FAJAR, JAKARTA – Keputusan pemerintah Presiden RI ke-7, Joko Widodo (Jokowi), memberikan izin tambang kepada organisasi kemasyarakatan (Ormas) menjadi sorotan KH Said Aqil Siradj.
Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siradj, secara terbuka meminta agar PBNU mengembalikan izin usaha pertambangan (IUP) yang pernah diberikan pemerintahan Jokowi.
Said Aqil menegaskan bahwa pemberian tambang tersebut justru lebih banyak membawa mudarat (kerugian). Baik bagi internal organisasi maupun bagi kelestarian lingkungan.
Dia menjelaskan secara rinci mengapa PBNU perlu mengembalikan fasilitas tambang yang telah diterima.
Menurutnya bahwa IUP tersebut berpotensi menimbulkan kerugian besar, baik bagi keutuhan internal PBNU maupun aspek lingkungan hidup.
“Mudaratnya—jika kita merujuk pada tafsir ini—menyangkut keselamatan jiwa, lingkungan, ekosistem tanah atau bumi, dan dikhawatirkan dapat memicu kefasekan. Berarti orang akan berperilaku semena-mena, maksiat, hingga kekufuran,” kata Said Aqil dalam sebuah sesi siniar YouTube, Kamis (11/12).
Ia mengakui bahwa pemberian IUP itu terjadi pada tahun 2017, saat dirinya masih menjabat sebagai Ketua Umum PBNU.
Kala itu, ia menduga pemberian tambang merupakan bentuk penghargaan pemerintah kepada ormas yang memiliki jasa besar bagi negara.
“Awalnya, saya mendengar Pak Jokowi memberikan konsesi tambang kepada ormas, dan saya menyambut gembira. Barangkali itu merupakan bentuk apresiasi kepada ormas-ormas yang berjuang sebelum lahirnya NKRI, seperti NU, Muhammadiyah, dan lainnya. (Bentuk) penghargaan,” ujarnya.
Namun, setelah melalui perenungan mendalam dan evaluasi yang objektif, Said Aqil menyatakan bahwa pemberian IUP kepada ormas justru menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar daripada manfaatnya.
Salah satu contoh mudarat yang paling jelas adalah ketegangan internal yang terjadi di tubuh PBNU sendiri.
Misalnya konflik yang melibatkan Ketua Umum PBNU saat ini, KH Yahya Cholil Staquf, dengan Sekretaris Jenderal (Sekjen), Saifullah Yusuf alias Gus Ipul.
“Itu juga menjadi keretakan antara Ketua Umum dengan Sekjen, di mana Sekjen didukung oleh Rais Aam,” tegasnya.
Tambang sebagai Pemicu Perpecahan
Said Aqil tidak menampik bahwa isu pemberian IUP ini telah memicu ketegangan di internal organisasi keagamaan terbesar di Indonesia itu.
Ia bahkan membandingkan situasi ini dengan sejarah negara-negara lain yang terpecah akibat konflik tambang.
“Jelas sekali mudarat-nya pada ormas, yaitu melahirkan ketegangan. Apalagi kalau kita melihat di negara-negara seperti Bolivia, Venezuela, Nigeria, yang tadinya bersatu dan kompak, kini perang saudara gara-gara tambang. Mengapa kita tidak bisa mengambil pelajaran dari sana? Tampaknya ada kemaslahatan di awal, tapi nyatanya belum sampai ke sana sudah terjadi perpecahan,” cetusnya.
Oleh karena itu, Kiai Said menyimpulkan bahwa izin tambang yang diterima PBNU sebaiknya dikembalikan kepada pemerintah.
Ia menduga, pemberian IUP tersebut bisa menjadi semacam “jebakan” agar ormas-ormas tidak lagi berani mengkritik atau memberikan masukan konstruktif kepada pemerintah.
“Oleh karena itu, menurut pendapat saya, kembalikan saja. Ini adalah saran saya sebagai Mustasyar PBNU,” pungkasnya. (*)

/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2025%2F02%2F25%2F025fffb0-12e0-4763-91ea-429c0352c708_jpg.jpg)



