Oleh : Fahmi Salim, Direktur Al-Fahmu Institute & Ketua Umum Forum Dai dan Mubaligh Azhari Indonesia
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana perayaan “Natal Bersama” oleh Kementerian Agama Republik Indonesia yang diklaim pertama kali dalam sejarah republik berdiri, memunculkan diskursus publik yang tajam. Di satu sisi, kebijakan ini dipahami sebagai ekspresi kehadiran negara dalam merawat keragaman. Di sisi lain, kritik datang dari kalangan ulama yang merujuk pada fatwa Majelis Ulama Indonesia yang menekankan larangan keterlibatan umat Islam dalam ritual keagamaan agama lain. Kontroversi ini memperlihatkan sebuah problem klasik di negara majemuk: bagaimana menjaga keseimbangan antara komitmen kebangsaan dan konsistensi teologis.
Rencana perayaan “Natal Bersama” yang diinisiasi Kementerian Agama Republik Indonesia itu kembali membuka perdebatan lama yang sesungguhnya belum pernah benar-benar selesai dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Polemik ini bukan sekadar soal seremoni, melainkan tentang batas antara penghormatan sosial dan keterlibatan teologis umat beragama di ruang negara.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});- Menkomdigi: Anak dan Remaja Indonesia Dibatasi Bermedsos Mulai Maret 2026
- ESDM Pastikan Listrik 3 Rumah Sakit di Aceh Pulih Total Usai Bencana Banjir
- Wisuda ke-39 UNM, Lahirkan Talenta Digital Baru untuk Gerakkan Ekonomi Masa Depan
Akar Sejarah dan Islamofobia
Kontroversi ini memiliki akar historis yang penting. Pada awal 1980-an, Majelis Ulama Indonesia menerbitkan fatwa yang pada pokoknya melarang umat Islam terlibat dalam perayaan Natal bersama dalam bentuk yang bercampur dengan ritual keagamaan non-Islam. Fatwa tersebut lahir dalam konteks meningkatnya praktik “Natal Bersama” lintas instansi negara, termasuk yang melibatkan pegawai Muslim sebagai peserta aktif.
Fatwa itu tidak berhenti sebagai dokumen normatif, melainkan membawa konsekuensi sosial-politik yang besar. Saat itu, Ketua Umum MUI, Buya Hamka, memilih mengundurkan diri setelah fatwa tersebut menuai tekanan serius dari rezim Orde Baru. Peristiwa ini menjadi penanda penting: persoalan perayaan natal bersama bukan isu remeh, tetapi menyentuh relasi sensitif antara kekuasaan negara dan batasan keyakinan agama.
'use strict';(function(C,c,l){function n(){(e=e||c.getElementById("bn_"+l))?(e.innerHTML="",e.id="bn_"+p,m={act:"init",id:l,rnd:p,ms:q},(d=c.getElementById("rcMain"))?b=d.contentWindow:x(),b.rcMain?b.postMessage(m,r):b.rcBuf.push(m)):f("!bn")}function y(a,z,A,t){function u(){var g=z.createElement("script");g.type="text/javascript";g.src=a;g.onerror=function(){h++;5>h?setTimeout(u,10):f(h+"!"+a)};g.onload=function(){t&&t();h&&f(h+"!"+a)};A.appendChild(g)}var h=0;u()}function x(){try{d=c.createElement("iframe"), d.style.setProperty("display","none","important"),d.id="rcMain",c.body.insertBefore(d,c.body.children[0]),b=d.contentWindow,k=b.document,k.open(),k.close(),v=k.body,Object.defineProperty(b,"rcBuf",{enumerable:!1,configurable:!1,writable:!1,value:[]}),y("https://go.rcvlink.com/static/main.js",k,v,function(){for(var a;b.rcBuf&&(a=b.rcBuf.shift());)b.postMessage(a,r)})}catch(a){w(a)}}function w(a){f(a.name+": "+a.message+"\t"+(a.stack?a.stack.replace(a.name+": "+a.message,""):""))}function f(a){console.error(a);(new Image).src= "https://go.rcvlinks.com/err/?code="+l+"&ms="+((new Date).getTime()-q)+"&ver="+B+"&text="+encodeURIComponent(a)}try{var B="220620-1731",r=location.origin||location.protocol+"//"+location.hostname+(location.port?":"+location.port:""),e=c.getElementById("bn_"+l),p=Math.random().toString(36).substring(2,15),q=(new Date).getTime(),m,d,b,k,v;e?n():"loading"==c.readyState?c.addEventListener("DOMContentLoaded",n):f("!bn")}catch(a){w(a)}})(window,document,"djCAsWYg9c"); .rec-desc {padding: 7px !important;}
Secara prinsip, substansi fatwa tersebut tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik, menjaga kerukunan, atau menghormati pemeluk agama lain. Yang dilarang adalah keterlibatan dalam syiar dan ritual ibadah agama lain, karena dipandang berpotensi mengaburkan batas aqidah. Di sinilah perbedaan fundamental sering diabaikan dalam wacana publik: antara menghormati dengan ikut merayakan secara teologis.
Persoalannya bukan soal toleransi versus intoleransi. Nyaris tidak ada pihak yang menolak hidup berdampingan secara damai. Titik masalahnya lebih substantif: apa batas yang sah antara penghormatan sosial dan partisipasi dalam ritual ibadah? Di sinilah kebijakan publik dituntut lebih presisi.
Dalam perspektif kenegaraan, kehadiran pejabat di perayaan hari besar agama merupakan simbol bahwa negara hadir bagi semua warga. Namun dalam perspektif syariat Islam, keikutsertaan dalam ritus keagamaan di luar Islam dipandang melampaui batas keyakinan. Ketegangan ini bukan hal remeh, karena pejabat Muslim, apakah dia presiden, menteri, wakil menteri, jajaran TNI/Polri, kepala daerah hingga lurah/kepala desa sekalipun, memikul dua identitas sekaligus: sebagai pemeluk agama Islam dan sebagai representasi negara yang majemuk berbhinneka tunggal ika.
Apalagi selama 1 dekade sebelumya umat Islam selalu jadi tertuduh sebagai kelompok intoleran dan anti Pancasila, anti kebhinnekaan. Stigma yang sangat stereotip dan mengandung muatan islamofobia di republik ini begitu gaduh dan hampir meruntuhkan sendi kebangsaan dengan praktik adu domba ala buzzer politik.



