Bisnis.com, CIREBON- Pemerintah Kabupaten Cirebon mulai mempercepat penyiapan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) baru di wilayah Kecamatan Gempol sebagai pengganti TPA Gunungsantri di Desa Kepuh, Palimanan, yang telah menampung sampah wilayah barat Kabupaten Cirebon selama bertahun-tahun.
Jika seluruh proses berjalan sesuai rencana, TPA Gunungsantri akan resmi ditutup pada 2027.
Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Cirebon, Fitroh Suharyono, menjelaskan lokasi TPA pengganti telah ditetapkan di Desa Palimanan Barat, Kecamatan Gempol. Pemerintah daerah saat ini tengah mengupayakan pembebasan lahan seluas 5 hektare yang akan menjadi pusat pengolahan sampah baru.
Baca Juga
- Cirebon Belum Terselamatkan dari Krisis Perlindungan Kesehatan
- Pensiun Dini PLTU Cirebon-1 Batal, Proyek Mana jadi Penggantinya?
“Pembebasan lahannya masuk skala prioritas. Semua proses sudah kami dorong agar tidak meleset dari target. Lokasinya di Palimanan Barat dan saat ini sedang kami pastikan kesiapan lahan serta dokumen teknisnya,” ujar Fitroh, Rabu (10/12/2025).
Menurutnya, DLH juga sudah menyelesaikan feasibility study terhadap lahan yang diusulkan. Kajian tersebut menjadi dasar untuk memastikan kelayakan lokasi, mulai dari daya tampung, potensi dampak lingkungan, hingga aksesibilitas armada pengangkut.
Hasil kajian itu sekaligus menjadi pembuka jalan bagi proses konstruksi fasilitas yang akan menggantikan peran TPA Gunungsantri.
Salah satu perubahan paling signifikan dari TPA baru adalah sistem pengolahan yang tak lagi mengandalkan metode controlled landfill. DLH telah menandatangani MoU dengan PT Global Energi Investama, perusahaan yang akan membangun fasilitas pengolahan sampah berteknologi refuse derived fuel (RDF).
Perusahaan itu mengklaim mampu mengolah hingga 1.000 ton sampah per hari, lebih dari dua kali lipat volume sampah yang masuk ke TPA Gunungsantri saat ini, yakni sekitar 450 ton per hari.
Selama ini, TPA Gunungsantri hanya mengandalkan pola pengurugan: sampah ditimbun, diratakan, dipadatkan, lalu ditutup tanah secara berkala.
Sistem tersebut memang lebih baik dibanding pembuangan terbuka, tetapi tidak mampu menyelesaikan persoalan utama: lahan yang terus menipis dan risiko lingkungan yang muncul dari penumpukan gas metana, bau, serta berkembangbiaknya serangga.
“Dengan sistem RDF, sampah diproses sehingga bernilai energi. Tidak hanya mengurangi timbunan, tapi juga menekan efek pencemaran,” kata Fitroh.
TPA Gunungsantri sendiri memiliki luas lebih dari 4 hektare, namun hanya sekitar 2,5 hektare yang benar-benar dimanfaatkan sebagai zona penimbunan sampah. Sisa lahan dialokasikan untuk penghijauan dan area penunjang.
Dengan kapasitas yang terus tertekan, umur operasional TPA tersebut diperkirakan tak lagi panjang.
Kondisi itu menjadi alasan kuat pemerintah mempercepat pembangunan TPA baru. Penutupan Gunungsantri dijadwalkan dilakukan segera setelah fasilitas di Gempol beroperasi penuh, paling lambat pada 2027.
Masih Banyak PR Lingkungan
Meski rencana penggantian TPA dianggap langkah maju, pengamat lingkungan menilai Pemkab Cirebon tetap memiliki pekerjaan rumah besar dalam transisi ini.
Di antaranya memastikan pengawasan konstruksi, menjamin proses pembebasan lahan berjalan transparan, dan mengantisipasi potensi penolakan warga sekitar lokasi baru.
Selain itu, teknologi RDF memiliki ketergantungan pada kualitas pemilahan sampah. Tanpa perbaikan sistem di tingkat desa dan TPS, fasilitas baru berpotensi tidak mencapai kapasitas optimal.
Hingga kini DLH belum menjelaskan secara rinci bagaimana pola distribusi sampah, integrasi dengan desa penghasil sampah terbesar, dan mekanisme penataan di Gunungsantri pascapenutupan nanti.




