Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Bimo Wijayanto sedang berdiskusi dengan pejabat tinggi Kementerian ESDM hingga Badan Intelijen Negara (BIN) terkait pengamanan nilai tambah dari sektor mineral dan batu bara (minerba).
Bimo mengakui bahwa kendati sektor minerba berkontribusi Rp2.026 triliun terhadap perekonomian Indonesia, atau setara 9,2% terhadap PDB, otoritas belum bisa mengamankan penerimaan negara yang optimal dari sektor tersebut.
Padahal, terangnya, aktivitas ekonomi dari sektor minerba memiliki multiplier effect yang besar mencakup layanan penambangan, logistik, hilirisasi sampai dengan jasa keuangan yang mendukung sektor tersebut. Di sisi lain, perekonomian Indonesia pun diakui sangat bergantung kepada sektor minerba.
Untuk itu, Bimo mengungkap tengah berdiskusi dengan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM serta Deputi Intelijen Ekonomi BIN guna menemukan cara untuk mengamankan nilai tambah dari sektor minerba.
"Dengan Pak Tri Winarno, Dirjen Minerba dan Deputi Ekonomi BIN, kami sedang berdiskusi, ada perintah informal dulu, bagaimana kami bisa men-secure lebih banyak value added di Indonesia," ujarnya pada acara diskusi bertajuk 'Meneropong Tax Gap & Efektivitas Tata Kelola Fiskal Sektor Minerba' yang disiarkan melalui YouTube Pusdiklat Pajak dan dikutip Jumat (12/12/2025).
Salah satu subsektor minerba yang tengah disoroti oleh Bimo adalah nikel. Mineral dengan cadangan terbesar tersimpan di Indonesia itu, terangnya, merupakan komoditas yang paling memiliki multiplier effect besar.
Baca Juga
- Aksi Ditjen Pajak Kejar Setoran, Sandera hingga Pidanakan Wajib Pajak
- Maklumat Darurat Dirjen Pajak, Shortfall Melebar, Wajib Pajak Dikejar!
- Kanwil Pajak Nusa Tenggara Segel Kantor Perusahaan Pengemplang di Mataram
Misalnya, biaya produksi hingga pemurnian (smelting) nikel. Namun, Dirjen Pajak lulusan Taruna Nusantara itu mengakui bahwa upaya mengumpulkan nilai tambah dari nikel masih terkendala birokrasi dan ekonomi biaya tinggi.
Tidak jarang, sebagaimana yang diakui Bimo, di mana harus ada biaya pelicin untuk mempermudah kegiatan ekonomi untuk sektor tersebut.
"Ya kami bukan-bukaan aja. Jadi ekonomi biaya tinggi, perizinan biaya tinggi. Mau ada inisiasi Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, ternyata harus masuk jendela-jendela. Harus ngetuk jendelanya, buka dong, harus ada pelancar-pelancar, pelicin-pelicin di di jendela itu. Mau di kabupaten/kota, provinsi, kementerian," ungkapnya.
Potensi Minerba di IndonesiaPada kesempatan yang sama, Direktur Penerimaan Minerba Kementerian ESDM Totoh Abdul Fatah menyampaikan bahwa potensi minerba di Indonesia cukup besar. Mulai dari batu bara, bauksit, nikel, tembaga, emas dan perak.
Dalam hal ini, Indonesia merupakan pemilik cadangan nikel terbesar dunia yakni sebanyak 5,9 miliar ton dengan umur cadangan bijih 31 tahun. Adapun untuk batu bara, kendati duduk di posisi ketujuh untuk pemilik cadangan terbesar dunia, Indonesia mempunyai total cadangan 31,95 miliar ton dengan umur cadangan 46 tahun.
Dari data ESDM juga, ada 4.252 badan usaha yang memiliki perizinan pertambangan sampai dengan November 2025. Terbesar adalah pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yakni 4.015 izin. Pemegang IUP di Indonesia itu meliputi 1.777 pemegang izin untuk mineral logam dan batu bara, sedangkan mineral nonlogam dan batuan lebih banyak yakni 2.238.
Untuk nikel, produksinya sampai dengan 14 November 2025 mencapai 78.360 ton untuk nikel matte, 481.540 ton untuk feronikel dan 250,5 juta ton untuk bijih nikel. ESDM mencatat produksi bijih nikel sampai dengan 14 November 2025 itu sudah melampaui target produksi tahun ini yaitu 190,07 juta ton.
Sementara itu, realisasi produksi batu bara sampai dengan Oktober 2025 mencapai 661,18 juta ton. Porsi terbesar produksi emas hitam itu dialokasikan untuk ekspor yakni 421,92 juta ton (senilai US$24,43 miliar), sedangkan untuk domestik 180,98 juta ton.
"Diprediksi 2025 masih terus meningkat," ujar Toto pada forum yang sama.
Pejabat eselon II Kementerian ESDM itu menyampaikan bahwa porsi terbesar domestic market obligation (DMO) batu bara adalah untuk menunjang pasokan listrik. Sebesar 70% dari total DMO batu bara adalah untuk ketenagalistrikan, sedangkan sisanya untuk smelter dan lain-lain.
Namun demikian, Toto memaparkan bahwa industri batu bara juga tengah menghadapi harga batu bara acuan (HBA) yang kini tengah dalam tren menurun. Sampai dengan Oktober 2025, rata-rata HBA 2025 yakni US$111,24 per ton atau yang terendah sejak 2021.
Pada 2021, atau periode pandemi, harga batu bara masih mencapai US$121,47 per ton, dan menyentuh level tertinggi US$266,30 per ton pada 2022. Tak ayal, APBN pun ikut menikmati penerimaan dari windfall harga batu bara itu.
"Kontribusi minerba cukup besar yaitu pada 2022 mencapai Rp183,5 triliun [PNBP]. Pada 2022 harga komoditas batu bara sedang naik-naiknya bisa mencapai US$300 per ton," ujarnya.
Setoran PNBP dari batu bara pun mendominasi sektor minerba yakni 69%. Kemudian, terang Toto, diikuti oleh nikel, emas dan tembaga. Pada 2025, secara keseluruhan PNBP minerba ditargetkan masuk ke APBN senilai Rp124,71 triliun.
Realisasi sampai dengan 14 November 2025 sudah mencapai Rp108 triliun. "Per akhir November kami sudah mencapai Rp120 triliun, artinya 95% [tinggal] Rp4 triliun, kami mencapai 100% untuk 2025," pungkasnya.





