Pasar karbon Indonesia harus terus dikembangkan melalui inovasi karbon digital. Laboratorium karbon digital akan meningkatkan akurasi dan transparansi data emisi, sehingga Indonesia bisa lebih efektif mengurangi emisi dan mencapai target pengurangan emisi yang telah ditetapkan.
Riza Suarga, Ketua Umum Indonesia Carbon Trade Association (IDCTA), mengatakan laboratorium karbon digital akan meningkatkan kemampuan Indonesia dalam mengukur, melaporkan, dan memverifikasi (MRV) emisi gas rumah kaca.
"Laboratorium karbon digital juga akan membantu meningkatkan kemampuan Indonesia dalam mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan iklim yang efektif, serta meningkatkan kerja sama internasional dalam mengatasi perubahan iklim," ujar Riza usai penandatanganan Komitmen Bersama dengan Indonesia Carbon Trade Association (ICTA), di Bandung, Selasa (9/12).
Penandatanganan komitmen ini dilakukan oleh Wali Kota Bandung Muhammad Farhan dan Riza Suarga dalam Carbon Digital Conference (CDC) 2025.
Riza mengatakan penandatanganan komitmen ini menjadi landasan pengembangan inovasi karbon digital dan pasar karbon di tingkat kota. Dengan Laboratorium Karbon Digital, Indonesia dapat meningkatkan akurasi data emisi, meningkatkan transparansi, dan akuntabilitas, meningkatkan kemampuan dalam mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan iklim, serta meningkatkan kerja sama internasional dalam mengatasi perubahan iklim.
Farhan mengatakan Bandung siap menjadi pilot project dalam pembuatan laboratorium karbon digital pertama di Indonesia. "Ini adalah kesempatan emas bagi Kota Bandung untuk membuka diri sebagai living lab bagi para pelaku industri karbon digital," kata Farhan.
Menurutnya, Bandung bisa menjadi ruang untuk menyusun purwarupa teknologi karbon digital. "Jika prototipe berhasil, kami tinggal memperbesar kapasitasnya agar Bandung dikenal sebagai kota lahirnya Carbon Digital Economy," katanya.
Bandung memiliki urgensi untuk mengembangkan skema ekonomi karbon, terutama karena tantangan besar terkait ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH). Kota dengan densitas penduduk tinggi ini menghadapi keterbatasan lahan yang membuat target 30% RTH sebagaimana amanat undang-undang sulit tercapai.
Farhan mengatakan, ada potensi pemanfaatan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) seluas 600-700 hektare yang dapat dikembangkan sebagai modal lingkungan (natural capital). Area ini dinilai dapat berkontribusi besar terhadap skema ekonomi karbon di masa mendatang.
Ia menambahkan, Carbon Digital Conference 2025 menandai perubahan penting dalam arah pembangunan Kota Bandung. Pendekatan konservatif lingkungan kini mulai beralih menjadi model ekonomi hijau berbasis teknologi digital, insentif karbon, dan kolaborasi global.
Carbon Digital Conference 2025 diselenggarakan pada 8-10 Desember 2025 dengan mengusung tema "Menggagas Ulang Pasar Karbon Indonesia: Inovasi Digital untuk Integritas Global". CDC 2025 menarik lebih dari 450 peserta dari sepuluh negara, melibatkan pemangku kepentingan dari pemerintah, industri, akademisi, dan startup teknologi iklim.
Yulianna Sudjonno, Partner sekaligus Sustainability Leader PwC Indonesia, menilai pemerintah telah menunjukkan perkembangan yang signifikan di pasar karbon dengan ditandatanganinya Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan beberapa negara dan organisasi pengembang standar internasional.
"Kini saatnya seluruh ekosistem - pemerintah, penyedia pembiayaan, pengembang proyek, hingga pelaku pasar - melanjutkan upaya tersebut untuk membangun kredit karbon berkualitas tinggi di Indonesia," ujar Yulianna.
Menurutnya, CDC2025 menjadi katalis penting untuk memperkuat kolaborasi dan memastikan setiap langkah memenuhi standar global dan memberikan nilai nyata bagi ekonomi hijau.



