Jakarta, IDN Times - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan, Hakim MK, Arsul Sani, tidak terbukti melakukan pemalsuan ijazah.
Dengan demikian, dalam konteks penegakan Sapta Karsa Hutama, Arsul tidak terbukti melakukan perbuatan yang diduga melanggar etik yang dikaitkan dengan pemalsuan dokumen atau dengan sengaja menggunakan dokumen ijazah pendidikan doktoral palsu untuk memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi.
Hal tersebut dimuat dalam pertimbangan hukum dan etika Putusan yang diucapkan pada Kamis (11/12/2025). Ketua MKMK, I Dewa Gede Palguna, didampingi anggota MKMK, yakni Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas Yuliandri memimpin sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (12/12/2025).
Putusan ini didasarkan pada sejumlah temuan MKMK mengenai pemberitaan mengenai diragukannya validitas (keabsahan) ijazah pendidikan atau studi doktoral Arsul Sani sepanjang Oktober hingga Desember 2025.
Palguna mengatakan, terkait hal ini, MKMK telah melakukan rapat klarifikasi pada 20 Oktober 2025 usai adanya temuan yang diregistrasi Sekretariat MKMK pada 7 November 2025. Selanjutnya, MKMK menggelar sidang pendahuluan pada 12 November 2025.
Sekretaris MKMK, Ridwan Mansyur, mengatakan, berdasarkan isi dari kode etik dan pedoman perilaku pada bagian pembukaan Sapta Karsa Hutama, dinyatakan kode etik dan perilaku merupakan pedoman bagi hakim konstitusi dan tolok ukur untuk menilai perilaku hakim konstitusi secara terukur dan terus-menerus. Dalam kasus ini, lingkup kewenangan Majelis Kehormatan berkenaan dengan perbuatan Arsul Sani sebagai hakim terduga dalam penggunaan dokumen yang diduga tidak asli untuk digunakan sebagai salah satu syarat menjadi hakim konstitusi.
Majelis Kehormatan disebutkan tidak memiliki kapasitas untuk menilai dan memutus keabsahan dan keaslian dokumen berupa ijazah pendidikan jenjang doktoral yang diperoleh Arsul tersebut. Meski begitu, keabsahan dokumen berupa ijazah pendidikan jenjang doktoral tersebut menjadi bagian yang menentukan dalam menilai perbuatannya apakah melanggar atau tidak. Oleh karena itu, Majelis Kehormatan pun perlu membuat batasan ranah kewenangan dengan perkara dalam penegakan hukum pidana.
“Majelis Kehormatan tidak sedang memeriksa perkara dengan mengukurnya berdasarkan unsur-unsur delik berkenaan dengan pemalsuan dokumen, sebagaimana diatur pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Terlebih, kemudian menjatuhkan sanksi pemidanaan bila pelaku terbukti melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur sebagai delik pidana," kata Hakim Konstitusi, Ridwan Mansyur.
"Namun demikian, Majelis Kehormatan dapat ‘meminjam’ ukuran unsur-unsur delik pemalsuan dokumen dalam hukum pidana untuk menentukan apakah perbuatan hakim terduga dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela yang melanggar kode etik dan pedoman perilaku karena telah dengan sadar menggunakan dokumen yang tidak otentik sebagai pemenuhan syarat untuk menduduki jabatan sebagai hakim konstitusi,” lanjut dia.



