tidak boleh berjalan secara pasif.

Apa pun yang kulakukan sejak usia sembilan belas sampai sekarang—benar atau salah, sukses atau gagal—semuanya kutanggung sendiri.

Sepanjang jalan yang panjang ini, aku hanya melakukan satu hal: tetap menjadi diriku sendiri. Aku tidak punya ambisi mengubah dunia, dan aku juga tidak ingin dunia mengubahku. Keyakinan inilah yang membuatku bisa sampai sejauh ini.

Awal yang Goyah: Berniat Ganti Jalur

Saat dikirim ke Amerika, aku berangkat dengan satu koper berisi kemampuan tari. Tapi begitu tiba, pikiran pertamaku justru: ingin ganti profesi.

Di usia 19 tahun, ketika pertama kali keluar dari kehidupan ketat ala militer, melihat dunia luar yang penuh warna, aku langsung limbung. Yang kupikirkan hanya: cepat belajar bahasa Inggris, lalu ganti karier, lalu mengurus kartu hijau, imigrasi, tinggal di Amerika, dan tidak kembali ke Tiongkok selamanya. Terdengar indah, bukan?

 Tapi kenyataannya: Jika kamu tidak bisa berbahasa Inggris dan tidak mengenal siapa pun, apa yang bisa kamu lakukan?

Jawabannya: hanya menari.

Aku masih ingat pertama kali masuk ke ruang latihan sekolah di Amerika. Di sekelilingku berdiri para penari terbaik dari berbagai negara. Aku mengenakan pakaian paling sederhana, dan tanpa sadar berdiri di barisan paling belakang.

Tapi sepuluh menit setelah kelas dimulai, aku tiba-tiba berada di barisan depan. Para penari asing menyingkir ke belakang—mereka tertegun melihatku menari.

Saat itulah aku sadar: Satu-satunya hal yang benar-benar kumiliki adalah tari.

Meskipun aku tidak bisa berbahasa Inggris, meskipun aku datang dengan tangan kosong, aku masih bisa menaklukkan seluruh ruangan hanya dengan tarian.

Dalam perjalanan pulang hari itu, keinginanku untuk berganti jalan lenyap seketika.

Bangkit di Shanghai dan Keberhasilan yang Dinanti

Saat kembali ke Shanghai, usiaku 33 tahun. Waktu berlalu cepat—lebih dari satu dekade—dan akhirnya pekerjaanku mulai diakui publik. Jin Xing Dance Theatre yang dulu hanya bisa bertahan dengan mencari kesempatan tur dunia, kini mulai memiliki penonton setia yang rela membayar untuk datang.

Pada tahun 2006, aku menerima gelar doktor seni pertamaku dari Dartington College of Arts, Universitas Plymouth, Inggris. Saat menerima gelar itu, sang rektor berkata:“Kamu adalah orang keempat dari Tiongkok yang meraih gelar doktor dari sini.”

Tiga nama sebelumnya: Xu Zhimo, Hu Shi, Dai Ailian.
Lalu—aku, Jin Xing.

Sungguh sebuah kehormatan besar.

Tapi yang lebih penting dari gelar itu adalah:  aku memiliki keluarga yang bahagia.

Menjadi Istri dan Ibu: Hadiah yang Tak Pernah Terbayang

Delapan belas tahun lalu, tidak mungkin aku menjadi “istri yang baik dan ibu yang baik.” Kalimat itu tidak pernah cocok denganku. Yang kuinginkan hanyalah menjadi seorang perempuan—perempuan yang mandiri, yang mungkin hidup sendiri, tanpa anak. Itu saja sudah cukup.

Namun delapan belas tahun kemudian, aku bersyukur pada suami dan anak-anakku. Mungkin surga merasa aku layak menerima hadiah ini. Tiba-tiba, Jin Xing menjadi ibu dari tiga anak dan istri dari seorang pria Jerman. Hidupku menjadi nyata, stabil, dan kupeluk dengan penuh rasa syukur.

Ketekunan itu masih ada—hanya bentuknya berbeda. Tetap sulit, tetapi bukan lagi “kesulitan yang menggigit,” melainkan sebuah “kesulitan yang indah.”

Jin Xing tetap Jin Xing — ketika jatuh, aku bisa menyinari diriku sendiri; ketika dipuji, aku tetap tahu cara menjaga diriku sendiri.

Ketika orang berkata: “Jin Xing terkenal!”

 Suara dalam hatiku berkata :  “Aku tetap aku.”

Aku tahu orang-orang menyukaiku bukan karena label atau sensasi, tetapi karena kata-kataku nyata, perbuatanku dapat dipercaya, sikapku tulus. Orang menyukaiku karena aku adalah perempuan yang benar adanya.

Dua Kelahiran dalam Satu Kehidupan

13 Agustus 1967 adalah hari kelahiranku yang diberikan oleh orang tuaku.  5 April 1995 adalah hari aku melahirkan diriku sendiri untuk kedua kali.

Jika dihitung, tahun ini aku baru saja berusia 18 tahun—dewasa kembali. Gadis itu sudah tumbuh, dan kini ia layak tampil di hadapan dunia.

Aku bersikeras membawa perempuan itu keluar, berdiri di depanmu, dan berbagi perjalanan hidupnya — apa yang ia lihat, apa yang ia alami, dan apa yang ia pahami.

Dia tidak ingin memberitahumu “harus bagaimana,”  tetapi dia ingin memberikanmu “cara baru untuk berpikir.”

Jika seseorang belajar berpikir, belajar menilai, dan belajar menghadapi kehidupan dengan kesadaran, maka dia akan semakin dekat dengan jawaban hidupnya. Jika lebih banyak orang bisa hidup seperti itu, masyarakat kita akan semakin matang.

Jika setiap orang datang ke dunia ini dengan sebuah makna, maka tugasku adalah menyampaikan pesan itu: kebaikan, ketulusan, keberanian, dan kebijaksanaan. (jhn/yn)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Purbaya Janjikan Masa Depan Gen Z Aman, Begini Katanya
• 11 jam laluviva.co.id
thumb
Antara Toleransi dan Batas Aqidah: Mencari Titik Temu di Tengah Polemik “Natal Bersama” Negara
• 7 jam lalurepublika.co.id
thumb
Dari Warung Gelap Jadi Regulasi Ketat: Mengapa Jakarta Melarang Konsumsi Anjing dan Kucing?
• 13 jam lalusuara.com
thumb
99 Asmaul Husna Lengkap Arab, Latin, Arti Indonesia & Dalil Al-Quran
• 18 jam lalumediaindonesia.com
thumb
Viento AX180 CBS, Skutik DNA Balap Tapi Irit BBM
• 13 jam lalumedcom.id
Berhasil disimpan.