JAKARTA, KOMPAS – Otoritas Jasa Keuangan atau OJK menilai bencana ekologis di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah berdampak terhadap sektor jasa keuangan. Maka dari itu, regulator menetapkan perlakuan khusus atas wilayah tersebut selama tiga tahun.
Berdasarkan hasil asesmen sementara OJK, bencana tersebut telah berdampak terhadap sedikitnya 103.613 debitor perbankan. Di sisi lain, estimasi dari 39 perusahaan asuransi atas potensi klaim asuransi kerusakan properti mencapai Rp 492,53 miliar dan klaim kerusakan kendaraan senilai Rp 74,5 miliar.
Selain itu, estimasi klaim asuransi barang milik negara di wilayah terdampak bencana tersebut mencapai Rp 400 miliar. Adapun angka yang didapatkan dari pendataan tersebut bersifat sementara dan masih berisiko bertambah seiring perkemangan situasi di lapangan.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyampaikan, bencana yang melanda wilayah Sumatera itu telah berdampak terhadap sektor keuangan, baik secara operasioanl layanan maupun kinerja keuangannya.
“Pemetaaan kami menunjukkan hampir semua kabupaten/kota masuk dalam klasifikasi sedang dan berat,” katanya dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan OJK November 2025, secara daring, pada Kamis (11/12/2025).
Maka dari itu, OJK segera menetapkan kebijakan pemberian perlakuan khusus atas kredit/pembiayaan kepada debitor yang terdampak bencana. Kebijakan ini telah disepakati oleh OJK dalam RDKB OJK di Jakarta, Rabu (10/12/2025).
Tata cara perlakuan khusus itu merujuk Peraturan OJK Nomor 19 Tahun 2022 tentang Perlakuan Khusus untuk Lembaga Jasa Keuangan pada Daerah dan Sektor Tertentu di Indonesia yang Terkena Dampak Bencana (POJK Bencana). Kebijakan ini diberikan kepada debitor perbankan dan lembaga pembiayaan non-bank.
Selain perlakuan khusus bagi debitor, OJK juga memberikan relaksasi bagi industri jasa keuangan yang terdampak, antara lain berupa perpanjangan batas waktu akhir pelaporan selama 10 hari kerja. Dengan demikian, pelaku industri diharapkan tetap memiliki cukup waktu untuk meyusun dan menyampaikan laporan.
Kami berharap penanganan bencana yang cepat dan tanggap, serta respons kebijakan perlakuan khusus dapat menjadi langkah mitigasi yang baik, sehingga risiko yang dihadapi dapat dikendalikan dengan baik.
Mahendra menambahkan, wilayah terdampak bencana juga memerlukan masa pemulihan, agar aktivitas masyarakat dan perekonomian dapat kembali berjalan normal. Oleh sebab itu, OJK menetapkan status perlakuan khusus untuk tiga provinsi Sumatera tersebut selama tiga tahun.
“Kami berharap penanganan bencana yang cepat dan tanggap, serta respons kebijakan perlakuan khusus dapat menjadi langkah mitigasi yang baik, sehingga risiko yang dihadapi dapat dikendalikan dengan baik,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menyampaikan, penetapan tiga provinsi di Sumatera yang terdampak bencana tersebut juga mempertimbangkan data nasional.
Merujuk data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat 52 dari total 70 kabupaten/kota yang terdampak bencana tersebut. Adapun angka tersebut berisiko bertambah seiringe dengan perkambangan ke depan.
“Untuk jumlahnya (debitor), sementara dapat kami laporkan berdasarkan asesmen OJK, terdapat lebih kurang 103.613 debitor yang terdampak langsung,” ujar Dian.
Mengutip data OJK pada Juni 2025, total jumlah kantor cabang bank yang berada di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sebanyak 327 bank. Sementara itu, total jumlah kantor cabang bank di ketiga provinsi itu tercatat 337 bank.
