Pagi ketiga di Pontianak, misi berlanjut. Gusti sudah standby di lobi Hotel tepat waktu, senyum khasnya merekah lebar. Kali ini dia tidak membawa termos kopi hitam legendarisnya yang penuh mistis, tapi dua gelas besar kopi kekinian dengan topping boba melimpah. Kontras sekali dengan suasana petualangan sejarah yang kami jalani.
“Hari ini kita ke lokasi paling ikonik di Pontianak, Bang,” ujarnya serius, sambil menyerahkan segelas kopinya. “Titik di mana bumi terbelah dua. Lokasi yang bikin Pontianak jadi center of attention alam semesta. Anggap saja focus group discussion kita pagi ini di titik nol lintang paling hits.”
Destinasi kami adalah Tugu Khatulistiwa, atau yang lebih sering disebut “Tugu Khat” oleh warga lokal. Perjalanan ke sana melintasi Jembatan Kapuas I yang padat merayap—suasana khas kota yang mulai sibuk—lalu masuk ke area Pontianak Utara, di sekitar sini terasa lebih santai.
Sampai di lokasi, pemandangan itu langsung menyambut kami. Bangunan tugu yang ikonik berdiri gagah. Ada tugu lama yang dikurung rapi di dalam bangunan kubah kaca, dan replika tugu yang jauh lebih besar menjulang di lapangan terbuka.
Suasananya ramai oleh pengunjung lain, mereka sibuk berfoto dengan pose paling kreatif; ada yang seolah menahan tugu agar tidak roboh, ada yang pura-pura melayang, semua demi konten medsos yang aesthetic di garis imajiner bumi.
Gusti, dengan gaya khasnya yang cepat berubah jadi profesor sejarah begitu mencium aroma situs bersejarah, langsung bertransformasi. Dia menunjuk setiap sudut tugu dengan gestur dramatis, seolah sedang memimpin briefing militer tentang bagaimana cara kerja redactional flow zaman kolonial.
“Bang, lihat baik-baik tugu ini,” katanya, matanya berkilat penuh pengetahuan yang belakangan saya tahu bahwa cheat sheet-nya dia dapat dari nongkrong di warung kopi tertua se-Pontianak. “Monumen ini dibangun pertama kali tahun 1928 oleh tim ekspedisi internasional dari Belanda. Mereka ini ibarat tim surveyor paling presisi zaman itu, kerjanya all out demi memastikan lokasi persisnya. Rela jauh-jauh dari Eropa cuma buat ngecek garis imajiner (khayal), demi memastikan SOP wilayah jajahan mereka akurat!”
Tugu Khatulistiwa Asli Buatan BelandaDia mulai menjelaskan sejarahnya begitu detail, ibarat dia paham betul berapa jumlah baut di tugu itu dan mungkin bisa tahu jika ada sebiji kerikil yang pindah dari area monumen. Penjelasannya mengalir mulus, dari awal penemuan titik nol hingga pembangunan monumen kecil itu.
“Tugu ini punya presisi luar biasa,” lanjut Gusti, sambil menunjuk pilar beton di tugu lama. “Tim Belanda itu pakai metode astronomi kuno tapi super akurat, berbulan-bulan riset cuma buat nemuin titik ini. Tiang dan lingkarannya itu diukur pakai theodolite dan peralatan canggih zaman itu, bukan cuma pakai kira-kira feeling atau pasal karet multitafsir yang bisa ditafsirkan macam-macam.”
Gusti menjelaskan bahwa penemuan titik ini bukan cuma iseng, tapi punya konsekuensi hukum internasional zaman kolonial yang lumayan bikin tegang.
“Ini serius, Bang! Penandaan titik khatulistiwa ini secara de facto dan de jure memperkuat klaim wilayah kolonial Belanda di mata dunia. Semacam sertifikat hak milik lokasi strategis yang sah untuk diaktakan di notaris internasional!” ujarnya, terkekeh. “Bayangin, kalau salah ukur cuma 10 meter saja, bisa-bisa kedaulatan Pontianak pindah ke daerah lain, masuk wilayah anak perusahaan Inggris. Bisa jadi bahan gugat-gugatan perdata di Mahkamah Internasional, Bang, dengan tuntutan ganti rugi lokasi paling keren di bumi!”
Saya tertawa terbahak-bahak mendengarkan kelakar sejarah yang diungkapkan si Gusti. “Jadi, ini semacam bukti fisik kalau bumi itu bulat dan Pontianak sudah di-booking duluan ya, Gus? Branding kotanya kuat banget!”
“Betul, Bang! Pasal penentuannya sudah kuat sejak 1928, nggak bisa diganggu gugat, sudah sesuai SOP alam semesta!”
Gusti melanjutkan ceritanya tentang peristiwa kulminasi matahari di bulan Maret dan September, di mana pengunjung bisa merasakan sensasi unik berdiri tanpa bayangan.
