Kenapa Negara Timur Tengah Bisa Terjebak dalam Krisis Pangan Meski Kaya Raya?

kumparan.com
4 jam lalu
Cover Berita

Di balik kilau gedung pencakar langit Dubai, Qatar, hingga Riyadh, kawasan Timur Tengah sebenarnya menyimpan paradoks besar: negara-negara yang kaya minyak justru menjadi salah satu wilayah paling rentan terhadap krisis pangan di dunia. Kerentanan ini tidak lahir dari ketidakmampuan finansial, tetapi merupakan kombinasi keras antara geografi gurun, iklim ekstrem, ketergantungan besar pada impor, serta konflik politik yang terus mengoyak stabilitas kawasan.

Secara geografis, sebagian besar negara Timur Tengah berada dalam wilayah kering dengan curah hujan rendah dan sumber air yang sangat terbatas. Kondisi ini membuat produksi pangan domestik sulit mengimbangi kebutuhan penduduk. Laporan The Outlook for Food Security in the Middle East and North Africa menunjukkan bahwa banyak negara MENA memiliki ketersediaan air per kapita terendah di dunia, sehingga pertanian hanya bisa bertahan melalui irigasi mahal dan teknologi intensif yang tidak semua negara mampu penuhi.

Masalah ini diperparah oleh perubahan iklim. Studi terbaru yang diterbitkan di Environmental Advances (2025) menemukan bahwa kenaikan suhu hanya 1°C saja sudah bisa mengurangi ketersediaan pangan sekitar 8,2 kkal per orang per hari di kawasan MENA. Gelombang panas yang semakin panjang, kekeringan ekstrem, dan pergeseran musim tanam membuat produksi gandum lokal terus menurun. Artinya, negara-negara ini tidak punya pilihan lain selain mengandalkan pasar global untuk memenuhi kebutuhan pangannya.

Ketergantungan impor menjadi titik paling rapuh dalam rantai ketahanan pangan Timur Tengah. Banyak negara seperti Mesir, Yaman, dan Lebanon mengimpor sebagian besar gandum dari pasar internasional. Ketika perang Rusia–Ukraina meletus, jalur logistik terganggu dan ekspor gandum dari Laut Hitam anjlok. Studi yang dipublikasikan oleh Frontiers in Sustainable Food Systems (2023) menunjukkan bahwa gangguan perdagangan gandum di pasar global memiliki dampak langsung dan signifikan terhadap ketahanan pangan MENA, terutama karena kawasan ini tidak punya cadangan pangan besar dan sangat sensitif terhadap fluktuasi harga dunia.

Namun bukan hanya iklim dan impor yang menjadi masalah. Instabilitas politik dan konflik berkepanjangan di Suriah, Irak, Yaman, Gaza, dan Libya menyebabkan lahan pertanian rusak, distribusi terputus, dan biaya logistik meroket. Laporan dari Middle East Council on Global Affairs (2023) menegaskan bahwa konflik mempersempit akses pangan bagi jutaan warga, terutama kelompok rentan, karena harga naik sementara pendapatan rumah tangga jatuh. Di negara-negara tertentu, krisis ekonomi dan instabilitas bahkan membuat pemerintah kesulitan membiayai subsidi pangan atau menambah stok cadangan nasional.

Maka lahirlah paradoks negara kaya sumber daya energi, tetapi rapuh dalam urusan pangan. Kekayaan minyak tidak otomatis menjamin roti di meja makan jika produksi pangan domestik minim, air terbatas, iklim makin panas, dan situasi politik tidak stabil. Dan selama faktor-faktor ini tidak berubah, kawasan Timur Tengah akan terus berada di tepi krisis setiap kali terjadi guncangan global entah itu perang, pandemi, atau kenaikan harga komoditas dunia.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Sudah Lolos 16 Besar ACL Two, Ini Alasan Manajemen Persib Tak Kunjung Perpanjang Kontrak Pelatih Persib
• 21 jam lalutvonenews.com
thumb
Sebut Ada Info 80 Ton Bantuan Hilang, Gubernur Aceh Mualem: Entah Kemana…
• 8 jam lalufajar.co.id
thumb
Vino G Bastian Beberkan Tantangan Jadi Orang Tak Bisa Akting di Lupa Daratan
• 23 jam laluinsertlive.com
thumb
Wagub Jateng Janji Tuntaskan Backlog 1,3 Juta Rumah dalam 5 Tahun
• 13 jam lalubisnis.com
thumb
54 WNI Proses Pemulangan dari Myanmar, KBRI Imbau Waspada Lowongan Kerja Ilegal
• 1 jam lalusuarasurabaya.net
Berhasil disimpan.