Jika Negosiasi Dagang Gagal, Lonjakan Tarif AS Mengintai

kompas.id
13 jam lalu
Cover Berita

JAKARTA, KOMPAS — Potensi kegagalan negosiasi dagang Indonesia–Amerika Serikat dikhawatirkan memicu lonjakan tarif yang dapat menekan industri furnitur dan karet nasional. Ketidakpastian perundingan Indonesia–Amerika Serikat dinilai pelaku industri sebagai momentum memperkuat pasar domestik dan memperbaiki daya saing nasional.

Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur menilai, dinamika negosiasi dagang Indonesia–Amerika Serikat yang berpotensi gagal seperti yang diberitakan media asing merupakan bagian dari proses diplomasi yang wajar.

Dalam perjanjian dagang dengan AS, setia negara, khususnya Indonesia, memiliki posisi tawar dan kepentingan strategisnya sendiri dalam perundingan. Dengan populasi 280 juta jiwa dan agenda industrialisasi, wajar jika Indonesia mengajukan penyesuaian atau permintaan tertentu dalam negosiasi dengan AS.

“Indonesia bukan ‘anak bandel’, Malaysia bukan ‘anak baik’. Setiap negara bernegosiasi berdasarkan kepentingannya. Bagi pelaku usaha, ini jangan dilihat sebagai konflik, melainkan proses mencari titik temu agar perdagangan berjalan adil, saling menguntungkan, dan tetap kompetitif” ujar Sobur, saat dihubungi, Kamis (11/12/2025).

Menurutnya, AS membutuhkan suplai furnitur yang terdiversifikasi dan berkualitas. Begitu pula Indonesia membutuhkan akses pasar yang stabil. Komunikasi yang terbuka, penyampaian data komprehensif, dan penegasan komitmen industri menjadi hal penting dalam menjaga arah perundingan.

Sobur berharap negosiasi Indonesia–AS tidak berujung pada kegagalan. Namun, jika skenario terburuk terjadi dan produk Indonesia dikenai tarif hingga 32 persen, ditambah tarif yang mengacu pada Section 232 Undang-Undang Perluasan Perdagangan 1962 untuk produk berbasis kayu, dampaknya akan signifikan bagi industri furnitur nasional.

Baca JugaRI–AS Bersitegang soal Implementasi Tarif

Pertama, daya saing produk Indonesia di pasar AS akan turun drastis. Dalam kondisi biaya logistik dan material global yang masih tinggi, tarif tambahan membuat harga furnitur Indonesia semakin kalah bersaing dengan produk dari Vietnam, Malaysia, Meksiko, maupun Kanada.

“AS adalah pasar furnitur nomor satu di dunia. Jika tarif tinggi diberlakukan, eksportir menengah akan tertekan. Pemain besar mungkin melakukan reposisi pasar,” kata Sobur.

Kedua, potensi relokasi produksi ke negara ketiga dapat meningkat, seperti yang terjadi saat perang dagang AS–China. Perusahaan dapat memindahkan sebagian proses produksi ke negara yang bebas tarif.

Meski demikian, menurut Sobur, Indonesia tetap memiliki peluang melalui skema co-production, misalnya perakitan di negara mitra yang memiliki preferensi tarif lebih baik. Hilirisasi bahan baku domestik juga diyakini tetap berjalan karena kualitas kayu Indonesia diakui global

Ketiga, tarif tinggi berpotensi menekan utilisasi pabrik dan arus kas pelaku usaha. Industri furnitur yang menyerap 2,1 juta tenaga kerja rentan mengalami kontraksi jika permintaan AS anjlok. “Namun ini bukan kondisi permanen. Perdagangan global selalu mencari titik keseimbangan baru,” ujarnya.

Sobur menegaskan, dinamika perjanjian perdagangan Indonesia-AS, sekali lagi perlu menjadi momentum untuk mempercepat penguatan pasar domestik, perlindungan dari impor tidak adil, dan diversifikasi tujuan ekspor.

Dengan populasi besar dan kelas menengah yang terus tumbuh, pasar lokal dinilai dapat berfungsi sebagai penyangga industri ketika ekspor terganggu. Pemerintah dinilai perlu memperkuat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), memperluas belanja produk lokal untuk fasilitas publik, kebutuhan wisata, dan mempercepat pembangunan perumahan rakyat.

Di sisi lain, penertiban impor yang tidak adil melalui pengawasan dumping, pengendalian masuknya produk murah, hingga penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan legalitas bahan baku diperlukan untuk menciptakan persaingan yang seimbang.