“Fenomena ini bukti nyata rotasi bumi. Matahari tepat di atas kepala kita, lagi check-in di hotel lintang nol. Kalau pas momen itu, kita bisa lihat keajaiban alam. Dasar Hukum Alam berlaku sempurna, tanpa cela, dan bebas PPN, tidak seperti konten jurnalistik abang yang kena PPN 11%!”
Sambil berjalan keluar dari bangunan kubah yang melindungi tugu asli—yang terlihat mungil, introvert, dan eksklusif—saya menunjuk replika raksasa yang berdiri gagah di lapangan terbuka. Tugu baru ini skalanya jauh lebih besar, dirancang modern, dan menjadi objek foto utama bagi para pelancong yang butuh ruang gerak lebih.
“Nah, kalau yang ini ceritanya beda lagi, Bang,” kata Gusti, menyesap kopi kekiniannya sampai topping bobanya habis. “Yang di dalam itu versi originalnya, situs sejarah yang dilindungi. Ibarat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata aslinya yang sakral, master content kita. Nah, yang di luar ini versi Undang-Undang terbarunya: lebih besar, lebih mudah diakses, dan pastinya lebih fotogenic buat kaum milenial yang butuh konten viral.”
“Transformasi ini terjadi karena kebutuhan, Bang. Tugu yang lama terlalu kecil untuk menampung animo wisatawan yang mau foto di titik nol bumi. Akhirnya dibangunlah replika yang lebih masif ini pada tahun 1990, diresmikan oleh Gubernur saat itu,” jelas Gusti. “Semacam rebranding sejarah lah, demi engagement yang lebih tinggi, sesuai arahan direksi pariwisata!”
“Jadi, ini pengembangan aset negara ya, Gus? Biar market value-nya naik dan revenue dari konten pariwisata nambah?” canda saya lagi.
Gusti mengangguk setuju dengan mimik serius yang dibuat-buat. “Tepat sekali, Bang! Semacam ‘ekspansi bisnis’ pariwisata Pontianak. Kalau di hukum, ini namanya penyesuaian regulasi terhadap perkembangan zaman. Tujuannya sama, lokasinya sama, tapi kemasannya di-upgrade. Jadi, tidak ada pelanggaran asas retroaktif di sini, karena fungsinya cuma replika untuk memperkuat yang asli, bukan menggantikan SOP inti!”
Waktu berlalu cepat. Kopi di gelas sudah tandas, dan memori kamera ponsel saya penuh dengan foto tugu dari berbagai sudut. Petualangan sejarah di jantung khatulistiwa ini harus segera berakhir. Gusti mengantar saya kembali ke hotel untuk berkemas.
Sore harinya saya harus terbang kembali ke realitas kehidupan Ibukota; rutinitas kantor yang membosankan, kemacetan jalanan yang mematikan, dan tentunya, kebersamaan paling berharga bersama anak-anak dan mamanya, yang menjadi jangkar hidup saya.
Saya di Pontianak sebenarnya dalam rangka tugas negara—tapi versinya kantor pusat yang overthinking. Misi utama; memastikan anak group perusahaan di sini menjual konten produk jurnalistiknya sesuai Garis Besar Haluan Kantor (GBHK) yang sakral, kaku, dan multitafsir itu. Anggap saja saya ini auditor internal yang cuma dibayar pakai keringat dan singkong keju. Lebih dramatis lagi, saya semacam hulubalang raja yang diutus ke negeri bawahan untuk memata-matai, memastikan mereka tidak membangkang atau, amit-amit, merencanakan kudeta editorial.
Pontianak ini merupakan kota kedua yang saya sambangi setelah Semarang. Di Kota Lumpia itu saya stay agak lama. Maklum, mumpung dinas luar, sekalian staycation halal di rumah orang tua. Lumayan, bisa claim tiket pesawat full price dari kantor, win-win solution ala karyawan teladan. Semoga bigboss di kantor pusat baca ini, biar beliau paham jika uang saku suka mepet dan proses reimbursement itu ribetnya bisa memicu darah tinggi.
Momen terakhir di bandara Supadio, saya berpamitan dengan Gusti Hardi Syarifudin, sang calon Magister Sejarah yang humoris dan lokal pride-nya tinggi. “Makasih banyak Gus, buat petualangan dan semua ceritanya,” ujar saya tulus. “Semoga tesis S2 kamu lancar jaya dan cepat jadi Dosen Sejarah yang kocak!”
“Sama-sama, Bang. Kapan-kapan balik lagi ke Pontianak. Masih banyak sejarah yang belum kita eksplor!”
Saya tersenyum puas. Pontianak bukan cuma tentang udara panas atau singkong keju, tapi tentang sejarah yang hidup, keramahan yang hangat, dan tentu saja, secangkir kopi hitam yang menemani setiap jengkal perjalanan. Sebuah kota, seperti kata Gusti, memang eksklusif sejak dulu kala, tepat di pusat perhatian alam semesta, dengan sertifikat hukum jelas, dan SOP alam yang sempurna.

:strip_icc()/kly-media-production/medias/5440895/original/001311100_1765446868-Malaysia_vs_Vietnam_di_SEA_Games_2025.jpg)


