Capybara Effect dan Pendidikan Kita: Ingin Tenang, tapi Sistem Terlalu Ribut

kumparan.com
4 jam lalu
Cover Berita

Siapa yang tidak kenal dengan hewan yang bernama capybara, seekor hewan lucu yang sedang hangat diperbincangkan di media sosial. Capybara dikenal tenang meski tubuhnya besar dan lingkungannya sering bising. Hewan itu tidak bereaksi berlebihan, tidak terburu-buru, dan tidak ikut hiruk-pikuk hewan lain. Diam saja, tetapi bukan pasrah—lebih seperti tahu mana yang penting dan mana yang bisa dibiarkan lewat.

Ketika melihat kondisi pendidikan hari ini, saya tiba-tiba teringat hewan itu. Bukan untuk dibandingkan secara lucu-lucuan, melainkan sebagai pengingat bahwa ketenangan dalam sistem pendidikan kita semakin sulit ditemukan.

Guru berhadapan dengan tugas yang berlapis, jadwal yang padat, dan tuntutan yang terus bertambah, sementara siswa bergerak cepat setiap hari tanpa ruang jeda yang memadai. Semua berjalan, tapi jarang ada yang benar-benar punya waktu untuk berhenti dan merasakan apa yang sedang terjadi.

Penelitian internasional mengenai profesi guru beberapa tahun terakhir menunjukkan dampak tekanan kerja yang meningkat. Collie (2025) mengulas bagaimana guru di berbagai negara mengalami kelelahan emosional, terutama karena ekspektasi administratif dan perubahan kebijakan yang datang beruntun.

Kajian BMC Psychology (2024) juga menegaskan hubungan antara kondisi emosional pendidik dan kualitas interaksi di kelas. Temuannya sederhana: guru yang stabil secara mental memberi pembelajaran yang lebih berpusat pada siswa.

Di Indonesia, gambaran itu tidak jauh berbeda. Riset pendidikan yang terbit pada jurnal nasional menunjukkan adanya beban berlebih yang tidak sejalan dengan kapasitas tenaga pendidik, terutama di sekolah-sekolah yang masih kekurangan staf.

Banyak guru harus memikul peran tambahan, meski pelatihan mereka tidak diarahkan ke sana. Tekanan ini sering membentuk pola kerja yang tidak sehat: mengajar sambil memikul tugas-tugas lain yang mengalihkan fokus utama sebagai seorang pendidik.

Melihat situasi itu, saya memposisikan diri pada satu titik: sistem perlu diringankan. Tidak perlu tagline yang penuh makna, tidak perlu juga jargon perubahan. Cukup dengan mengurangi beban yang tidak berkaitan langsung dengan pengajaran. Ketika guru bisa bekerja tanpa harus berjalan sambil menyimpan banyak hal di kepala, kualitas interaksi dengan siswa meningkat secara alami dan memberikan dampak nyata.

Siswa pun memerlukan ruang yang lebih berpusat pada keseimbangan dalam pembelajaran. Pelajar bergerak dari satu kegiatan ke kegiatan lain dalam ritme yang hampir tidak memberi kesempatan untuk bernapas. Ini bukan soal malas atau kurang disiplin. Tubuh dan pikiran memang memiliki batas.

Penelitian dalam psikologi perkembangan menunjukkan bahwa performa belajar meningkat ketika jeda diberikan secara proporsional. Namun praktik di lapangan: banyak sekolah masih membayangkan peningkatan kemampuan sebagai hasil dari penumpukan aktivitas, bukan pengelolaan yang seimbang.

Kembali ke capybara, hewan itu hidup berdampingan tanpa hiruk-pikuk kompetisi. Ia tidak memaksa kelompoknya bergerak di luar kemampuan. Ada semacam kebijaksanaan sederhana di sana: menjaga ritme agar kelompok tetap utuh.

Bila diterapkan di sekolah, prinsip ini bukan hal abstrak. Ia dapat muncul dalam bentuk penataan ulang jadwal, pengurangan struktur kerja yang berlapis, atau pemberian otonomi kepada guru untuk mengatur proses belajar.

Saya memahami bahwa pendidikan membutuhkan standar dan arah. Namun, standar sering disalahartikan sebagai pengetatan. Padahal, riset menunjukkan hal sebaliknya: kualitas meningkat ketika pendidik diberi ruang untuk menggunakan penilaian profesionalnya. Banyak negara yang berhasil memperbaiki mutu pendidikan justru karena memberi kepercayaan pada guru, bukan karena menumpuk pengawasan.

Dan yang perlu diperhatikan adalah hubungan antarmanusia di lingkungan sekolah. Hubungan yang sehat tidak hanya dibangun melalui aturan, tetapi juga ritme kerja yang masuk akal. Ketegangan yang muncul dari tuntutan berlebih membuat interaksi menjadi kaku.

Dalam jangka panjang, hal itu mengguncang stabilitas sosial sekolah dan menggerus minat belajar. Temuan penelitian pendidikan Indonesia beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya korelasi kuat antara kondisi kerja guru dan motivasi siswa. Ini bukan isu teknis, melainkan sebuah masalah struktur.

Tulisan ini bukan ajakan untuk bersantai seperti capybara. Pendidikan tetap memerlukan upaya dan ketekunan. Namun, upaya itu hanya efektif bila dilakukan dalam kondisi yang tidak menekan. Ketenangan bukan lawan dari kerja keras; ia fondasinya. Tanpa ketenangan, kerja keras berubah menjadi kelelahan tanpa hasil yang berarti.

Sekolah tidak membutuhkan keajaiban. Yang diperlukan hanya keberanian untuk menata ulang hal-hal yang selama ini dianggap “sudah sewajarnya”. Bila pendidik dan pelajar diberi kesempatan bekerja dalam ritme yang wajar, sekolah akan menjadi tempat yang tidak hanya berjalan, tapi hidup. Seperti capybara yang duduk diam tanpa keributan, kita pun bisa menemukan kembali inti dari proses belajar: tumbuh tanpa terburu-buru.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Cara Agar Tidak Dimasukkan ke Grup WhatsApp Sembarangan oleh Orang Lain
• 5 jam laluidxchannel.com
thumb
Mocca Rilis Minialbum, Zoetrope Jadi Sejarah Musik Indonesia
• 6 jam lalugenpi.co
thumb
Empat Orang Ditemukan Tewas dalam Mobil di Tol Tegal
• 7 jam laluviva.co.id
thumb
Eks Dirjen-Direktur Kemnaker Jalani Sidang Perdana Kasus Pemerasan Calon TKA
• 11 jam lalukumparan.com
thumb
Meksiko Getok Tarif hingga 50% untuk Produk Indonesia Mulai 2026
• 10 jam lalubisnis.com
Berhasil disimpan.