Berdasarkan kualitas asetnya, rasio kredit macet (NPL) bank umum di ketiga provinsi tersebut berada di bawah ambang batas 5 persen. Adapun NPL tertinggi berada di Provinsi Sumatera Barat sebesar 2,36 persen, disusul Provinsi Aceh 2,04 persen, dan Provinsi Sumatera Utara 2,01 persen.
Sebaliknya, tingkat kredit bermasalah BPR di ketiga provinsi tersebut telah jauh melebihi ambang batas 5 persen. Tingkat NPL tertinggi BPR berada di Provinsi Aceh sebesar 14,81 persen, disusul Provinsi Sumatera Barat 14,01 persen, dan Provinsi Sumatera Utara 10,34 persen.
Kepada para debitor tersebut, Dian menambahkan, OJK menetapkan perlakuan khusus atas debitor kredit perbankan sebagaimana diatur dalam POJK Bencana. Salah satu ketentuannya ialah penilaian kualitas kredit berdasarkan ketepatan pembayaran (satu pilar) untuk plafon sampai dengan Rp 10 miliar.
Perlakuan tersebut berbeda dengan kondisi normal. Di luar perlakuan khusus, bank diwajibkan untuk menilai secara menyeluruh berbagai faktor yang memengaruhi kondisi debitor (lima pilar), seperti prospek usaha, kondisi keuangan, serta kemampuan bayar debitor.
Kemudian, POJK bencana juga restrukturisasi dapat dilakukan terhadap pembiayaan yang disalurkan, baik sebelum maupun setelah debitor terkena dampak bencana. Khusus untuk pinjaman daring, restrukturisasi dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari pemberi dana (lender).
Selanjutnya, Regulasi tersebut juga mengatur mengenai pemberian pembiayaan baru terhadap debitor yang terdampak, dengan penetapan kualitas kredit secara terpisah untuk kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain baru.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono menyampaikan, OJK turut mengimbau kepada seluruh perusahaan asuransi dan reasuransi untuk mempercepat dan menyederhanakan proses pembayaran klaim.
Selain itu, pihaknya saat ini juga telah meminta industri asuransi untuk mendata seluruh kerugian di wilayah terdampak bencana Sumatera. Kerugian yang dimaksud mencakup pertanggungan asuransi, baik asuransi umum maupuan asuransi jiwa.
Berdasarkan data sementara, total potensi klaim yang terdata dari 39 perusahaan atas asuransi kerusakan properti mencapai Rp 492,53 miliar, sedangkan potensi klaim atas asuransi kerusakan kendaaraan bermotor sebesar Rp 74,50 miliar.
Di sisi lain, terdapat pula eksposure asuransi barang milik negara di daerah terdampak bencan yang nilainya sekitar Rp 400 miliar. Sementara itu, untuk asuransi jiwa, perusahaan masih mendata dan memantau kondisi di lapangan.
“Angka-angka tersebut masih bersifat sementara dan masih akan terus berferak seiring proses pendataan dari lapangan,” ucap Ogi.
Menurutnya, bencana tersebut secara prinsip akan menaikkan beban klaim industri asuransi. Kendati demikian, industri telah mempersiapkan diri melalui proteksi reasuransi untuk risiko bencana, cadangan teknis yang memadai, serta pengelolaan permodalan yang umumnya di atas ketentuan minimum.
Di sisi lain, asuransi umum dan penjaminan diminta untuk tetap menyiapkan penjaminan atas potensi risiko gagal bayar, meski klaim kepada perusahaan asuransi atau penjaminan tidak langsung timbul. Langkah ini penting untuk memastikan kemampuan pembayaran klaim ke depan.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Budi Tampubolon mengatakan, asosiasi telah meminta seluruh anggotanya untuk mendata jumlah nasabah dan nilai pertanggungan di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
”Kami coba estimasi dari jumlah korban meninggal dunia, berapa kira-kira yang mungkin harus kita bayar. Jadi, kira-kira, mungkin nilainya antara Rp 50 miliar-Rp 100 miliar yang harus kami bayar klaimnya,” kata Budi saat ditemui di Jakarta, Senin (8/12/2025).




