Coto Makassar sejatinya meninggalkan jejak mendalam di ingatan. Ia tak sekadar hidangan berkuah yang hangat dan gurih, tetapi juga simbol kenyamanan yang selalu siap memeluk kita di saat lelah. Coto Makassar itu istimewa. Namun di balik semua keistimewaan itu, ada pertanyaan yang kerap muncul: Apakah Coto Makassar memang pantas dikonsumsi kapan saja, bahkan untuk setiap hari?
Coto: Jembatan antara Rindu dan PulangCoto Makassar adalah bentuk sederhana dari kebahagiaan yang mengepul dari sebuah mangkuk kecil panas. Tidak heran banyak perantau dari Makassar, seperti saya, yang selalu mencari coto ketika rindu rumah. Sebab dalam setiap kuahnya, ia menghadirkan pulang dalam bentuk yang paling harum.
Aromanya meresap ke udara, bak panggilan pulang yang sukar ditolak. Kaldunya pekat berwarna cokelat gelap dengan kilauan minyak tipis di permukaannya. Dagingnya empuk seolah luruh hanya dengan sentuhan sendok, sementara jeroannya menawarkan tekstur dan karakter yang khas. Semua itu lahir dari proses merebus coto yang membutuhkan kesabaran dan ketelatenan.
Potongan ketupat pun menawarkan gigitan lembut yang menyatu sempurna, ketika dicelupkan sejenak ke dalam kuah hangat coto. Belum lagi sentuhan jeruk nipis yang diperas tipis di atasnya, menghadirkan cita rasa asam yang lembut, diikuti dengan sambal lombok tumis yang menambahkan hentakan pedas.
Bahkan, bawang goreng yang terserak di permukaan kuahnya senantiasa menambah kerenyahannya. Sungguh kombinasi yang ciamik, membuat setiap suapan perpaduan coto dan ketupat terasa hidup dan meruah.
Lantas, daya tarik Coto Makassar tidak berhenti pada sebuah rasa. Ada elemen emosional yang ikut bekerja. Makanan ini kerap menjadi tempat pulang ketika pikiran penat atau hari terasa terlalu panjang. Bagi saya—yang sering bergelut dengan deadline dan dinamika ruang akademik—semangkuk coto mungkin cara semesta menghadiahkanku kado istimewa penghilang lelah. Di titik itu, Coto Makassar menjadi jembatan antara rindu dan pulang ke tanah kandung.
Coto Makassar memang bukan sekadar racikan kuah dan daging. ahkan, coto sudah ada sejak masa Kerajaan Bajeng yang merupakan bagian Kerajaan Gowa. Ia berkembang dari dapur para leluhur yang meracik rempah demi menghasilkan kuah yang kaya dan tahan lama.
Barangkali karena itulah, cita rasa coto sering kali mengikat seseorang pada rasa rindu dan pulang, sebuah hidangan yang menjaga kebersamaan. Coto Makassar menyimpan jejak sejarah yang membuat siapa pun yang mencicipinya merasa terhubung dengan tanah asalnya.
Menjaga Jeda demi Keistimewaan yang Tetap TerjagaNamun, keistimewaan yang menggoda itu mengandung konsekuensi yang perlu kita telaah secara lebih rileks. Kuah pekat coto—yang menjadi daya tarik utamanya—merupakan kombinasi lemak, rempah, dan hasil ekstraksi daging serta jeroan. Dalam jumlah wajar, tentu ini bukan masalah.
Namun, ada risiko kesehatan yang tidak bisa diabaikan bila menyantap coto dijadikan sebuah kebiasaan harian, terutama terkait kolesterol. Sederhananya, tubuh kita boleh jadi menyukai rasanya, tetapi belum tentu siap menghadapi kandungannya setiap hari.
Lagipula, makanan senikmat apa pun akan kehilangan nilai spesialnya jika disantap setiap hari. Lantaran kita hanya sekadar menghabiskannya dan tidak lagi merayakannya. Padahal, beberapa hidangan memang lebih cocok diperlakukan sebagai hadiah untuk momen istimewa.
Menikmati Coto Makassar dengan jeda bukanlah bentuk pengurangan cinta, melainkan cara kita merawat cinta itu sendiri. Menjaga dan menghormati warisan budaya kuliner ini berarti memberi ruang bagi rindu untuk tumbuh. Kita seolah memberi kesempatan bagi lidah untuk kembali segar. Sebaliknya, kita juga memberi kesempatan bagi hidangan itu untuk mempertahankan keistimewaannya.
Maka dari itu, jagalah candu Coto Makassar tetap istimewa, sebagai hidangan yang selalu membuat kita ingin pulang, dengan sebuah jeda.



