JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah regulasi yang melonggarkan kontrol ekologis dituding sebagai biang kerok bencana banjir dan tanah longsor di Sumatera. Selama puluhan tahun, hutan dieksploitasi dengan mengabaikan dampak lingkungannya.
Direktur Sawit Watch Achmad Surambo menyatakan, eksploitasi hutan sudah terjadi sejak lama, dimulai sejak terbitnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Aturan ini mengobral pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) kepada pihak swasta. Kondisi ini berlangsung hingga akhir 1990-an.
Saat itu, katanya, pemerintah dengan dukungan Bank Dunia juga mulai mendorong munculnya Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang menggabungkan perkebunan besar (inti) dengan perkebunan rakyat (plasma), khususnya kelapa sawit. Tujuan awalnya agar rakyat dapat ikut menikmati hasil kebun.
Sebelumnya, HPH hanya diberikan kepada entitas perusahaan, baik perusahaan negara, daerah, maupun swasta. Pola PIR menjadi pendorong lonjakan luas perkebunan kelapa sawit rakyat.
”Ini menyebabkan terjadi pembukaan hutan besar-besaran yang tidak diimbangi reboisasi. Ada dana reboisasi tetapi tidak optimal sehingga daya rusaknya lebih besar daripada daya pulihnya,” kata Achmad, Sabtu (6/12/2025).
Menurut Statistik Perkebunan 2023-2025, luasan area kelapa sawit nasional yang semula 105.808 hektar pada 1967 meningkat menjadi 16,8 juta hektar pada 2025 atau naik 15.809 persen.
Khusus lahan sawit yang dikelola perkebunan besar swasta naik dari 40.325 hektar pada 1967 menjadi lebih kurang 9,1 juta hektar pada 2025 atau naik 22.667 persen. Adapun perkebunan rakyat yang baru muncul tahun 1979 naik dari 3.125 hektar menjadi sekitar 6,9 juta hektar pada 2025. Untuk perkebunan besar negara (PBN), dari luas 65.573 hektar pada 1967 menjadi sekitar 600.131 hektar pada 2025 atau naik 815 persen.
Regulasi lain adalah UU No 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Aturan ini menghapus ketentuan batas minimal 30 persen kawasan hutan dari luas daerah aliran sungai (DAS) dan/atau pulau serta menyederhanakan penetapan kawasan hutan hanya melalui peta dan citra satelit. Pendekatan ini dinilai meninggalkan proses FPIC (free, prior, and informed consent).
”Kan harus ketemu juga dengan yang di bawah. Proses seperti ini bukan menyelesaikan penyelamatan hutan, malah justru menambah pelik,” kata Achmad.
Ia juga mendorong agar pemerintah mempertimbangkan ulang rencana pembukaan lahan kelapa sawit baru seluas 600.000 hektar untuk memenuhi kebutuhan biodiesel B50, terdiri dari 50 persen biodiesel dan 50 persen solar. Menurut rencana, 400.000 hektar berupa perkebunan plasma kelolaan petani rakyat dan 200.000 hektar perkebunan inti akan dikelola negara atau swasta.
Di sisi lain, ia mengapresiasi adanya perhutanan sosial karena melibatkan masyarakat dan memberi mereka akses ke hutan. Ini bisa menjadi titik temu antara pemanfaatan ekonomi oleh masyarakat dan fungsi menjaga hutan. ”Yang penting masyarakat diajak bareng melindungi hutan. Apalagi, pemerintah sekarang juga berkomitmen tambahan 1,4 juta hektar hutan untuk masyarakat adat tetapi jangan sampai hanya angka saja,” kata Achmad.
Hingga Jumat (12/12/2025) pagi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, banjir dan longsor di Sumatera merenggut 990 korban jiwa dan 5.400 orang luka. Sebanyak 222 orang masih hilang dan 157.800 rumah warga rusak.
Senada, aturan yang melonggarkan kontrol ekologis, menurut Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara Arida Susilowati, setidaknya sudah ada sejak 20 tahun lalu. Ketika itu, terbit Perppu No 1/2004 tentang Perubahan Atas UU No 41/1999 tentang Kehutanan, yang membuka peluang legalisasi pertambangan di hutan lindung.
Kebijakan ini kemudian diperkuat oleh hadirnya UUU Cipta Kerja yang banyak merevisi undang-undang kehutanan serta aturan mengenai izin usaha dan investasi. Menurut dia, terdapat pasal yang memungkinkan legalisasi kebun sawit atau usaha lain di kawasan hutan yang sebelumnya dianggap ilegal, hanya dengan memenuhi syarat administratif. Celah ini menimbulkan kebingungan dan dapat dimanfaatkan berbagai pihak.
