Oleh: Andi Marlina Masdjidi
(Analis Anggaran Ahli Pertama – Politeknik STIA LAN Makassar)
Tahun 2025 semestinya menjadi titik balik bagi tata kelola keuangan publik di Indonesia, tahun ketika pemerintah menegaskan kembali bahwa setiap rupiah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus digunakan secara bertanggung jawab, efektif, dan berorientasi hasil. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 menjadi instrumen kunci yang mengarahkan efisiensi masif pada belanja Kementerian/Lembaga (K/L) dan transfer ke daerah, dengan target penghematan mencapai Rp 306,69 triliun. Dari jumlah itu, Rp 256,1 triliun berasal dari efisiensi K/L, sementara Rp 50,59 triliun berasal dari penyesuaian transfer ke daerah.
Kebijakan ini tidak hanya berbicara soal pemangkasan anggaran, tetapi upaya menyusun ulang prioritas belanja negara, memfokuskan pada program yang benar-benar mendesak, strategis, dan memberikan manfaat publik langsung, seraya memangkas kegiatan seremonial atau rutinitas birokrasi yang selama ini sering menggerus efektivitas fiskal.
Reformasi Efisiensi: Pelajaran Penting dari 2025
Efisiensi yang diberlakukan sejak 22 Januari 2025 membuktikan bahwa birokrasi mampu beradaptasi ketika diberi tekanan fiskal. Banyak instansi berhasil menunda perjalanan dinas, mengurangi rapat fisik, dan beralih ke metode kerja digital tanpa mengurangi fungsi pelayanan publik. Pengalaman ini menegaskan satu pelajaran fundamental: keterbatasan anggaran dapat memaksa birokrasi menjadi lebih kreatif, produktif, dan efisien, tidak selalu bergantung pada besarnya belanja.
Namun efisiensi ini tidak berlangsung tanpa tantangan. Seiring berjalannya tahun anggaran, pemerintah menghadapi kebutuhan implementasi program prioritas yang mengharuskan adanya ruang fiskal tambahan. Blokir anggaran mulai dibuka secara bertahap: Rp 86,6 triliun pada fase awal pelonggaran, dan mencapai total Rp 168,5 triliun per 22 September 2025.
Kebijakan pelonggaran ini memang memberi “napas” bagi program strategis mulai dari energi, infrastruktur, hingga layanan publik. Pembangunan dapat tetap berjalan meskipun di awal tahun dilakukan pengetatan.
Namun di sisi lain, pelonggaran blokir anggaran sekaligus membuka kembali pola lama. Banyak kementerian dan lembaga kembali intens menyelenggarakan seminar nasional, lokakarya, perjalanan dinas, studi banding, hingga belanja modal kecil yang minim relevansi. Orientasi terhadap serapan anggaran, bukan dampak belanja, masih kuat melekat dalam praktik birokrasi.
Jika pola ini dibiarkan, siklus pemangkasan di awal, pelonggaran di pertengahan, serapan besar di akhir tahun akan menjadi ritual fiskal tahunan yang tidak memperbaiki kualitas belanja negara.
APBN 2026: Dari Serapan ke Dampak
Dalam konteks ini, APBN 2026 menjadi penentu arah baru. Pemerintah merancang RAPBN 2026 untuk mewujudkan delapan agenda pembangunan Asta Cita, dengan tema besar “Kedaulatan Pangan, Energi, dan Ekonomi.”
Fokus pembangunan diarahkan pada:
- Penguatan produksi pangan dan pertanian,
- Percepatan transisi energi,
- Pendalaman ekonomi digital,
- Modernisasi layanan publik,
- Pembangunan infrastruktur dasar dan konektivitas,
- Peningkatan kapasitas riset dan inovasi.
APBN tidak boleh lagi sekadar menjadi wadah pembiayaan tahunan; ia harus menjadi mesin transformasi struktural.
Sejalan dengan itu, Kementerian PPN/Bappenas menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2026 dengan tema “Kedaulatan Pangan dan Energi serta Ekonomi yang Produktif dan Inklusif.”
RKP ini merupakan penjabaran dari RPJMN 2025–2029 yang mengacu pada visi-misi Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Karena itu, 2026 bukan hanya kelanjutan agenda 2025, melainkan tahun pertama implementasi arah pembangunan nasional lima tahun ke depan.
