FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Banjir bandang dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra tidak hanya membawa duka mendalam bagi ribuan korban, tetapi juga memunculkan gelombang kritik terhadap buruknya manajemen komunikasi dan respons pemerintah.
Pengamat politik Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago, menilai bahwa persoalan yang muncul pascabencana ini bukan hanya soal kerusakan alam, melainkan juga kegagalan para pejabat yang berada di lingkaran kekuasaan.
Menurut Pangi, bencana Sumatra seharusnya dapat ditangani lebih cepat apabila informasi lapangan disampaikan apa adanya kepada Presiden Prabowo Subianto.
Namun, ia menduga banyak informasi penting justru terhambat oleh para menteri dan pejabat yang tidak kompeten.
“Bencana Sumatra ini kan bukan bencana alam, tapi bencana pejabat,” ujarnya dalam podcast MADILOG yang tayang di Youtube dikutip pada Jumat 12 Desember 2025.
Ia menegaskan kesalahan terbesar justru lahir dari buruknya koordinasi serta lemahnya kepekaan para pembantu presiden.
Pengamat politik Voxpol Center, Pangi Syarwi ChaniagoIa menyebut bahwa komunikasi yang salah kaprah berulang kali dilakukan oleh para menteri, sehingga menciptakan jarak informasi antara Presiden dan situasi nyata di lapangan.
Sejumlah tindakan pejabat yang dinilai tidak pantas turut memperburuk citra pemerintah, mulai dari penyampaian data yang keliru, pernyataan publik yang dianggap tidak empatik, hingga aksi yang tidak relevan dengan kebutuhan korban. Pangi mengecam keras perilaku tersebut.
“Netizen otaknya di atas rata-rata, pejabat kita di bawah rata-rata,” sindirnya.
Menurutnya, kesalahan komunikasi dan tindakan para pejabat itu bukan sekadar kekeliruan teknis, tetapi telah menciptakan kerusakan reputasi yang berat bagi Presiden Prabowo.
Ia menilai bahwa para menteri yang berasal dari rezim sebelumnya justru menjadi beban besar.
“Lama-lama ini akan menggerus elektabilitas Prabowo, citra Prabowo,” tegasnya.
Pangi juga menggambarkan bagaimana terhambatnya informasi yang membuat Presiden tampak terlambat memahami skala bencana.
Ia menilai Prabowo seharusnya dibawa melihat langsung ke titik-titik paling terdampak sejak awal. “Ketika Presiden terisolasi, ada inner circle yang bermasalah di situ,” jelasnya.
Kondisi itu, menurutnya, membuat keputusan lapangan menjadi lambat, sementara masyarakat bergulat dengan keterisolasian, kelaparan, hingga proses pencarian korban yang sangat minim dukungan.
Dalam kritiknya, Pangi menyinggung sejumlah sikap pejabat yang menciptakan kekecewaan publik. Mulai dari pejabat yang menyebut situasi tidak mencekam, meminta izin donasi, mengirim alat olahraga ke lokasi bencana, hingga pernyataan yang dianggap menyakiti korban.
“Anda sudah menyakitkan hati rakyat,” katanya, menegaskan luka yang ditimbulkan oleh komentar pejabat tersebut.
Ia juga menyoroti betapa absennya empati pejabat era Jokowi yang kini masih duduk di kabinet Merah Putih.
“Pejabat era Jokowi ini sudah nggak nir empati,” ujar Pangi. Ia bahkan menilai bahwa sebagian pejabat bertindak hanya untuk pencitraan di tengah penderitaan warga, dan tindakan seperti itu tidak dapat dimaafkan oleh publik.
Dampaknya, kata Pangi, adalah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Ia menegaskan bahwa kepercayaan publik atau trust merupakan elemen yang paling mahal dalam sebuah negara.
“Kepercayaan publik itu nggak mudah. Satu kali hilang, sulit dipulihkan,” tuturnya.
Ia mencontohkan bagaimana masyarakat lebih percaya pada inisiatif warga sipil dan influencer yang berhasil mengumpulkan dana miliaran rupiah dalam satu hari, ketimbang mempercayai donasi yang disalurkan pejabat.
Pangi menyimpulkan bahwa untuk memulihkan citra dan kepercayaan publik, Prabowo harus mengambil langkah tegas terhadap pejabat yang melakukan blunder, terutama para menteri yang dianggap bagian dari “geng Solo”.
Baginya, empati seorang pemimpin baru benar-benar tampak apabila ia berani menindak tegas pembantunya. “Empati Prabowo itu nggak ada, kecuali dia berhentikan semua menteri yang terkait,” tegasnya.
Pangi menekankan bahwa bencana Sumatra bukan hanya soal kerusakan alam atau lambannya respons, tetapi tentang bagaimana komunikasi yang salah, keputusan yang keliru, dan ketidakpekaan pejabat dapat berubah menjadi “bencana kedua” yang merugikan pemerintah dan melukai rakyat. (*)





