Apa yang Perlu Diwaspadai BI Pascapemangkasan Suku Bunga The Fed?

kompas.id
1 jam lalu
Cover Berita

Apa yang bisa dipelajari dari artikel ini?

  1. Apa yang dilakukan The Fed pekan ini?
  2. Apa implikasi pemangkasan suku bunga The Fed terhadap pasar keuangan global?
  3. Bagaimmana respons pasar keuangan Indonesia?
  4. Langkah apa yang perlu diambil BI pascapemangkasan suku bunga The Fed?
  5. Apa saja yang perlu diwaspadai BI?
Apa yang dilakukan The Fed pekan ini?

Bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed), memangkas suku bunga acuan di AS sebesar seperempat poin persentase menjadi 3,5-3,75 persen. Pemangkasan suku bunga acuan tersebut adalah yang ketiga kali dilakukan The Fed pada 2025. Tingkat suku bunga saat ini terendah dalam tiga tahun terakhir.

Keputusan diambil melalui pemungutan suara atau voting oleh Federal Open Market Committee (FOMC) dalam rapat di Washington DC, AS, 10 Desember 2025. Sembilan dari 12 anggota FOMC mendukung pemangkasan seperempat poin persentase suku bunga acuan. Seorang anggota menentang keputusan karena berpendapat tingkat pemangkasan yang lebih tepat adalah 1/2 poin persentase. Sementara itu, dua anggota lain lebih memilih mempertahankan suku bunga acuan di tingkat sebelumnya.

Ini memang bukan keputusan yang mudah karena ada dua variabel yang tarik-menarik, yakni inflasi dan melemahnya pasar kerja. Secara normatif, risiko kenaikan inflasi biasanya memberi tekanan kepada bank sentral untuk menaikkan suku bunga acuan atau tetap mempertahankan suku bunga acuan ketika tingkatnya sudah tinggi. Sementara pelemahan pasar tenaga kerja biasanya mendorong bank sentral untuk menurunkan suku bunga acuan.

Baca JugaFed Rate Turun, ”Hot Money” Bergentayangan Sampai Akhir Tahun
Apa implikasi pemangkasan suku bunga The Fed terhadap pasar keuangan global?

Penurunan suku bunga acuan di AS membuat biaya pinjaman bank turun dan imbal hasil surat utang pemerintah jangka pendek AS turun. Dampaknya, investor mencari alternatif aset dengan imbal hasil lebih tinggi sehingga terjadi arus modal keluar dari aset safe haven (obligasi jangka pendek Pemerintah AS, dollar AS) ke aset berisiko.

Aset berisiko adalah instrumen investasi yang nilainya bisa naik turun cukup tajam. Contohnya adalah saham, obligasi korporasi berimbal hasil tinggi, mata uang pasar berkembang, dan komoditas tertentu.

Implikasinya, saham berpotensi naik, terutama sektor yang sensitif terhadap suku bunga. Obligasi yang menawarkan imbal hasil tinggi akan menarik investor. Aset-aset keuangan di negara berkembang, termasuk Indonesia, dapat mengalami arus modal masuk.

Bagaimmana respons pasar keuangan Indonesia?

Mengutip data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah pada penutupan perdagangan Kamis (11/12/2025) ditutup di level Rp 16.668 per dollar AS. Angka ini menguat tipis dibandingkan penutupan hari sebelumnya yang sebesar Rp 16.688 per dollar AS.

Dengan selisih suku bunga antara The Fed dan BI, aset rupiah pun semakin kompetitif di mata investor global. Alhasil, nilai tukar rupiah berpotensi bergerak lebih stabil sepanjang risiko politik dalam negeri tidak meningkat tajam.

Meski secara pemangkasan suku bunga oleh The Fed akan membuat investor asing yang bercokol di pasar keuangan AS beralih ke aset di pasar keuangan di negara berkembang, sampai Kamis kemarin kebijakan ini belum berimbas langsung secara positif di Indonesia. Hal ini terlihat dari penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 0,31 persen dari level pembukaan 8.764 pada penutupan perdagangan sesi satu Kamis ini.

Arus masuk investor asing pun fluktuatif. Pada perdagangan Rabu (10/12/2025), investor asing mencatatkan penjualan bersih (net sell) senilai Rp 43 miliar setelah beberapa hari di pekan ini lebih banyak melakukan pembelian saham (net buy).