”Ada pasal yang memberi peluang legalisasi kebun sawit atau usaha lain di kawasan hutan yang sebelumnya dianggap ilegal, hanya dengan memenuhi syarat administrasi. Ini membingungkan,” katanya.
Di Sumatera, perkebunan sawit menjadi kontributor utama alih fungsi hutan setidaknya 35 tahun terakhir. Berdasarkan citra satelit Mapbiomas Indonesia, luas kebun sawit di wilayah terdampak banjir dan tanah longsor (Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat) bertambah 2,6 juta hektar selama 1990-2024 atau setara 300 kali luas lapangan sepak bola per hari.
Arida juga menyoroti Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Aturan ini membuka peluang pelepasan kawasan lindung atau konservasi untuk penggunaan lain apabila dikaitkan dengan proyek strategis atau konsesi.
Ia mencontohkan kasus di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, untuk proyek food estate. Kawasan lindung dialihfungsikan tanpa pengawasan memadai sehingga hasilnya melenceng dari tujuan dan hutan justru hilang.
”Kawasan lindung dialihfungsikan tetapi tanpa monitoring yang baik, hasilnya tidak sesuai harapan dan hutannya hilang. Moratorium kawasan hutan juga izinnya tidak konsisten. Di atas kertas berbeda dengan di lapangan,” tambahnya.
Kebijakan sertifikasi kayu dan sawit untuk memenuhi permintaan pasar global dinilai juga memiliki celah. Sertifikat dapat terbit meski kondisi lapangan tidak sepenuhnya memenuhi standar. Menurut Arida, berbagai faktor ini menjadi pemicu deforestasi, dengan UU Cipta Kerja sebagai pendorong terbesar.
”Yang terbesar adalah UU Cipta Kerja. Namun, pemicunya sudah ada sejak 2004 ketika hutan lindung boleh digunakan untuk tambang,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa ketika kebijakan dilonggarkan, hutan lindung dengan keanekaragaman hayati tinggi ikut terbuka. Lapisan tanah digali dalam seperti sistem pit.
Di Sumatera, sebagian besar hutan berdiri di atas gambut yang memiliki kemampuan besar menyerap air. Ketika lapisan gambut dibuang, tidak ada lagi yang menahan air sehingga risiko banjir meningkat seperti yang terlihat sekarang.
”Area hulu yang seharusnya berperan penting dalam mitigasi banjir pun banyak berubah menjadi perumahan elite, resor, dan berbagai bentuk pemanfaatan lain,” tambahnya.
Direktur Eksekutif Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan Muhammad Ichwan berpendapat, pertumbuhan ekonomi harus tunduk pada batas daya dukung dan tampung ekologis. Untuk model ekonomi ekstraktif yang dominan seperti di Sumatera, sulit bagi aktivitas ekonominya untuk bisa berbarengan dengan kelestarian lingkungan. Sebab, model ekonominya dibangun atas eksploitasi masif yang tidak pernah menginternalisasi biaya ekologis.
”Kita tidak sedang memilih antara ekonomi atau hutan. Kita sedang memilih antara ekonomi yang menghancurkan daya dukung ekologis dan berumur pendek atau ekonomi berkelanjutan yang melindungi generasi mendatang dari bencana berulang. Deregulasi yang melonggarkan perlindungan ekologis di Sumatera telah membuktikan, keuntungan jangka pendek selalu dibayar mahal oleh rakyat dalam bentuk banjir bandang, krisis air, dan kerentanan iklim,” jelasnya.
Merespons banjir dan longsor di Sumatera, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni meminta bantuan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo untuk menelusuri asal-usul kayu gelondongan yang hanyut di lokasi banjir Sumatera. Kayu tersebut diduga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kerusakan infrastruktur dan jatuhnya korban jiwa.
”Kami minta bantuan kepada Kapolri untuk menjaga hutan kita. Kami berharap, concern publik yang sekarang muncul beberapa hari ini pascabanjir, yaitu keingintahuan publik tentang asal-usul dari mana material kayu yang terbawa banjir itu berasal,” tutur Raja (Kompas.id, 5/12/2025).
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan, ada delapan perusahaan yang terindikasi berkontribusi menyebabkan kerusakan di lima DAS di Sumatera Utara. Deputi Bidang Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Rizal Irawan mengatakan, hasil pantauan udara menunjukkan adanya pembukaan lahan masif yang memperbesar tekanan pada DAS. Dari pantauan helikopter terlihat jelas aktivitas pembukaan lahan untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA), hutan tanaman industri, pertambangan, dan kebun sawit (Kompas.id, 9/12/2025).




