Kawasan Titik Nol Kilometer dikenal sebagai salah satu ikon Kota Yogyakarta. Namun, tak hanya suguhan bangunan tempo dulu, ada satu lokasi yang berisi kios penjual buku, koran, kalender, hingga teka-teki silang (TTS).
Kios tersebut berada di samping gedung PT Pos Indonesia. Dahulu, lokasi ini jadi tujuan masyarakat mencari bahan bacaan. Tiap harinya ramai dikunjungi remaja hingga orang tua.
Kamis (11/12), kumparan mengunjungi kios buku Titik Nol Yogyakarta.
Kios tampak berderet rapi dari utara ke selatan. Namun, di pagi itu baru tiga kios yang buka. Salah satunya milik Sumarni (52 tahun).
"Saya sudah dari 1990 di sini," kata Sumarni yang berasal dari Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, DIY.
Sumarni berjualan dari sebelum punya suami sampai sekarang punya cucu. Manis pahit telah dia rasakan ketika mencari rezeki di sini.
Saat tahun 1990, jualan Sumarni lengkap. Tak hanya buku, dia berjualan kalender, koran, kupon sayembara ketoprak, majalah, majalah bahasa Jawa, majalah remaja, hingga benda-benda pos.
Mulai Meredup pada 2015Menurut Sumarni, masa kejayaan kios buku Titik Nol Kilometer bertahan hingga 2015. Pada tahun tersebut, ada pergeseran perilaku masyarakat. Mereka tak mengakses informasi secara fisik tetapi melalui ponsel pintar.
"2015 setelah adanya android itu. Sekarang yang [beli] media cetak sudah mulai berkurang. Ramai-ramainya itu 2015, masih ramai," katanya.
Sejak dahulu jumlah kios di sini 17. Namun seiring perubahan zaman banyak penjual buku yang berganti dagangan.
"Sampai sekarang masih 17. Kalau jualannya sudah berbeda. Sekarang sudah beralih kaya sempol, cemilan yang untuk ngopi-ngopi gitu di sini," katanya.
Kios yang kini berdagang makanan biasanya buka dari sore sampai malam hari, menyesuaikan waktu kunjung wisatawan.
Saat ini penjual buku hanya tersisa empat orang, termasuk Sumarni.
Meski tetap berjualan buku, Sumarni juga berjualan kopi untuk menambah penghasilan.
"Saya masih tetap di buku-buku novel dari Wattpad itu. Saya masih ada benda-benda pos. Saya masih jual kartu pos. Terus sama kopi-kopi sejak sekitar lima tahunan," katanya.
Secercah Harapan
Meski tak sebanyak dulu, Sumarni tetap konsisten berjualan. Misalnya saja kartu pos, yang masih jadi buruan turis-turis asing.
Peluang juga datang dari kegemaran generasi Z membaca Wattpad di internet. Mereka biasanya membeli buku novel Wattpad ke kios Sumarni.
"Anak-anak remaja itu kan cari ending (ceritanya) di buku. Mesti mencarinya (buku). Kalau ada rombongan study tour itu juga alhamdulillah masih ramai," katanya.
Buku-buku filsafat dan sejarah menurutnya juga masih dicari. Pada momen kelulusan juga banyak pelajar yang membeli buku untuk disumbangkan di perpustakaan sebagai kenang-kenangan.
Kalender juga masih banyak peminatnya. Masih banyak masyarakat yang merasa kurang jika dinding rumahnya tak ada kalender. Terlebih kalender yang mencantumkan hari pasaran Jawa, lebih sering dicari.
"Kalau kalender masih laku keras. Dan kemarin itu alhamdulilah ada bapak-bapak lewat dari Belitung pesan buku dan kalender yang dicetak dengan alamat tokonya," katanya.
TTS Masih LakuTTS juga ada pecintanya sendiri. "Masih ramai soalnya kayak untuk kegiatan piyayi (orang) sepuh biar tidak cepat pikun," katanya.
Sementara untuk koran dia sudah tak berjualan. Hal ini karena sistem penjualan sudah berubah. Dia harus membeli koran terlebih dahulu. Sementara koran jika tak laku informasinya basi.
"Kalau kulakan harus beli lepas. Kalau nggak laku, kita rugi. Kalau dulu titipan," katanya.
Secara omzet diakui Sumarni pasti ada penurunan. Tetapi dia selalu mensyukuri dan berkomitmen pantang menyerah.
"Bagi saya pribadi, harapan saya semoga masih bisa jualan di sini karena saya sudah tua, untuk memulai usaha baru sudah nggak produktif lagi," kata Sumarni.