Sejumlah analis saham berpendapat, investor asing kemungkinan masih akan menunggu efek dari pemangkasan suku bunga The Fed pada pekan depan sembari menunggu pengumuman suku bunga Bank Indonesia (BI). Ia memprediksi BI akan kembali menurunkan suku bunga acuan pekan depan.

Meski demikian, pasar saham domestik diperkirakan masih berpotensi melanjutkan pertumbuhan positif, salah satunya ditopang efek aksi pembelian saham oleh sejumlah emiten.

Baca JugaFed Rate Turun, Investor Asing Masih Hati-hati Masuk Pasar Saham Indonesia
Langkah apa yang perlu diambil BI pascapemangkasan suku bunga The Fed?

Pemangkasan suku bunga acuan oleh The Fed telah membuka ruang pelonggaran kebijakan moneter di Indonesia. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas Syafruddin Karimi berpendapat, ruang penurunan suku bunga oleh BI sampai akhir tahun dan tahun depan sebenarnya cukup sempit dan bersyarat.

Namun, dengan terjaganya inflasi dalam rentang 1,5-3,5 persen dan posisi suku bunga acuan di level 4,75 persen atau terpaut 100-125 bps dengan suku bunga The Fed, peluang pelonggaran masih terbuka. Alih-alih memangkas secara agresif, pelonggaran kebijakan dilakukan terbatas dalam rentang 25-50 bps.

BI perlu menjaga selisih yang sehat dengan FFR (suku bunga The Fed), agar imbal hasil aset rupiah tetap menarik.

Selain itu, BI diharapkan tetap mengelola volatilitas dengan kombinasi instrumen, seperti intervensi valuta asing secara terukur, penerbitan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), serta kebijakan makroprudensial yang mendorong penyaluran kredit.

Baca JugaRuang Pelonggaran BI Terbuka, tapi Spread Suku Bunga Jadi Penentu
Apa yang perlu diwaspadai BI?

Ekonom dan Guru Besar Universitas Airlangga Rahma Gafmi berpendapat, tingkat suku bunga BI sebesar 4,75 persen masih cukup kompetitif dibandingkan dengan suku bunga The Fed sebesar 3,5-3,75 persen.  

Meski The Fed telah memangkas suku bunga acuannya, langkah tersebut masih terbilang moderat. Bahkan, pemangkasan tersebut juga dapat memperlebar gelembung (bubble) akal imitasi (AI), ketidakpastian geopolitik, dan volatilitas harga komoditas.

Di sisi lain, jika ketidakpastian global memburuk, bukan tidak mungkin suku bunga AS akan berbalik meningkat 0,5 persen. Ini mempertimbangkan dampak risiko dari kebijakan proteksionisme dan penerapan tarif resiprokal AS yang berdampak terhadap inflasi.

BI perlu mewaspadai posisi cadangan devisa yang sebagian besarnya, yakni 65 persen, merupakan hasil dari utang. Artinya, posisi cadangan devisa tersebut rentan pada perubahan suku bunga global dan volatilitas nilai tukar.

Dari sisi internal, BI sebaiknya juga tetap mewaspadai inflasi harga pangan bergejolak dan harga diatur pemerintah seiring dengan cuaca yang buruk dan bencana yang melanda daerah lumbung pangan. Kondisi tersebut berisiko mendorong inflasi, di samping harga tarif listrik yang cenderung meningkat.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Gunung Anak Krakatau Status Waspada, Kepala Pos Pantau: Krakatau Masih Tenang
• 21 jam lalukumparan.com
thumb
Sinopsis Drama China Those Days, Kisah Cinta dan Ketangguhan Empat Perempuan
• 8 jam lalugrid.id
thumb
Begini Kronologi Lengkap Polisi Terkait Insiden Mobil MBG Tabrak Puluhan Siswa SD Kalibaru 01
• 22 jam lalutvonenews.com
thumb
Proyek Promise II Impact intervensi UMKM yang jadi bagian rantai nilai
• 15 jam laluantaranews.com
thumb
Stop Deforestasi, Pandawara Group Ajak Warga Indonesia Bersatu Membeli Hutan
• 4 jam lalugrid.id
Berhasil disimpan.