Pemerintah telah menetapkan sasaran makro 2026:
- Pertumbuhan ekonomi 5,2–5,8%,
- Kemiskinan ekstrem 0%,
- Tingkat kemiskinan <7%,
- Indeks Modal Manusia (IMM) meningkat menjadi 0,57.
Ambisi ini menuntut belanja negara yang jauh lebih terarah dan tidak boleh lagi tersandera oleh budaya serapan.
Tiga Pesan Utama Pembangunan 2026
- Meneguhkan kedaulatan pangan, energi, dan air
Memperkuat produksi pangan dan energi nasional untuk mengurangi ketergantungan impor dan meningkatkan ketahanan jangka panjang.
- Mendorong produktivitas ekonomi
Melalui hilirisasi, transformasi digital, serta penguatan industri, UMKM, dan koperasi.
- Menjamin inklusivitas pembangunan
Agar pertumbuhan ekonomi dapat dirasakan seluruh wilayah dan kelompok masyarakat—tanpa kecuali.
Untuk itu, pemerintah menyiapkan program prioritas unggulan, antara lain:
- Program Makan Bergizi Gratis,
- Pembangunan 3 juta unit rumah,
- Koperasi Desa Merah Putih,
- Sekolah Rakyat & Digitalisasi Pendidikan,
- Program Pengurangan Kemiskinan Terpadu,
- Pengelolaan Sampah Terpadu.
Program-program ini menegaskan bahwa APBN 2026 harus berorientasi dampak, bukan sekadar serapan.
Tuntutan Utama untuk APBN 2026
- Orientasi pada dampak, bukan penyerapan anggaran.
Ukuran keberhasilan anggaran harus berubah: dari seberapa besar anggaran dihabiskan menjadi seberapa besar manfaat dihasilkan bagi masyarakat.
- Pengetatan pos rawan pemborosan harus tetap dijaga.
Belanja perjalanan dinas, rapat fisik, kegiatan seremonial, dan belanja modal kecil harus dikontrol ketat. Disiplin ini adalah syarat menjaga kesehatan fiskal di tengah ketidakpastian global dan kebutuhan pembiayaan jangka panjang.
- Belanja modal produktif harus diperkuat.
Infrastruktur dasar, energi bersih, digitalisasi layanan publik, serta riset dan inovasi harus menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi baru.
- Transparansi dan akuntabilitas harus diperkuat.
Indikator kinerja harus berbasis dampak. Audit berkala dan pelaporan realisasi harus lebih terbuka dan analitis.
- Transformasi budaya birokrasi.
Efisiensi harus menjadi norma baru—bukan respons sesaat atas pemangkasan anggaran.
Menjaga Disiplin Fiskal di Tengah Ketidakpastian
APBN 2026 harus dirancang lebih hati-hati untuk mengurangi defisit dan menjaga kredibilitas fiskal. Ketidakpastian global, tekanan inflasi komoditas, dan kebutuhan pembiayaan pembangunan memberi alasan kuat untuk menjalankan kebijakan fiskal yang lebih disiplin.
Pengeluaran negara harus selektif, terukur, dan jelas dampaknya terhadap stabilitas makro dan kesejahteraan masyarakat.
APBN Bukan Sekadar Angka, Ini Adalah Komitmen
APBN 2025 memberikan refleksi penting: efisiensi mampu mendorong inovasi, tetapi pelonggaran tanpa disiplin berpotensi menghidupkan kembali pola pemborosan.
Sementara itu, RAPBN 2026 menghadirkan peluang besar untuk memperbaiki kualitas belanja negara. Tantangannya adalah memastikan komitmen itu tecermin dalam pelaksanaan, bukan hanya dalam dokumen anggaran.
APBN 2026 harus menjadi babak baru: APBN yang lebih efisien, lebih berdampak, dan lebih berpihak pada rakyat.
Dengan disiplin fiskal, tata kelola yang baik, dan orientasi pembangunan yang jelas, Indonesia memiliki peluang besar untuk melangkah menuju masa depan yang lebih kuat dan berkelanjutan.
Penutup: Ambang Keputusan bagi 2026
APBN 2026 adalah momentum untuk menentukan arah: Apakah APBN akan kembali menjadi mesin serapan?Atau menjadi instrumen transformasi yang nyata?
Keputusan ini tidak hanya berada di tangan pemerintah, tetapi juga publik yang harus terus mengawal transparansi dan akuntabilitas belanja negara. Setiap rupiah harus digunakan untuk membangun masa depan—bukan untuk mengulang kesalahan masa lalu. (*)




