FAJAR, PADANG– Penanganan dan penanggulangan bencana alam terus dilakukan secara bertahap di Sumatera dan Aceh. Selain distribusi logistik, pemulihan infrastruktur juga dilakukan.
Di tengah penanganan tersebut, warga dari beberapa kabupaten dan kota di Sumatera Barat mengajukan notifikasi gugatan warga negara atau citizen lawsuit kepada 12 pejabat negara.
Ditujukan kepada Presiden RI, Menteri Kehutanan, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Menteri Dalam Negeri, Kepala BNPB, Kapolri c.q. Kapolda Sumatera Barat, Gubernur Sumatera Barat, Wali Kota Padang, Bupati Agam, Bupati Tanah Datar, dan Bupati Solok.
Mereka dinilai telah lalai, membiarkan, melakukan kesalahan perizinan, salah mengurus tata ruang, serta gagal melakukan pengawasan dan penegakan hukum yang secara kausal menyebabkan skala bencana membesar.
Gugatan itu diajukan oleh Tim Advokasi Keadilan Ekologis sebagai kuasa hukum masyarakat korban bencana di Padang, Agam, Tanah Datar, dan Solok. Gugatan ini dikirimkan kepada seluruh instansi terkait melalui pos dan pengantaran langsung oleh Tim Lawyer Advokasi Keadilan Ekologis, pada Rabu, 10 Desember 2025.
Jika dalam 60 hari kerja tidak ada tindakan nyata terhadap tuntutan warga, gugatan akan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Padang. Lewat gugatan ini warga meminta negara melakukan evaluasi kinerja perizinan, menghentikan praktik yang melanggar tata ruang, serta melaksanakan pemulihan yang layak dan berkeadilan.
Menurut para penggugat, ada dugaan kelalaian negara dalam mencegah dan menangani bencana ekologis yang terjadi sejak akhir November lalu.
Mereka menilai, bencana alam yang sudah merenggut 990 nyawa di Sumatera, termasuk 241 korban meninggal dunia di Sumbar, bukan bencana yang terjadi akibat faktor cuaca atau alam semata.
Perwakilan Tim Advokasi Keadilan Ekologis, Adrizal menuturkan, bencana yang menimpa tiga provinsi di Sumatera termasuk di Sumatera Barat tidak bisa kita anggap sebagai bencana tahunan karena faktor alam semata.
Akan tetapi, kata dia, sebuah bencana yang terencana akibat eksploitasi terhadap kawasan hutan yang secara brutal dan tanpa adanya sebuah evaluasi dan pengawasan.
Dia juga menyampaikan, laporan Dinas Kehutanan Provinsi Sumbar setiap tahun menunjukkan lonjakan angka deforestasi di Sumbar.
“Kondisi itu tidak bisa dibiarkan secara terus-menerus tanpa evaluasi secara menyeluruh. Sebab, bila terus dibiarkan, maka akan lebih banyak lagi rakyat yang akan menjadi korban,” tegasnya.
Kejahatan yang tersistematis dalam bencana ekologis ini juga bisa kita lihat di saat pemerintah memberikan izin-izin kepada pemilik modal secara ugal-ugalan, tidak ada konsekuensi yang dihadirkan jika ditemukan pelanggaran,” lanjut Adrizal.
Olehnya, lanjutnya, akibat adanya pengabaian itu ratusan jiwa meninggal dunia, ratusan fasilitas umum terdampak, ribuan masyarakat luka-luka dan ratusan rumah hancur.
“Berbagai peristiwa menggambarkan bagaimana lemahnya penegakan hukum terhadap penjahat lingkungan,” tegasnya.
Dia pun menyebut beberapa kasus seperti penembakan antar anggota kepolisian yang berkaitan dengan beking tambang ilegal di Solok Selatan, kasus tambang ilegal di Lubuak Matuang, serta aktivitas tambang ilegal di Desa Sungai Abu Solok.
”Lempar tanggung jawab antara daerah dan pusat tidak hanya tidak etis, tetapi memperbesar risiko bagi warga. Keselamatan publik tidak boleh dikalkulasi dengan logika ekonomi semata. Pembangunan harus tunduk pada batas ekologis. Tanpa itu, kita hanya mengulang siklus bencana dan korban setiap tahun,” imbuhnya.
Ia menegaskan, gugatan yang diajukan oleh warga Sumbar dilakukan setelah pengabaian 10 hari seruan publik melalui YLBHI-LBH di Sumatera.
Seruan itu meminta agar pemerintah menetapkan status bencana nasional, namun tidak direspons. Padahal, data BPBD di Sumbar menunjukkan dampak bencana alam yang sangat dahsyat.
Sekadar diketahui, korban tewas akibat bencana di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat bertambah. Kini sudah 990 orang. Yakni; Aceh: 407 orang, Sumut: 343 orang dan Sumbar: 240 orang.
Saat ini, ada sekitar 800 ribu warga yang menjadi pengungsi di tiga provinsi itu. Jumlah pengungsi terbanyak berada di Aceh Timur, yakni 238 ribu orang.
Selain itu, 222 orang masih hilang. Data dari situs BNPB, Jumat 12 Desember 2025, korban luka juga bertambah menjadi 5.400 orang. Ada 52 kabupaten/kota terdampak bencana banjir bandang dan longsor di utara Sumatera.
Bencana juga merusak 1.200 fasilitas umum, 219 fasilitas kesehatan, 581 fasilitas pendidikan, 434 rumah ibadah, 290 gedung kantor, serta 498 jembatan. (*)





