- Petani korban penembakan di Bengkulu Selatan tuding adanya kriminalisasi oleh aparat.
- Koalisi masyarakat sipil laporkan dugaan pelanggaran prosedur ini ke Kompolnas dan Komnas HAM.
- Mereka desak pencabutan HGU PT ABS sebagai akar konflik dan laporkan perusahaan ke KPK.
Suara.com - Pascainsiden penembakan lima petani di Pino Raya, Bengkulu Selatan, oleh pihak keamanan PT Agro Bengkulu Selatan (PT ABS) pada 24 November 2025, para korban dan koalisi masyarakat sipil kini membawa kasus ini ke tingkat nasional. Mereka menuding adanya upaya kriminalisasi dan proses hukum yang tidak profesional oleh Polres Bengkulu Selatan.
Kuasa hukum korban, Ricki Pratama Putra dari Akar Law Office, mengungkapkan sejumlah kejanggalan dalam penanganan kasus. Laporan yang diajukan dengan pasal dugaan penganiayaan berat dan percobaan pembunuhan dipreteli oleh penyidik, hanya menyisakan pasal penganiayaan.
"Laporan penyalahgunaan senjata api dijadikan laporan model A (laporan oleh polisi), sehingga korban kehilangan hak untuk mengikuti perkembangannya," jelas Ricki dalam keterangan persnya, Jumat (12/12/2025).
Ia juga menyoroti adanya dugaan pelanggaran prosedur dan kode etik selama pemeriksaan saksi, termasuk adanya oknum yang meminum minuman keras (tuak) dan menyetel musik dengan suara keras di ruang pemeriksaan.
"Hal ini mengganggu kenyamanan dan keamanan saksi," tambahnya.
Dugaan kriminalisasi semakin kuat setelah Polres Bengkulu Selatan disebut hanya mengambil hasil visum pihak keamanan perusahaan, bukan hasil visum para petani yang menjadi korban penembakan.
Teror, Intimidasi, dan Laporan ke Lembaga Nasional
Perwakilan petani, Edi Hermanto, yang juga menjadi korban penembakan, menyatakan bahwa mereka telah mengalami berbagai bentuk intimidasi, baik dari pihak perusahaan, aparat, hingga pemerintah daerah.
"Kami meminta konflik agraria ini segera diselesaikan, dan penanganan perkara penembakan diusut tuntas demi keadilan," ujar Edi.
Baca Juga: Sebelum Insiden Penembakan 5 Petani Bengkulu, Warga Sering Diintimidasi Buntut Konflik Agraria
"Kami juga meminta perlindungan agar bisa kembali beraktivitas dengan aman."
Menyikapi situasi ini, koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari FMPR, WALHI, KPA, dan KontraS, akhirnya melaporkan kasus ini ke Kompolnas, LPSK, Kementerian HAM, dan Komnas HAM.
Koalisi masyarakat sipil menyampaikan serangkaian tuntutan, di antaranya:
- KontraS mengecam keras peristiwa penembakan dan mendesak Propam Mabes Polri untuk mengambil alih kasus dari Polres Bengkulu Selatan.
- KPA menuntut Menteri ATR untuk membatalkan HGU PT ABS yang dinilai dikeluarkan secara melawan hukum, sebagai akar dari konflik agraria ini.
- WALHI melaporkan PT ABS ke KPK atas dugaan kerugian negara karena beroperasi secara ilegal sejak 2017 hingga 2025 tanpa HGU. Mereka juga mendesak pencabutan HGU PT ABS untuk mencegah bencana ekologis yang lebih luas.
"Operasi PT ABS sejak 2017 sampai 2025 adalah ilegal karena tidak ada HGU," kata Julius Nainggolan dari WALHI Bengkulu.
"Perusahaan juga membangkang terhadap kesepakatan penutupan sementara yang dimediasi pemerintah provinsi," tambahnya.