Sobur juga menekankan pentingnya diversifikasi pasar ekspor. Selain AS, peluang terbuka di Uni Eropa melalui IEU-CEPA, Kanada, kawasan Timur Tengah, Afrika, hingga India dengan pertumbuhan kelas menengah yang cepat.

“Diversifikasi penting agar industri tidak bergantung pada satu pasar. HIMKI terus mendorong perluasan pembeli melalui pameran di Dubai, Osaka, Singapura, hingga Afrika,” kata Sobur.

Ia menegaskan, industri furnitur Indonesia tetap memiliki prospek kuat selama kebijakan pemerintah dan strategi pelaku usaha bergerak seiring menghadapi perubahan lanskap perdagangan global.

Karet

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) sekaligus Ketua Dewan Karet Indonesia, Aziz Pane mengatakan, potensi kegagalan perundingan dagang Indonesia–AS dapat membawa dampak besar bagi sektor karet olahan, terutama ban dan komponen otomotif berbahan karet. Ketidakpastian negosiasi yang dinilai berlarut-larut dikhawatirkan membuat Indonesia kehilangan momentum perdagangan yang adil dan setara.

Menurut Aziz, AS masih menjadi pasar yang sangat penting bagi industri karet nasional. Nilai belanja masyarakat yang tinggi serta posisi AS sebagai importir utama ban dan suku cadang karet membuat ketergantungan Indonesia terhadap pasar tersebut cukup besar.

“Amerika itu pasar besar bagi komoditas karet. Indonesia sudah lama menyuplai ban dan suku cadang karet ke sana. Jika perundingan dagang gagal, dampaknya sangat besar bagi industri yang iklim usahanya saja belum benar-benar membaik,” kata Aziz.

Baca JugaIndustri Ban Tertekan, Ratusan Pekerja Terancam PHK

Menurut Aziz, proses negosiasi perdagangan Indonesia–AS berlangsung terlalu lama dan tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan. Kondisi ini, katanya, bisa menjadi indikasi bahwa tidak ada upaya diplomasi yang cukup kuat sehingga peluang untuk memperoleh kesepakatan perdagangan yang lebih adil dan setara semakin mengecil.

“Ini perlu diplomasi tingkat tinggi. Presiden Prabowo harus bertemu dengan Presiden Trump secara khusus. Sampai sekarang belum pernah ada pertemuan langsung yang fokus untuk ini. Trump itu sosok yang sangat transaksional,” ujar Aziz.

Ia menilai, pertemuan bilateral tingkat kepala negara menjadi penting untuk meredakan tensi politik dan memastikan posisi Indonesia tidak semakin melemah, apalagi setelah kunjungan Presiden Prabowo ke Moskwa untuk bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin. “Saya khawatir pertemuan itu memunculkan sentimen tambahan dari AS,” katanya.

Aziz mengingatkan, di luar AS terdapat pasar baru dan bagus bagi produk karet Indonesia, khususnya di kawasan Asia Tengah, seperti Azerbaijan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Negara-negara tersebut memiliki potensi pasar besar, dengan jarak pengiriman lebih dekat dan biaya logistik lebih rendah. Meski demikian, kunci utama tetap berada pada kekuatan industri nasional.

Indonesia, menurut Aziz, masih menghadapi tantangan besar pada infrastruktur, regulasi, biaya energi tinggi, dan hingga hilirisasi dan sistem logistik. Salah satu kelemahan yang juga disosroti yaitu ketiadaan armada pelayaran nasional yang memadai untuk mendukung perdagangan ekspor.

“Indonesia belum punya kekuatan kapal pengangkut sendiri. Kita masih bergantung pada armada negara lain. Kalau ekspor ingin menjadi mesin pertumbuhan ekonomi, PR-nya masih banyak, mulai dari kesiapan sarana-prasarana hingga regulasi yang berpihak pada pelaku industri,” ujar Aziz.

Tanpa penguatan internal, Indonesia akan terus tertinggal dibanding Vietnam, baik sebagai negara produsen maupun pengekspor ke pasar AS. “Kita perlu melihat kelemahan sendiri dan memperbaikinya. Kita harus selamatkan industri yang masih lemah ini agar tidak semakin kalah bersaing,” kata Aziz.

Aziz mendorong pemerintah memperkuat koordinasi lintas kementerian, memperbaiki iklim investasi, serta mempercepat kebijakan yang memacu daya saing industri karet dan manufaktur nasional di tengah ketidakpastian geopolitik dan perdagangan global.

