Warisan Strategis Utsmaniyah yang Membentuk Kompetisi Global Hari Ini

kumparan.com
3 jam lalu
Cover Berita

Sulit memahami perebutan pengaruh di Timur Tengah hari ini tanpa menengok ke masa ketika satu kekaisaran memegang kendali atas jalur perdagangan, kota-kota suci, dan wilayah strategis dari Anatolia hingga Jazirah Arab.

Kejatuhan Kekhalifahan Utsmaniyah pada awal abad ke-20 sebenarnya bukan sekadar berakhirnya sebuah imperium, melainkan sebagai penanda lahirnya ruang kosong yang kemudian menjadi medan perebutan dominasi global, regional, dan ideologis yang terus berlangsung hingga sekarang.

Utsmaniyah runtuh, tetapi ruang politik yang ditinggalkannya tidak pernah solid. Ketika Istanbul kehilangan kekuasaannya, Timur Tengah kehilangan pusat penimbang yang selama berabad-abad menjaga keseimbangan antarkelompok etnis dan agama. Kekosongan itu menjadi titik masuk bagi kekuatan asing yang melihat peluang memetakan ulang kawasan sesuai kepentingannya masing-masing.

Perubahan itu berlangsung cepat dan meninggalkan jejak panjang yang terus memengaruhi konflik, diplomasi, dan aliansi hingga hari ini.

Warisan Batas Wilayah yang Tidak Mengenal Kompas Budaya

Ketika Utsmaniyah bubar, Inggris dan Prancis melangkah dengan membawa rancangan geopolitik yang mereka susun dari jauh. Perjanjian Sykes Picot pada 1916 menjadi penanda awal bagaimana wilayah-wilayah yang dulu dikelola dengan sistem administrasi Utsmaniyah dibelah menjadi negara-negara baru. Tidak ada pertimbangan adat, bahasa, agama, atau identitas. Garis batas ditarik dengan logika pemenang perang, bukan dengan logika masyarakat yang tinggal di sana.

Banyak negara di Timur Tengah lahir dalam keadaan rapuh. Mereka terikat oleh garis-garis yang tidak pernah mencerminkan realitas sosial lokal. Situasi itu memicu rivalitas identitas, penentangan terhadap elite politik, dan krisis legitimasi yang berulang.

Kita bisa melihat contohnya pada Irak. Utsmaniyah sebelumnya menyatukan Baghdad, Mosul, dan Basra melalui administrasi yang relatif fleksibel. Namun setelah kekaisaran itu runtuh, identitas politik dipaksa mengikuti pola baru yang bertabrakan dengan memori historis masyarakatnya.

Warisan itu akhirnya meledak setelah 2003 ketika Irak memasuki periode kekosongan kekuasaan. Ketegangan yang mengemuka tidak lahir dari ruang hampa. Ia adalah hasil dari konstruksi negara yang dibangun tanpa fondasi sejarah yang memadai.

Perebutan Ruang yang Ditinggalkan Kekhalifahan

Setelah kekhalifahan hilang, muncul pertanyaan besar tentang siapa yang berhak mengeklaim warisan simbolik dan strategisnya. Pertanyaan itu membentuk dinamika politik regional selama satu abad terakhir.

Turki memandang dirinya sebagai pewaris historis Utsmaniyah. Dalam dua dekade terakhir, Ankara berusaha mengembalikan pengaruhnya melalui keterlibatan militer, diplomasi agresif, dan pembangunan jejaring ekonomi di wilayah yang dulunya berada dalam jangkauan Istanbul. Politik luar negeri Turki hari ini tidak bisa dilepaskan dari imaji masa lalu itu.

Arab Saudi mengambil jalur berbeda. Ia menjadikan legitimasi keagamaan dan kekayaan minyak sebagai modal utama untuk mengisi ruang otoritas yang hilang sejak 1924. Riyadh melihat dirinya sebagai penjaga stabilitas kawasan sekaligus pemimpin dunia Muslim, terutama setelah pusat kekhalifahan tidak lagi ada.

Iran ikut masuk ke ruang yang sama. Dengan membangun jaringan milisi dan aliansi ideologis, Teheran memperluas pengaruhnya hingga ke Suriah, Irak, Lebanon, dan Yaman. Semua dilakukan sebagai bagian dari upaya untuk merebut posisi strategis yang dulu dimiliki Utsmaniyah sebagai kekuatan penentu di kawasan.

Persaingan tiga negara ini sering dipahami sebagai konflik kontemporer. Padahal, akarnya berasal dari ruang politik yang pernah dikuasai kekhalifahan, tetapi tidak punya pewaris tunggal setelah ia runtuh.

Warisan Strategis yang Membentuk Kompetisi Global

Banyak dari konflik saat ini terjadi di tempat yang pernah menjadi simpul administratif kekhalifahan karena wilayah tersebut memang sejak awal bersifat strategis. Tidak mengherankan jika Amerika Serikat, Rusia, dan China sama-sama menjadikan kawasan Timur Tengah sebagai arena kompetisi pengaruh baru. Mereka tidak sekadar memburu minyak atau akses energi, tetapi juga ingin menguasai titik-titik strategis yang diwariskan Utsmaniyah.

Hingga kini, dampak runtuhnya Utsmaniyah masih terasa dalam setiap diskusi tentang Timur Tengah. Konflik Suriah, ketegangan di Teluk, perebutan pengaruh di Irak, hingga kebangkitan kembali ambisi geopolitik Turki semuanya berakar pada struktur yang runtuh tanpa transisi yang cukup.

Kejatuhan kekhalifahan memang menutup satu bab sejarah panjang. Namun, runtuhnya bukan penutup cerita. Ia justru membuka babak baru yang jauh lebih kompleks karena meninggalkan ruang kosong yang tidak diisi oleh satu kekuatan tunggal, melainkan oleh banyak aktor dengan kepentingan berbeda.

Warisan strategis itu menjadikan Timur Tengah bukan sekadar wilayah krisis, melainkan panggung besar tempat kekuatan global bersaing secara terbuka dan sering kali tanpa kompromi. Selama warisan itu masih menjadi bagian dari struktur kawasan, perebutan pengaruh tidak akan berakhir dalam waktu dekat.

Kekhalifahan mungkin telah lama hilang, tetapi jejaknya tetap menjadi fondasi dari dinamika geopolitik modern yang membentuk arah politik dunia hari ini.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Cara Membuat Seorang Introvert Jatuh Cinta dan Meluluhkan Hatinya
• 2 jam lalubeautynesia.id
thumb
Ngeri! China Disebut Mampu Tenggelamkan Kapal Induk AS
• 5 jam laluidntimes.com
thumb
PLN Kejar Pemulihan Listrik Aceh Pasca Banjir
• 3 jam lalutvrinews.com
thumb
Produksi Minyak Pertamina EP Zona 4 Mencapai 4.009 barel per hari
• 5 jam lalukatadata.co.id
thumb
Prabowo Teleponan dengan Pangeran MBS, Bahas Kampung Haji hingga Bencana Sumatera
• 13 jam laluokezone.com
Berhasil disimpan.