Di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara, deru banjir bandang yang membawa kayu gelondongan itu masih menyisakan trauma panjang. Longsor besar yang menutup desa-desa, menelan hampir seribu nyawa serta meninggalkan ratusan orang hilang. Hal itu menunjukkan satu hal, kita tidak sedang menghadapi bencana alam biasa. Ini adalah bencana terencana, hasil dari pembiaran sistematis terhadap penebangan liar, pembukaan lahan brutal, dan korupsi lingkungan yang telah mengakar dari hulu hingga hilir.
Kerusakan sebesar itu bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini adalah pembunuhan ekosistem, suatu tindak pidana berat yang memenuhi kriteria kejahatan luar biasa. Negara lain menyebutnya ecocide, sementara dalam istilah kontemporer kita mengenalnya sebagai ekoterorisme. Serangan terhadap alam yang berdampak pada hilangnya hak hidup manusia.
Dari aspek hukum pidana, perusakan lingkungan yang menyebabkan kematian massal dapat dijerat pidana maksimal. Bahkan, bila merujuk pada prinsip extraordinary crime, perbuatan ini dapat dikategorikan sebagai tindak yang setara dengan terorisme karena menimbulkan ancaman besar bagi keselamatan publik, stabilitas negara, dan keberlanjutan lingkungan. Pelaku bukan hanya menebang hutan, tetapi meruntuhkan masa depan.
Rantai kejahatan ini tidak berdiri sendiri. Ia adalah hasil tata kelola yang keropos, di mana izin-izin dikeluarkan tidak sesuai evaluasi risiko, dan pengawasan digulung oleh praktik suap, gratifikasi, atau persekongkolan antara pejabat publik dengan pelaku industri ekstraktif. Inilah wajah korupsi lingkungan yang menjadi penyulut utama tragedi ekologis.
Dalam konteks hukum humaniter lingkungan, penghancuran hutan yang menyebabkan hilangnya nyawa secara masif dapat masuk sebagai pelanggaran HAM berat. Ada hak hidup yang terampas, hak atas lingkungan sehat yang dihancurkan, hak ekonomi masyarakat lokal yang diporak-porandakan. Semua ini berkelindan menjadi krisis kemanusiaan yang tak bisa dipandang remeh.
Ketika kayu gelondongan meluncur dalam arus banjir, itu sebenarnya bukan “kayu liar”. Itu adalah bukti kejahatan, jejak dari pembabatan hutan yang dilegalkan oleh proses koruptif. Tragedi ini seharusnya membuka mata kita bahwa penegakan hukum tidak cukup hanya memburu operator lapangan, tapi harus menembus kamar-kamar rapat, meja perizinan, hingga lobi-lobi gelap kekuasaan.
Lebih ironis lagi, ketika ekosistem dieksploitasi habis-habisan, mereka yang membelanya justru dikriminalisasi. Aktivis lingkungan mengalami pembungkaman melalui instrumen hukum seperti UU ITE dan pasal-pasal karet yang seharusnya tidak dipakai untuk menyeret pejuang keadilan ekologis. Kasus Daniel Frits di Karimunjawa adalah salah satu potret betapa hukum bisa dipelintir melawan mereka yang seharusnya dilindungi.
Padahal, Pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) telah jelas menyatakan bahwa pembela lingkungan tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata atas perjuangan mereka. Namun, implementasi di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. SLAPP (Strategic Lawsuits Against Public Participation) masih menjadi senjata ampuh untuk membungkam suara kritis. Seperti dialami Dera dan Munif dalam pendampingan petani Jepara yang berkonflik dengan pertambangan galian C.
Kriminalisasi aktivis memperlihatkan bahwa pelaku ekoterorisme tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga merusak tatanan demokrasi. Mereka menggunakan instrumen negara untuk membalikkan narasi, bahwa pembela lingkungan dianggap ancaman, sementara perusak lingkungan mendapat ruang gerak leluasa.
Di sinilah konsep ekoteologi memberi perspektif moral penting. Sejak kisah Adam AS yang terusir dari surga akibat merusak “pohon larangan” sebagai simbol lingkungan, agama telah mengajarkan bahwa merusak alam adalah tindakan yang mendatangkan konsekuensi berat. Segala bentuk eksploitasi yang menimbulkan kehancuran besar adalah tindakan yang melanggar hukum moral semesta.
Dalam dunia modern, nilai-nilai ekoteologi ini semestinya diterjemahkan dalam norma hukum pidana lingkungan. Merusak hutan yang menjadi sumber kehidupan adalah dosa ekologis, yang berdampak pada generasi kini dan mendatang. Ketika kerusakan itu dilakukan secara sistematis demi keuntungan pribadi, ia tidak lagi sekadar dosa ekologis: ia adalah ekoterorisme.
Ekoterorisme bukan hanya ancaman terhadap lingkungan, tetapi ancaman nyata terhadap hak asasi manusia. Hak hidup dilanggar ketika banjir bandang menelan ribuan korban. Hak ekonomi dan sosial budaya dirampas ketika masyarakat kehilangan rumah, mata pencaharian, dan ruang hidup. Hak atas pembangunan berkelanjutan dihancurkan oleh kerakusan jangka pendek.
Momen Hari Antikorupsi dan Hari HAM seharusnya menjadi refleksi nasional, bahwa korupsi lingkungan adalah bentuk pelanggaran HAM berat. Ia bukan hanya menghilangkan uang negara, tetapi juga merenggut nyawa dan masa depan generasi. Tidak ada korupsi yang dampaknya seluas korupsi lingkungan.
Karena itu, instrumen hukum harus diperkuat. Revisi UU Lingkungan Hidup perlu memasukkan pendekatan strict liability bagi tindak ekoterorisme. Penegak hukum harus diberikan mandat untuk menggunakan pasal pembunuhan, terorisme, hingga pencucian uang, agar kejahatan ekologis tidak lagi dipandang sebagai kejahatan ringan.
Selain itu, perlindungan terhadap pembela lingkungan harus dijalankan tanpa kompromi. Negara harus memastikan tidak ada lagi aparat yang menjadi perpanjangan tangan korporasi. Hukuman pidana bagi pelaku SLAPP perlu dipertegas, karena membungkam suara kritis sama bahayanya dengan merusak hutan.
Penegakan hukum yang kuat akan memberikan efek gentar. Korporasi tidak lagi bisa bersembunyi di balik perizinan. Pejabat publik tidak lagi bisa berlindung di balik meja birokrasi. Setiap tindakan yang berpotensi menimbulkan bencana ekologis harus dinilai sebagai ancaman serius terhadap keamanan nasional.
Indonesia tidak kekurangan instrumen hukum. Hal yang masih menjadi kekurangan adalah keberanian untuk menempatkan perusak lingkungan sebagai musuh negara, sebagaimana kita memperlakukan teroris. Karena dampaknya sama, yaitu menciptakan ketakutan, kehancuran, dan kerusakan sistemik.
Tragedi di tiga provinsi itu seharusnya menjadi alarm keras. Bila negara gagal mengadili para pelaku dengan hukuman maksimal, maka ekoterorisme akan terus berulang. Dan setiap pengulangan berarti semakin banyak nyawa melayang. Di tengah ancaman perubahan iklim global, Indonesia harus memilih untuk menjadi bangsa yang menutup mata, atau bangsa yang menegakkan keadilan ekologis tanpa kompromi.




:strip_icc()/kly-media-production/medias/5441135/original/013763200_1765454095-Kepala_BGN_Dadan.jpg)