Diplomasi

Ketua Bidang Perdagangan Apindo Anne Patricia Sutanto, menyatakan, pemberitaan sejumlah media luar negeri mengenai pembahasan perjanjian dagang Indonesia–AS tidak mencerminkan posisi resmi pemerintah AS.

Di dalam sejumlah pemberita asing yang juga banyak dikutip media Indonesia, tidak dijelaskan siapa nama atau narasumber yang memberikan pernyataan. Ketidakjelasan sumber itu dipertanyakan. Oleh karena itu, lebih baik menunggu kejelasan dari pernyataan resmi pemerintah Indonesia atau dari AS.

Anne meyakini, saat ini diplomasi ekonomi dan politik antara Indonesia dan AS terus berlangsung melalui Kementerian Luar Negeri, Kemenko Perekonomian, hingga Presiden. Seperti diketahui, pada Juni lalu, Amerika Serikat dan Indonesia menyepakati kerangka kerja untuk perjanjian perdagangan resiprokal atau timbal balik.

Kesepakatan berupa pernyataan bersama (joint statement) itu diumumkan melalui pernyataan Gedung Putih pada Selasa (22/7/2025) waktu setempat atau Rabu (23/7/2025) waktu Indonesia. Kerangka kerja sama tersebut merupakan bagian dari kesepakatan penurunan tarif resiprokal antara Amerika Serikat (AS) dan Indonesia dari 32 persen menjadi 19 persen.

“Kalau USTR hanya bicara soal trade and investment, pemerintah Indonesia sebenarnya sudah siap sejak Juni lalu. Namun kalau permintannya melewati itu, ada hal-hal yang tentunya harus dikonsultasikan lintas kementerian dan juga dengan DPR,” ujar Anne, saat dihubungi.

Prinsip WTO

Anne mengingatkan, Indonesia tidak bisa gegabah menyetujui permintaan yang dapat berbenturan dengan berbagai perjanjian bilateral, multilateral, maupun prinsip dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pelanggaran tersebut justru dapat menimbulkan konsekuensi lebih besar bagi perekonomian Indonesia dalam jangka panjang.

“Apakah kita rela pemerintah menandatangani sesuatu yang malah membuat Indonesia melanggar komitmennya sendiri dalam perjanjian bilateral dan multilateral, di WTO? Dampak ekonomi kalau batal (perjanjian dengan AS) pasti ada, tetapi secara kedaulatan jangan sampai kita ‘jual diri’,” tegasnya.

Di tengah ketidakpastian dagang atau negosiasi yang masih berlangsung, Anne juga mengingatkan, ada prioritas utama yang harus terus dikawal yaitu menurunkan biaya produksi, memperkuat pasar domestik, dan mendorong perbaikan regulasi yang menghambat industri manufaktur.

Pemerintah perlu mempercepat reformasi iklim usaha mengingat peringkat kemudahan berbisnis yang masih rendah. Laporan Bank Dunia pada 2024 menempatkan Indonesia pada pringkat ke-73 dunia.

“Kalau iklim usaha kita semakin baik, daya saing meningkat. Kalau kuat di dalam negeri, kita pasti kuat di global. Jadi PR kita adalah tingginya biaya produksi hingga regulasi pendukung manufaktur,” kata Anne.

Menurut Anne, jika daya saing industri dalam negeri kuat dan pasar perdagangan global meningkat, Indonesia sebenarnya tak perlu khawatir dengan hambatan perdagangan dengan AS.

 

 


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Pemerintah Prioritaskan Pembangunan Akses Jalan di Area Bencana Sumatera
• 9 jam lalukatadata.co.id
thumb
Rais Aam Tidak Hadir, Rapat Pleno PBNU Kubu Gus Yahya Ditunda
• 9 jam lalumerahputih.com
thumb
Tinjau Pembersihan SD dan Masjid Terdampak Bencana di Aceh Tamiang, Kapolri: “Warga Tidak Boleh Menunggu Terlalu Lama”
• 16 jam lalupantau.com
thumb
SEA Games 2025: Cetak Sejarah, Wulan Raih Emas Perdana Indonesia di MMA
• 5 jam lalugenpi.co
thumb
Marak Skandal Suap, Presiden Korsel Minta Gereja Unifikasi Dibubarkan
• 13 jam laluokezone.com
Berhasil disimpan.