- Mahfud MD memandang penunjukan Pj Ketua Umum PBNU pengganti Gus Yahya berpotensi menimbulkan kegaduhan baru.
- Gus Yahya memiliki legitimasi kuat sebagai mandataris Muktamar sehingga penunjukan sepihak sulit diterima secara hukum.
- Mahfud menyarankan kesepakatan bersama untuk menunjuk figur penyiap Muktamar guna mengakhiri perselisihan organisasi.
Suara.com - Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, memberikan pandangannya terkait agenda Rapat Pleno Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang dikabarkan akan menggelar pergantian pimpinan.
Mahfud memperingatkan bahwa langkah menunjuk Pejabat (Pj) Ketua Umum untuk menggantikan KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) justru berpotensi memicu masalah baru.
Melalui tayangan di kanal YouTube Mahfud MD Official, Mahfud membenarkan adanya agenda rapat pleno yang melibatkan seluruh unsur, mulai dari Syuriyah, Tanfidziyah, Mustasyar, hingga Badan Otonom (Banom).
"Agendanya sudah final, yaitu mengangkat pejabat ketua umum. Mungkin itu dianggap sebagai jalan keluar, tapi menurut saya itu bisa jalan keluar tapi bisa blunder baru," ujar Mahfud, dikutip pada Kamis (11/12/2025).
Mahfud menjelaskan alasan kekhawatirannya. Menurutnya, Gus Yahya memegang legitimasi kuat sebagai mandataris Muktamar, forum tertinggi di NU.
Jika pelengseran dilakukan sepihak tanpa kesepakatan, Gus Yahya memiliki dasar kuat untuk menolak keputusan tersebut.
"Persoalannya Gus Yahya itu tidak mau dipecat, 'Saya adalah mandataris muktamar'. Sebab itu, kalau mengangkat (Pj Ketua Umum) nanti akan ada dualisme dan dua-duanya tidak ada yang disalahkan oleh hukum," jelasnya.
Lebih lanjut, Mahfud menyoroti aspek legalitas administrasi negara.
Hingga saat ini, nama Gus Yahya masih tercatat secara sah di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Baca Juga: Geger PBNU: Klaim Restu Ma'ruf Amin Dibantah Keras Keluarga, Siapa yang Sah?
Jika kubu baru membentuk kepengurusan, mereka akan kesulitan dalam administrasi legal.
"Malah Gus Yahya posisinya secara hukum masih tercatat di Kumham. Yang ini nanti kalau mau membuat komunikasi politik, publik, dan organisatoris, lah dia tidak ada namanya. Kecuali bisa mengganti Kumham," paparnya.
Namun, Mahfud memprediksi Kemenkumham tidak akan gegabah mencampuri urusan internal organisasi yang sedang berkonflik karena dapat memperparah perpecahan.
Sebagai solusi, Mahfud menyarankan agar penunjukan pejabat ketua umum—jika memang harus dilakukan—harus didasari oleh kesepakatan kedua belah pihak.
Tujuannya adalah memberi mandat bersama untuk mempersiapkan Muktamar atau Muktamar Luar Biasa guna menyelesaikan konflik secara definitif.
"Kalau sepihak, agak susah membayangkan bahwa itu akan jalan. Seharusnya disepakati bersama agar ribut-ribut ini diendapkan dulu, nanti dibawa ke Muktamar saja," saran Mahfud.




